Senin, 21 April 2025

Dr. Ning: BPJS Tak Perlu Pungut Iuran

JAKARTA- Pemerintahan baru ke depan dituntut untuk membebaskan pembiayaan kesehatan rakyat sehingga tidak boleh ada lagi pasien yang ditolak oleh rumah sakit karena tidak ada biaya. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisi IX Dr. Ribka Tjiptaning kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (31/7) menjelaskan tentang tugas prioritas pemerintahan baru ke depan.

 

“Tidak boleh satu orang pun yang ditolak dari rumah sakit atau tidak terlayani kesehatannya karena itu perintah undang-undang,” tegasnya.

Ribka Tjiptaning menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Kesehatan pasal 32 sudah ditegaskan bahwa setiap warga negara punya hak sehat yang sama diperintahkan bahwa rumah sakit dilarang menolak pasien baik kaya maupun miskin.

“Untuk itu negara dan pemerintah berkewajiban menyediakan fasilitas kesehatan untuk semua orang. Termasuk di dalamnya memastikan sistim penggajian yang proporsional dan adil buat petugas kesehatan di puskesmas dan rumah-rumah sakit,” ujarnya.

Menurut Ribka Tjiptaning biaya kesehatan 240 juta rakyat Indonesia di tanggung oleh negara dan tidak perlu lagi memungut iuran pada rakyat untuk Badan Pelayanan Jaminan Sosial (BPJS).

“Walaupun baru di kelas 3, tapi mimpi kita ke depan tidak klas 3 seperti sekarang. Yang penting tidak perlu lagi ada pungutan iuran. Semua dibayar negara,” ujarnya.

Ribka Tjiptaning menjelaskan asal-usul pungutan iuran dan bayaran co-sharing pada rakyat berasal dari pansus yang diarahkan oleh pemerintah yang menginginkan pelaksanaan jaminan kesehatan secara bertahap.

“Jadi sama aja (dengan-red) Jamkesmas yang pakai kuota cuma beda kulit aja. Seharusnya BPJS menjawab ketika dengan jaminan yang dengan kriteria gak jelas,” ujarnya menjawab soal BPJS yang memungut iuran dan menarik co-sharing karena tidak semua pelayanan dibayar oleh BPJS.

Ia menegaskan bahwa orientasi kesehatan Indonesia harus segera kembali ke perintah Undang-undang Dasar 45.

“Pokoknya kembali ke Undang-undang Dasar 45, Undang-undang Kesehatan, Undang-undang rumah sakit dan sumpah dokter. Harus ada revolusi kesehatan. Mengembalikan ke kitoh orietasi sosial. Yang sekaragn sudah bergeser komersial,” jelasnya.

Sementara itu Pimpinan Nasional Dewan Kesehatan Rakyat (DKR), Tutut Herlina kepada Bergelora.com secara terpisah mempertanyakan bagaimana mungkin menghapus iuran dan co-sharing dari BPJS.

“Lah undang-undangnya kan sengaja dibuat DPR untuk mengumpulkan dana dari masyarakat dan APBN memang bukan untuk pelayanan kesehatan tapi memang untuk menopang perekonomian dengan cara investasi diberbagai bidang,” ujarnya terpisah.

Kalau iuran BPJS dan co-sharing dihapus dan pembiayaan semua dari negara maka menurut Tutut Herlina, sama seperti Jamkesmas.

“Perbedaannya adalah dana Jamkesmas dikelola langsung oleh pemerintah sebagai pelaksana undang-undang, sedangkan BPJS menyedot uang negara prioritas untuk bisnis,” ujarnya.

Menurutnya perbedaan ini sama dengan saat Gubernur Jokowi menjalankan sendiri Kartu Jakarta Sehat (KJS) berbeda pada saat program KJS diserahkan ke BPJS.

“Awalnya pemerintah DKI mengelola sendiri dan menanggung semua biaya kesehatan rakyat tanpa iuran dan co-sharing. Setelah Januari 2014, Jokowi menyerahkan ke BPJS akibatnya rakyat harus bayar iuran dan co-sharing, karena tidak semua biaya ditanggung pemerintah,” ujarnya. (Dian Dharma Tungga)

Artikulli paraprak
Artikulli tjetër

Artikel Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru