Pengalaman China dalam menanggulangi bencana adalah contoh yang baik dalam menghadapi pandemi covid 19. Sistem dan prosedurnya terbangun dengan baik. Sumberdaya dan fungsinya terdistribusi secara profesional. Sebelum wabah melanda, negara dan masyarakat China sudah beradaptasi dengan keadaan yang berubah cepat, sehingga kesiapan dan ketahanan peradaban mereka terbangun. Heygel The Rome, seorang, pegiat dan pemerhati masyarakat menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Hegel Terome H., M.Phil
Bermula dari Wuhan
WABAH covid19 merebak di Wuhan awalnya, sekitar Desember 2019 lalu. Covid 19 merupakan penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus corona (SARS-CoV -2). Penyakit infeksi ini menyebabkan kerusakan akut sistem pernafasan manusia. Gejala umum penyakit ini adalah batuk kering, demam, dan sesak nafas. Gejala lainnya ialah kelelahan, kejang otot, diare, sakit tenggorokan, dan kehilangan rasa penciuman serta sakit di bagian dada-perut.
Dari masa paparan hingga munculnya gejala-gejala penyakit tersebut berkisar 2 hari hingga 14 hari (masa inkubasi). Kebanyakan kasus hanya menunjukkan gejala-gejala sakit ringan, bahkan ada yang tidak merasakan gejala apapun (asimptomatik). Pada kasus lainnya covid 19 malah memicu sakit paru-paru parah (pneumonia), dan kerusakan organ-organ lainnya dalam tubuh manusia.
Virus corona ini menyebarluas karena kontak dekat antar manusia melalui percikan kecil cairan (droplets) yang dihasilkan ketika batuk, bersin, atau pun berbicara. Percikan ini umumnya menempel di permukaan benda-benda yang kemudian disentuh manusia. Virus yang ada dalam percikan tersebut masih mampu bertahan hidup hingga 72 jam. Bila melalui kontak dekat , maka virus menular cepat lewat droplet yang terhirup ketika bernafas atau memapar wajah manusia. Virus akan hidup di bagian pangkal tenggorakan dan hidung, karena di bagian-bagian ini terdapat sel-sel tubuh yang baik untuk menjadi inang-virus, kemudian masuk dan menyebar ke bagian paru-paru manusia.
Wuhan, kota terpadat dan termodern di provinsi Hubei. Wuhan merupakan kota perdagangan, industri, dan finansial terpenting di China. Banyak perusahaan asing, seperti Amerika Serikat, Eropah, dan lainnya berinvestasi di Wuhan. Sebagai kota, Wuhan memiliki sejarah yang panjang, hampir 3500 tahun, sejak Dinasti Shang. Wuhan di belah oleh Sungai Yangtze, yang menjadi prasarana transportasi penting bagi masyarakatnya. Di zaman modern ini, Wuhan adalah megapolitan yang tak pernah tidur, dengan sarana transportasi canggih seperti kereta api super cepat. Penduduk kota Wuhan kini mencapai 9 juta jiwa lebih.
Merebaknya virus corona di Wuhan sejak Desember 2019, telah memakan korban jiwa dan mengejutkan para ahli virus di China dan dunia. Namun berkat pengalaman mereka selama ini dalam menghadapi virus SARS yang pernah merebak di China dan menelan banyak korban jiwa, secepat kilat mereka mengidentifikasi jenis virus apa covid 19 tersebut. Rumah sakit penyakit menular di Wuhan yang pertama kali menangani sejumlah korban virus corona, yang belum dikenali identitasnya itu. Dalam waktu 24 jam informasi adanya korban keganasan virus baru menjadi informasi penting bagi Pusat Kesehatan China untuk mengambil keputusan mendesak. Dalam beberapa hari kemudian, jumlah korban tertular bertambah banyak, sehingga rumah sakit tersebut menerapkan protokol tetap dalam menangani pasien-pasien yang terus berdatangan. Tak lama, informasi adanya virus baru yang merebak di Wuhan itu sampai ke kalangan ahli virus di kantor pusat WHO. Mereka antusias mengikuti perkembangannya, bahkan membuka lagi dokumen hasil pemantauan perkembangan virus di dunia. Namun baru pada 11 Maret 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan bahwa covid 19 adalah wabah global (pandemik).
Pemerintahan China dengan sigap memutuskan untuk “menggembok” (lockdown) kota Wuhan di provinsi Hubei itu, sebagai episentrum covid 19. Kota ditutup sejak Februari hingga April 2020, sekitar 76 hari. Semua lalu lintas dari dan ke Wuhan ditutup. Pusat-pusat perdagangan, industri, wisata, dan lainnya, dihentikan sementara. Hanya pusat pangan dan rumah sakit-rumah sakit yang terus berlangsung. Sementara itu, provinsi lainnya di China, dengan cadangan logistik mereka yang ada dikerahkan untuk menanggulangi bencana covid 19 di Wuhan. Ribuan dokter dan tenaga medis, ilmuwan virus, relawan kota, dipasok ke lokasi tersebut. Ribuan ton pangan dan lainnya disediakan untuk kebutuhan 9 juta lebih warga Wuhan selama karantina ini. Semua warga tinggal di rumah masing-masing. Aparat keamanan berjaga-jaga membantu warga. Aplikasi media sosial menjadi sangat penting untuk menghubungkan mereka semua di tengah suasana galau tersebut. Inovasi bermunculan di tengah wabah ini, seperti robot-robot pembantu tenaga medis, drone yang mengawasi penduduk kota, dan lainnya. Ada 2 rumah sakit khusus korban covid 19 yang memiliki kapasitas tampung ribuan pasien, berhasil dibangun di Wuhan hanya dalam waktu yang singkat.
Setelah 76 hari Wuhan digembok, dengan dukungan warganya yang berdisiplin, China berhasil menekan laju pertumbuhan korban covid 19. Dari 80 ribu lebih korban covid 19 di China, tentu Wuhan menjadi kota dengan jumlah korban terbanyak, hampir 90 persen sembuh. Penularan berhasil ditekan hingga angka minimum di hampir semua provinsi di China, khususnya di episentrum wabah tersebut. Dan awal April 2020 yang lalu, Wuhan dibuka kembali, seperti semula. Kota mulai menggeliat, ekonomi dan lainnya bernafas lagi. Masyarakat bangun kembali.
Apa yang bisa dipelajari dari kasus Wuhan di China ini? Tentu China beruntung pernah mengalami wabah virus corona yang menelan ribuan korban jiwa. Pengalaman berharga ini merupakan guru kehidupan mereka, apalagi ketika menghadapi covid 19. Kepemimpinan negara yang kuat, keputusan yang cepat, pengelolaan bencana yang mumpuni, sistem kesehatan nasional yang handal, warga yang berdisiplin, ketahanan pangan dan industri, riset penyakit menular yang berkembang, integrasi dan solidaritas antar wilayah yang baik. Tentu pembelajaran tersebut bukan hal yang sempurna, karena ada saja warga China dan dunia yang mengkritik tajam tindakan pemerintahan China yang dianggap melanggar hak asasi manusia dan kebebasan pers. Mereka tidak sempurna, tetapi belajar dari ketidaksempurnaannya.
Dunia yang Berubah
Perubahan-perubahan dunia bisa disebabkan oleh berbagai hal yang krusial, mendasar, dan mendobrak. Dunia bisa berubah karena bencana alam yang skalanya massif, seperti bencana tsunami, gunung berapi, gempa bumi, dan lain-lain. Dunia juga berubah akibat perang-perang yang diciptakan oleh manusia sendiri. Dunia juga berubah ketika ilmu pengetahuan dan teknologi melanda peradaban manusia. Dan, dunia bisa berubah karena wabah penyakit yang mengglobal. Setidak-tidaknya, itulah yang pernah manusia alami selama ini.
Dalam konteks penyakit menular, manusia pernah mengalami wabah pes, yang dikenal dengan sebutan Black Death. Wabah ini melanda Eropah dan Asia pada pertengahan 1300-an. Wabah ini sampai di Eropah pada Oktober 1347, saat 12 kapal dari Laut Mati bersandar di pelabuhan Messina, Sicilia. Ketika 12 kapal tersebut bersandar, ditemukan banyak orang mati di kapal. Pemerintah Messina segera memerintahkan semua kapal tersebut untuk pergi dari pelabuhan Messina. Selama 5 tahun pes melanda Eropah, wabah ini telah merenggut 20 juta korban jiwa, yang hampir sepertiga total penduduk Eropah. Sebelum sampai ke Eropah, wabah pes ini sudah menerpa China, India, Persia, Siria dan Mesir.
Pandemi influenza juga pernah terjadi pada 1918. Pandemi ini disebabkan oleh virus flu H1N1. Hampir sepertiga penduduk dunia, yakni 500 juta orang lebih terinfeksi oleh virus ini. Yang meninggal dunia mencapai 50 juta jiwa di seluruh dunia, dan 675000 jiwa di Amerika Serikat. Wabah ini telah membuat dunia menderita, panik, dan gagap.
Pandemi covid 19 kini telah mengubah wajah dunia. Pandemi ini mengagetkan setiap orang di dunia ini, karena hadir di tengah-tengah dunia yang sedang berkembang dengan ilmu pengetahuan dan teknologinya; ekonomi dan sosial budayanya. Sejak pandemi influenza 1918, hampir seabad lebih, manusia tak menyangka dan membayangkan munculnya virus jenis baru yang daya tularnya berlipat-lipat kali, meskipun dianggap tingkat daya bunuhnya relatif kecil daripada virus SARS yang lebih dulu mewabah di beberapa negara. Akan tetapi, dengan daya tular yang tinggi, maka kemungkinan menimbulkan korban jiwa juga meningkat, apabila memakai rumus matematika hubungan deret kali. Oleh karena banyak korban meninggal dunia akibat diperparah oleh “penyakit-penyakit ikutan” (komorbit), seperti sakit jantung, TBC, diabetis, dan lainnya. Secara statistik, kita tidak tahu berapa juta orang di dunia ini yang sudah mengidap berbagai jenis penyakit tersebut, maka itu artinya, bahwa kemungkinan jutaan orang mati akibat covid 19 ke depan ini, terbuka lebar, hingga vaksin dan obat anti covid 19 diproduksi.
Yuval Noah Harari, dalam artikelnya di majalah Financial Times, menyatakan bahwa umat manusia di dunia kini tengah menghadapi krisis besar. Yuval menegaskan bahwa apa-apa yang akan diputuskan dan ditindaklanjuti oleh pemerintahan dan masyarakat di dunia saat ini bakal menentukan masa depan mereka sendiri. Keputusan-keputusan itu tidak hanya menentukan sistem kesehatan yang kita miliki, tetapi juga sistem ekonomi, politik, sosial dan budaya kita. Umat manusia mesti bertindak cepat dan tepat. Manusia harus mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang tindakan-tindakan yang diambilnya. Sementara memilih alternatif-alternatif yang ada, sembari berusaha mengatasi ancaman pandemi yang ada, baiknya kita bertanya kembali: dunia masa depan yang bagaimana yang hendak didiami manusia ketika ancaman covid 19 berlalu?
Yuval melihat bahwa perubahan drastis terjadi hari-hari ini. Tindakan-tindakan darurat jangka pendek muncul di mana-mana menjadi perangkat tetap kehidupan manusia. Semua bergerak cepat ke depan dalam proses sejarah ini. Tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan dalam situasi normal yang memerlukan rembugan bertahun-tahun harus disepakati dalam hitungan jam. Teknologi yang belum matang dipakai dalam layanan-layanan untuk menanggulangi covid 19, dengan anggapan, bahwa lebih baik melakukan sesuatu daripada tidak sama sekali. Semua negara melakukan ujicoba-ujicoba sosial dalam skala yang besar. Apa yang terjadi ketika ujicoba-ujicoba seperti bekerja dari rumah dan berkomunikasi dari jarak jauh dilakukan? Sekolah-sekolah dan kantor-kantor bekerja secara online?
Dari segi dampak, covid 19 telah memicu krisis ekonomi dunia. Banyak ekonom meramalkan bahwa dunia kini tengah menuju resesi dunia. Ketersediaan uang, barang-barang dan jasa semakin menipis, sementara konsumsi dunia terus berjalan dan mustahil dihentikan. Pasar uang dunia terjun bebas. Pasar barang-barang kebutuhan pokok sepi dan sejumlah produk meningkat harganya, seperti masker, alat perlindungan diri, dan ventilator. Jutaan buruh di-PHK dan industri kecil tutup. Kelangkaan pangan merebak di banyak tempat. Semua negara mengalami hal-hal yang sama itu. Hampir semua negara tidak siap mengantisipasi pandemi covid 19.
Selain sisi negatif pandemi covid 19, kita melihat ada kebaikan yang dialami ekologi bumi. Banyaknya negara-negara yang menghentikan sementara produksinya, maka tingkat polusi dunia menurun, efek rumah kaca mengecil, dan karbon di udara berkurang. Sungai-sungai dan laut sedikit membaik, karena limbah-limbah yang dihasilkan manusia berkurang. Alam lingkungan sedikit menjadi sehat, yang selama bertahun-tahun tidak pernah digubris oleh manusia.
