JAKARTA- Terbongkarnya Panama Paper beberapa hari lalu seharusnya mempercepat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera memerika 2.961 nama asal Indonesia yang menyimpan harta diluar negeri. Pemerintah diminta juga untuk tidak mengemis-ngemis dengan tax amnesty yang membebaskan para pengemplang pajak yang ada dalam daftar tersebut. Hal ini disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Sulawesi Utara, Benny Rhamdani kepada Bergelora.com di Jakarta, Jumat (8/4)
“KPK dan pemerintah harus cepat bertindak. Mereka (nama-nama dalam panama Paper-red) Makan, minum, menghirup udara dan hidup di tanah republik, lalu hasil dan keuntungan dari tanah republik disimpan dan disembunyikan di negara lain. Jangan ngomong nasionalisme mereka,” ujarnya.
Benny Rhamdani mempertanyakan niat pemerintah dan DPR yang akan memberikan tax amnesty pada orang-orang kaya yang menyembunyikan hartanya diluar negeri, apalagi tanpa pemeriksaan asal usul dana yang disembunyikan.
“Kenapa kemudian negara herus mengemis sama mereka? Kalau begitu serahkan aja mandat mengurus negara ini pada mereka sekalian, biar dirampok semua. Ngurus negara koq malah negosiasi sama dunia hitam,” ujarnya.
Wakil Ketua Komite I DPD itu menegaskan agar KPK untuk segera rurun tangan melakukan pengusutan apakah orang-orang Indonesia itu ada unsur atau motif menghindari pajak atau cuci uang. Jika ditemukan bukti yang sangat kuat kearah itu, maka rakyat Indonesia tidak sekedar berhak untuk meragukan nasionalisme Mereka, tapi juga KPK harus didorong sekaligus dikawal untuk berani menyeret mereka melalui setegak-tegaknya hukum,” tegasnya.
Sementara itu mantan pengurus nasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum, Riswan Lapagu mengatakan agar negara mengerahkan semua upayanya menyelidiki pajak terhadap orang-orang yang namanya disebut-sebut dalam Panama Paper.
“Kerja Dirjen pajak harus dibantu dengan investigasi intelejen dari lembaga-lembaga intelejen negara karena lintas negara dan melibatkan banyak penguasa dan pengusaha di negeri ini,” ujarnya
Komisi Haram
Sementara itu, praktisi ekonomi Erizeli Jely Bandaro menjelaskan bahwa dana perorangan atau perusahaan yang tertera dalam Panama Paper itu berasal dari transfer pricing dan komisi haram. Transfer pricing pada dasarnya merupakan transaksi atas barang dan jasa atau aset tertentu biasanya dilakukan dalam satu kelompok usaha yang dilakukan pada harga yang tidak wajar melalui proses menaikkan harga (mark up) maupun menurunkan harga (mark down).
“Tujuan transfer pricing ini umumnya bersifat negatif karena berkaitan dengan false treatment pada perpajakan dan bisa juga digunakan untuk merugikan pemegang saham publik bila perusahaan sudah listed dibursa,” jelasnya dalam akun facebooknya beberapa hari lalu.
Menurutnya, hal ini banyak terjadi di perusahaan yang mengolah Sumber Daya Alam seperti migas dengan mengelabui cost recovery agar mengecilkan bagian pemerintah dalam bisnis tembaga, emas, batubara, CPO, termasuk industri dan manufaktur berkelas MNC. (Web Warouw)