Sabtu, 5 Juli 2025

DPD dan Komnasham Sepakat Tolak Hukuman Kebiri

JAKARTA- Komite III DPD RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membahas tentang substansi RUU Penyandang Disabilitas dan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Rapat berlangsung di Ruang Rapat Komite III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/2).

Anggota Komite III DPD RI, Stefanus Liow menyoroti tentang rancangan Perpu tentang Hukuman Kebiri bagi pelaku kejahatan seksual. Ia menilai Perpu tersebut perlu dipertimbangkan kembali untuk menggantinya dengan jenis hukuman lain.

“Meski kita akui pelakunya tidak bisa diampuni, tapi saya tidak sependapat dengan hukuman kebiri. Sebaiknya diganti dengan hukuman lain seperti suntik mati atau penjara seumur hidup,” ucapnya.

Terkait dengan rancangan Perpu Hukuman Kebiri bagi pelaku kejahatan seksual, Nur Kholis menilai hukum pidana belum efektif untuk dilaksanakan. Menurutnya, belum ada dasar bukti yang menyatakan bahwa hukuman ini memiliki kaitan yang signifikan terhadap penurunan tindak kejahatan.

“Hukuman kebiri belum tentu memberikan efek jera. Justru dapat menimbulkan dendam,” katanya.

Tindakan yang harus dilakukan pemerintah, kata Nur Kholis, adalah mengembangkan upaya pemulihan melalui rehabilitasi secara menyeluruh baik medis, psikologis dan sosial. Pemerintah juga perlu mengembangkan kurikulum tentang reproduksi, dan program pencegahan atau perlindungan anak secara terpadu.

“Perppu tentang pemberian hukuman kebiri sebaiknya dipertimbangkan lagi dan tidak diterbitkan,” tegasnya.

RUU Disabilitas
Dalam kesempatan tersebut, Anggota Komite III DPD RI, Suryati Armain mengatakan perhatian pemerintah terhadap penyandang disabilitas sangat kurang. Dirinya menjumpai banyak kasus di daerah pemilihannya Maluku Utara, dimana penyandang disabilitas tidak memiliki peluang kerja yang sama dengan yang lainnya.

Senada dengan Suryati Armain, Fahira Idris dari DKI Jakarta juga menilai RUU Penyandang Disabilitas memiliki posisi yang sangat strategi dalam upaya memperjuangkan akses kesempatan kepada penyandang cacat.

“Saya jumpai ada penyandang disabilitas yang tidak bisa kerja dikantoran padahal pendidikannya Sarjana, akhirnya cuma jadi kuli bangunan,” ujar Fahira.

‎Menanggapi hal tersebut, Ketua Komnas HAM, Nur Kholis menyatakan hingga kini masih sulit untuk menentukan besaran penduduk yang mengalami disabilitas, diantaranya karena data yang digunakan BPS mencerminkan sasaran pembangunan nasional untuk pengentasan kemiskinan bukan penduduk dengan disabilitas.

Penyandang disabilitas secara umum kurang memiliki akses terhadap pelayanan sosial yang ada seperti transportasi umum, fasilitas jalan, sarana dan prasarana gedung dan pendidikan.

“Kurangnya akses pelayanan sosial untuk penyandang disabilitas, bahkan data survey Susenas menyatakan 74,4 % penyandang disabilitas tidak memiliki pekerjaan,” ujarnya.

Lebih lanjut pihaknya menyarankan agar dibentuknya Komisi Nasional Disabilitas (KND). Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan Undang Undang Penyandang Disabilitas dapat terkontrol dengan baik.

Selain berfungsi untuk memberikan konsultasi dan pendampingan kepada pemerintah serta swasta dalam melaksanakan program-program yang terkait disabilitas secara efektif, KND juga mutlak diperlukan untuk menerima pengaduan dari berbagai kasus pelangggaran hak-hak penyandang disabilitas.

“KND juga berperan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan (3) Konvensi Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2011,” ujarnya. (Enrico N. Abdielli)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru