Jumat, 4 Juli 2025

DPR : Kemenkes Lemah Kendalikan Peredaran Vaksin

JAKARTA – Kementerian Kesehatan diminta segera menarik vaksin dari seluruh fasilitas pelayanan kesehatan yang pengadaannya dari sumber tidak resmi dengan. Kementerian Kesehatan diminta untuk menariknya apabila terbukti vaksin palsu. DPR juga meminta Kemenkes untuk segera melakukan pendataan terhadap vaksin yang dipalsukan. Serta mendata siapa saja yang sudah terlanjur mengkonsumsi vaksin palsu. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/6) dalam rapat kerja dengan Komisi IX dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM membahas peredaran vaksin palsu.

“Selama ini pengawasan pemerintah terhadap pembuatan dan peredaran vaksin sangat lemah. Komisi IX mendesak Kemenkes dan BPOM memperkuat kerjasama lintas sektoral terhadap pengawasan produk dan pengamanan rantai suplai vaksin. Dengan membentuk gugus tugas agar dapat meminimalisir penyebaran dan peredaran vaksin palsu,” tegasnya.

Komisi IX juga meminta laporan tentang laporan hasil investigasi secara tertulis terkait penanganan kasus peredaran vaksin palsu kepada komisi IX paling lambat 30 Juni 2016.

Menanggapi hal itu Menteri Kesehatan RI Prof dr Nila Djoewita Moeloek memaparkan dalam poin-poin pernyataan resmi bahwa ada hasil investigasi terbaru terkait peredaran vaksin ilegal, di antaranya Vaksin Bio Farma tidak ada yang dipalsukan karena menurut pengakuan pelaku yang tertangkap, vaksin Bio Farma hanya digunakan untuk oplosan pembuatan vaksin palsu. Vaksin yang dipalsukan hanya vaksin impor yang harganya mahal, yaitu vaksin produksi Sanofi Pasteur dan GSK.

Jenis vaksin ex Bio Farma yang dipakai sebagai oplosan adalah Hepatitis B dan Campak. Sementara jenis vaksin impor yang dipalsukan adalah Vaksin Engerix-B (untuk anak dan dewasa) yaitu vaksin untuk Hepatitis B;  Vaksin Havrix 720 yaitu vaksin Hepatitis A; dan Vaksin Pediacel yaitu vaksin kombinasi untuk Pertusis, Difteri, Tetanus, Hib dan IPV. Untuk itu masyarakat diharapkan tenang dan tetap percaya bahwa vaksin yang dipakai untuk program vaksinasi wajib oleh Pemerintah adalah vaksin asli.

“Jika anak Anda mendapatkan imunisasi di Posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah atau  mengikuti program Pemerintah yaitu imunisasi dasar lengkap yaitu vaksin Hepatitis B, BCG,  DPT-Hib-Hb, Polio dan Campak, maka vaksin disediakan oleh Pemerintah yang didapatkan langsung dari produsen dan distributor resmi didistribusikan ke Dinas Kesehatan hingga ke fasyankes. Jadi vaksin dijamin asli, manfaat dan keamanannya,” ujar Menkes.

Ia menjelaskan vaksin disediakan untuk total sasaran termasuk mereka yang memilih untuk dilayani di Praktek Swasta. Kerjasama dokter atau tenaga kesehatan praktek swasta terbuka. Vaksin bisa diperoleh gratis yang diperlukan hanya laporan cakupan dan pengguna vaksin.

Pemerintah juga menurutnya memiliki program imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak di bawah dua tahun dan pada anak usia sekolah dasar lewat program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) yang dilaksanakan setiap bulan Agustus dan November.

“Dengan adanya peredaran vaksin palsu ini, kami menghimbau agar seluruh orangtua ikut berpartisipasi agar anaknya mendapatkan imunisasi ulangan melalui kegiatan ini,” ujarnya.

Menurut hasil survei Cakupan Imunisasi yang dilakukan Tahun 2008 oleh Universitas Indonesia, di dapatkan bahwa sebagian besar imunisasi di Indonesia dilaksanakan di Posyandu dan Puskesmas (88,1%) dan hanya 11,9% yang dilaksanakan di Rumah Sakit atau Unit Pelayanan Kesehatan Swasta. Diduga peredaran vaksin palsu tidak lebih dari 1% di wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ini relatif kecil dibandingkan dengan total jumlah vaksin yang beredar dan wilayah sebarannya

Imunisasi Ulang

Menkes mengatakan, untuk orang tua yang curiga anaknya mendapatkan vaksin palsu dapat mendatangi dokter atau fasilitas pelayanan tempat anaknya mendapat layanan imunisasi, jika vaksinnya terbukti palsu, maka anak akan diberikan imunisasi ulang.

“Yang terpenting adalah selalu mengamati timbulnya reaksi atau kejadian ikutan setelah pemberian imunisasi, segera laporkan ke petugas kesehatan. Umumnya gejala atau reaksi ikutan ini timbul tidak lama setelah diimunisasi. Namun sampai saat ini kita belum menemukan atau pun menerima laporan adanya kejadian ikutan paska imunisasi setelah isu vaksin palsu ini merebak,” ujarnya.

Kemenkes menurutnya segera berkoordinasi dengan Komite Ahli Imunisasi (ITAGI), pihak Sanofi dan GSK, untuk menyusun rencana tindak lanjut yaitu melakukan estimasi pemakaian/penjualan vaksin import di Indonesia agar dapat memperhitungkan dampak dari vaksin palsu ini terhadap timbulnya PD3I.

“Kemenkes akan menyusun rencana pelacakan kemungkinan keberadaan vaksin palsu di Daerah-Daerah dan selanjutnya mendata balita yang sudah menerima vaksin palsu. Kemudian melakukan membuat jadwal vaksinasi yang harus dilakukan kepada anak yang mendapatkan vaksin palsu,” ujarnya.

Kemenkes juga akan membuat ciri-ciri vaksin palsu secara lebih rinci/detail untuk di sosialisasikan ke seluruh Provinsi sehingga dapat dibedakan dengan yang asli. (Web Warouw)

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru