Oleh : Lilik Dian Eka*
Riuh rendah publikasi plus minus capaian pemerintahan pusat tepat 20 Oktober 2016, diragam media warnai informasi di tengah masyarakat. Gunakan data. Di masing-masing viral media sosial masyarakat cantumkan nara sumbernya soroti iklim ekonomi, politik, hukum, hingga tak sedikit yang tetap bersikap kritis. Ekspektasi berlebih terhadap suatu pemerintahan tentu menuai aneka sikap masyarakat.
Sejak dua minggu ini, pemerintah, khususnya Presiden Jokowi menguak problem PUNGLI (Pungutan Liar) yang melilit birokrasi berbuntut korban di masyarakat. Ini agenda serius. Langkahnya harus konkrit. Capaiannya juga harus terpublikasi secara luas dan merata. Agar masyarakat dapat belajar dan terdidik, mulai sudahi prilaku sogok sana, sogok sini. Kultur birokrasi kepegawaian negara dari tingkat pusat dan daerah tak terlepas atas konsttuksi sosial, ketika lemahnya sistem penegakan hukum dan kampanye massif, agar praktek PUNGLI di tinggalkan oleh budaya jaman yang terus berkembang. Utamanya masyarakat itu sendiri.
Memang dibutuhkan upaya lebih dari masyarakat. Tak sekedar diam. Di lain sisi, perlajalanan pelaporan kasus PUNGLI, dalam dekade waktu tertentu, terasa mandek. Jalan di tempat. Siapa melaporkan siapa? Apalagi adagium di masyarakat kita, kental dengan istilah “mana mungkin, jeruk makan jeruk?!”
Potongan filsafat berpikir demikian erat menggejala. Mensumsum tulang di persendian demokrasi dan kehidupan sistem politik paska reformasi, berkali-kali di uji di sini.
Bagaimana mungkin PUNGLI dihapus, kalau tidak diinisiasi pejabat publik dari tingkat pusat. Mulai Ring Satu, sampai pegawai rendahan, di daerah terpencil. Momentum berbenah tentu memerlukan syarat dan tindakan. Bukan lagi sekedar kosmetik penghias wajah birokrasi aparatur negara.
Konsekuensi hukum, dan nalar ilmiah rakyat harus senantiasa dibangkitkan dari waktu ke waktu. Dan bukan hanya memeringati ulang tahun suatu pemerintah, di pusat dan daerah.
Penulis dapat membayangkan, birokrasi dihantam sogokan dari sisi privat sektor (koorporasi besar dan kecil), dan sisi lainnya. Di masayarakat, urusan selembar surat keterangan apa saja di level kelurahan saja ujung-ujungnya duit. Maka di situlah letak rahim simbiosis mutualisme, praktek PUNGLI dan bibit korupsi di negara ini. Mereproduksi kejahatan sistematis dengan label negara korup, maaf mungkin penulis keliru istilah, pernah menempel di jidat Garuda lambang negara kita!
CPNSD Bidan Desa PTT
Di tengah perjuangan penulis bersama bidan desa berlabel PTT, di bulan April 2016, kita sempat sama-sama dikejutkan dengan berita 57.724 orang PNS fiktif. Kepala BKN (Badan Kepegawaian Nasional) Bima Haria Wibisana menyebutkan hal itu berkat penyisiran atas 93 ribuan PNS misterius melalui Pendataan Ulang PNS (PUPNS) yang berlangsung sejak setahun terakhir. Para PNS wajib mendaftar atau registrasi secara individu via aplikasi e-PUPNS.
Kalkulasi kebocoran anggaran negara, dalam APBN dan APBD bertebaran di tengah kita soroti gejala tersebut. Semisal, 57 ribu dikalikan biaya gaji Rp. 2 juta rupiah per orang, maka akan didapat Rp. 114 miliar rupiah per bulan. Atau Rp. 1,368 triliun rupiah dalam setahun.
