JAKARTA- Ketua DPD Irman Gusman menilai Undang-undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak melibatkan stakeholder dalam pembahasannya. Pasalnya, proses pembahasan UU ini terkesan terburu-buru.
“Pembahasan UU ini belum melibatkan stakeholder baik itu masyakat atau daerah. Sehingga terkesannya terburu-buru,” ucap Irman usai FGD ‘Kesejahteraan Sosial atas Rumah; Membedah RUU Tapera’ di Nusantara V Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (24/2).
Terkait melanggar hukum, Irman mengaku akan mempelajari terlebih dahulu UU ini. Untuk itu, FGD yang diselenggarakan hari ini, Rabu (24/2), DPD akan membedah RUU Tapera dengan Ikatan Alumni Universitas Sumatera Utara.
“Tentu harus kita pelajari. Acara ini dijadwalkan sebelum UU Tapera disahkan,” jelasnya.
Ia menambahkan, subtansi dalam UU ini juga tidak sesuai dengan intention. Pasalnya perumahan rakyat merupakan yang mendasar, namun kenyataanya UU ini tidak berpihak kepada rakyat.
“UU ini jangan sampai berpihak kepada kelompok tertentu. Harusnya intention-nya kepada rakyatnya, bukan kepada pengelolaan uangnya. Kalau pandangan sementara cenderung sebuah pengelolan keuanganya bukan kepada rumahnya,” kata senator asal Sumatera Barat itu.
Sementara itu, Ketua Komite II DPD Parlindungan Purba melihat UU Tapera ada peluang cacat formal. Makanya pada kesempatan ini, pihaknya akan mendapatkan masukan dari stakeholder.
“Nantinya akan kami sampaikan kepada pimpinan DPD,” tukas dia.
Menurutnya, sudah banyak pihak yang akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK), namun sifatnya baru perorangan.
“Bagi kami Tapera merupakan amanat UU, namun bukan bagaimana mencari uangnya. Tetapi harusnya memperkuat tanggungjawab negara terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah,” kata senator asal Sumatera Utara itu.
Semua pendanaanya, sambungnya, dari luar pemerintah. Sehingga pemerintah seolah-oleh melepas tanggung jawab.
“Untuk itu Komite II DPD sudah menyiapkan konsep. Namun bagi kami perumahan ini merupakan hak primer, jika dibiarkan bagaimana nasib masyarkat yang tidak bekerja,” papar Parlindungan.
Parlindungan menambahkan, sedangkan di dalam UU Tapera ini hanya mengatur bagi masyarakat yang sudah bekerja. Makanya perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
“Jadi PP ini perlu waktu tiga bulan, maka DPD akan memberikan sikapnya. Kita tahu, masih banyak masyarakat kita khususnya di Indonesia Timur yang tinggal di laut seperti di Maluku yang 90 persen desanya berada di laut,” tegasnya.
Dikesempatan yang sama Ketua IKA-USU Chazali Husni Situmorang mengatakan pihaknya mengkritik sejumlah pasal dalam UU Tapera. UU ini dirasa memberatkan, untuk itu memerlukan pendalaman lebih lanjut.
“Semenjak UU Tapera disahkan, dikritisi oleh IKA USU, karena itu kami berfikir perlu untuk membedahnya bersama-sama dengan DPD,” ucapnya.
Menurutnya, keganjilan dari UU ini dapat dilihat dari aspek kelembagaan, mekanisme pembiayaan, dan status hukumnya. UU Tapera ini tidak melibatkan peran pemerintah namu diandalkan uang pekerja sebesar 3 persen.
“Dana dipungut dari peserta sebesar 3 persen, tapi dikelola oleh pengusaha. Jadi tidak ada keterlibatan negara. Pemerintah hanya dana awal untuk memodali badan pengelola Tapera itu,” tambahnya. (Enrico N. Abdielli)