Pertanyaan menelisik, sejak kapan hal itu terjadi? Mengapa tak pernah ada mekanisme evaluasi antara jumlah pegawai dan petugas keuangan negara (Kemenkeu RI) dan pajak penghasilan? Yang sebetulnya dapat dilakukan setiap tahun sekali. Ataupun per semester tahun anggaran berjalan. Baik kondisi silpa APBN maupun defisit APBN. Padahal rapat anggaran tahunan juga terjadi di lembaga DPR RI. Di sini letak mendasar bahwa sistem administrasi pemerintahan negara dalam urusan kepegawaian “gembos” bertahun-tahun!
Berikutnya, siapa yang harus bertanggungjawab?! Babak ini, belum ada episode beritanya. Pemerintahan pusat dalam Sistem Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) seyogyanya dapat berkonsentrasi membedahnya. Agar tak sambil lalu. Di antara medan issue nasional strategis lainnya.
Di sini penulis turut menggelar protes terbuka. Pasalnya, sebagai pegawai pemerintah fungsional bidan desa yang masih berlabel Pegawai Tidak Tetap (PTT Pusat), sedang belajar apa itu Revolusi Mental yang menjadi nyawa cita pemerintahan Jokowi-JK.
Bidan desa yang tergabung di dalam Federasi Organisasi Bidan Desa (FORBIDES) Indonesia -Konfederasi KASBI, tak ada bosan-bosannya mengajak pemerintah pusat untuk berpikir jernih, menyelamatkan pekerjaan bidan desa yang kerap bertaruh nyawa. Selamatkan dua nyawa, ibu dan bayi. Sekaligus bidan desa yang hampir tenggelam ketika merujuk pasien ibu melahirkan di daerah pengabdian di seluruh kepulauan, desa-desa se-antero Merah Putih.
PUNGLI dan bidan desa PTT (Pusat) masih menjadi serial drama yang pernah diangkat dari berbagai pernyataan sikap perlawanan organisasi.
Lalu bagaimana penghitungan anggaran bidan desa PTT (Pusat) menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil Derah (CPNSD). Jawabannya adalah dapat saja cost down, alias negara akan surplus anggaran. Meski bukan urusan bidan desa. Tak ada salahnya jika dituntut berkontribusi dalam pemikiran soal ini.
Kita tengok angka terakhir 42.245 orang bidan desa PTT (Pusat) yang sudah melampaui seluruh tahapan seleksi, jika dikalikan biaya gaji Rp. 3 juta rupiah per orang per bulan. Maka akan didapat total biaya gaji sebesar Rp. 126, 735 miliar rupiah. Atau sebesar Rp. 1.520.820.000.000,- dalam setahun. Apabia dibagi 33 provinsi, maka satu provinsi paling banyak sediakan APBD sebesar Rp. 46 miliar setahun. Atau Rp. 3,8 miliar dalam sebulan. Ini hanya hitungan kasaran rata-rata. Sebab setiap daerah berbeda-beda antara jumlah tenaga bidan desa dan yang harus dianggarkan.
Selama sepuluh tahun terakhir, Kementerian Kesehatan RI telah mengalokasikan anggaran belanja gaji kepegawaian bidan desa berlabel PTT (Pusat). Artinya negara mampu! Butuh teknik exchange budget dalam pagu anggaran negara kita, share pusat dan daerah. Good political will Presiden Jokowi sekali lagi amat dibutuhkan dalam menyelesaikan agenda Revolusi dan Nawacitanya, termasuk melaksanakan UUD 1945 untuk kerja dan kehidupan yang layak.
PNS fiktif adalah problem negara dan rakyat. Sementara rakyat butuh bidan desa, untuk bekerja terus menerus membangun bangsa. Bukannya malah membiayai PNS fiktif dari anggaran negara. Lebih ngeri lagi, jika jaminan kepastian CPNSD bidan desa absen pengawasan, maka politik ladang PUNGLI dapat saja menjadikan bidan desa sebagai mesin ATM sebesar Rp. 8,449 triliun. Dengan rata-rata Rp. 200 juta rupiah per orang CPNSD, berpotensi kembali berulang .
*Penulis adalah Ketua Umum FORBIDES Indonesia – KASBI