Pandemi covid 19 telah mengubah wajah dunia hari ini baik secara sosial budaya, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan moda produksi masyarakat berubah karena relasi-relasi produksi juga berubah. Relasi individu dengan dirinya sendiri, individu dengan individu lainnya, individu dengan kolektifnya, kolektif dengan kolektif lainnya, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan; semuanya berubah secara mendasar. Selama ini, setelah berabad-abad manusia hidup dalam dunia industri yang memaksa hidupnya di wilayah publik, kini harus kembali ke wilayah domestik. Semua orang harus hidup di rumah berjam-jam, berhari-hari, berbulan-bulan, bekerja dari rumah. Tidak mudah membalikkan kebiasaan atau perilaku hidup manusia yang sudah ratusan tahun ditempa rezim industrial. Manusia yang sudah terbiasa hidup di ruang-ruang publik kini harus bersosialisasi di ruang-ruang domestik, dengan keluarga dan sanak famili. Dunia moderen sudah menegasikan “konsep keluarga” menjadi kaum buruh. Banyak orang gagap menerima realitas hidup “berkeluarga”. Untunglah teknologi milenium membantu manusia untuk tetap terhubung dengan “dunia publiknya”. Media sosial menjaga keterhubungan itu.
Dunia kini sudah tidak sama lagi. Semua negara dan masyarakatnya dipaksa menguji ketahanan dan ketangguhan sistem kehidupannya. Banyak hal tiba-tiba muncul sebagai kebobrokan suatu sistem di sebuah negara dan masyarakat. Mungkin dalam kondisi normal, hal semacam itu tidak pernah terungkap karena politisasi rezim penguasa. Seberapa ampuh kepemimpinan negara, sistem dan industri kesehatan, logistik pangan nasional, keuangan negara, dan lainnya, dibongkar kedoknya oleh pandemi covid 19. Terbukti, banyak negara gagap, bahkan membiarkan wabah merebak karena tidak mampu menanggulanginya.
Dunia digital dan kecerdasan buatan menjadi tumpuan harapan umat manusia saat wabah covid 19 merebak. Relasi antar manusia berbasis digital dan kecerdasan buatan memungkinkan manusia terus terhubung dengan sesamanya, meskipun harus hidup dan bekerja dari rumah. Namun, kecanggihan ini hanya bisa berjalan optimal apabila ditopang dengan sarana dan prasarana yang mumpuni. Di kota-kota, hal ini masih dimungkinkan, namun di lokasi-lokasi yang tidak tersedia sarana dan prasarananya, mungkin sulit terjadi.
Jaringan telekomunikasi yang terbaru dan terakses lebih luas oleh masyarakat akan menjadi sangat penting. Aplikasi-aplikasi dalam platform digital yang familiar dan gratis banyak diakses oleh penggunanya, semisal “Zoom” dan lain-lain. Virtualisasi realitas akan makin banyak diterapkan dalam aplikasi-aplikasi digital. Bersamaan itu, kebutuhan industri big data adalah keharusan. Satelitisasi konektivitas-konektivitas semakin diperlukan. Bisa jadi dalam waktu tak terlalu lama, otomatisasi dan digitalisasi dunia kesehatan umumnya dan medis khususnya, bakal terwujud. Robot-robot canggih dan mesin-mesin otomatis pendukung akan memenuhi rumah sakit-rumah sakit menggantikan tenaga kerja manusia. Penegakan diagnosis dilakukan dari jarak jauh melalui sarana medik yang memukau. Bahkan pengobatannya bisa dikerjakan dengan kemandirian si pasien yang dipandu oleh aplikasi medika yang handal. Bukan tidak mungkin, seluruh produksi, termasuk riset-riset yang beresiko, yang selama ini dikerjakan oleh kaum buruh, akan diambi alih oleh mesin-mesin otomatis yang dikendalikan dari rumah-rumah atau pun lokasi-lokasi wisata di pojok-pojok dunia ini.
Namun di tengah situasi pandemi covid 19 yang menakutkan kini, kita melihat bagaimana manusia kembali kepada kebijakan-kebijakan lokal (local wisdom) yang hidup dalam tradisi di masyarakatnya. Pentingnya hidup sehat dengan hidup bersih, makan makanan yang bergizi, beraktivitas, istirahat yang cukup, kembali diresapi maknanya. Meskipun ukuran untuk masing-masing strata sosial akan berbeda-beda untuk dapat dipenuhi, namun banyak orang dipaksa memenuhinya demi meningkatkan daya tahan kesehatannya. Banyak orang tergerak untuk mengonsumsi produk-produk dari tanaman-tanaman herbal. Intinya, bagaimana mempertahankan agar tubuh tetap sehat, bugar, dan kebal dalam situasi wabah yang menjangkit.
Apapun itu, seperti yang disingkapkan oleh Yuval dan pemikir lainnya dalam berbagai bidang, dunia pasca covid 19 adalah dunia yang berubah. Umat manusia dipaksa untuk beradaptasi dan bertahan hidup di tengah situasi yang mengancam jiwanya. Seleksi alam, siapa yang mampu beradaptasi dan bertahan hidup di tengah bencana, merekalah yang meneruskan kelangsungan regenerasi manusia. Namun seperti kata Yuval, dunia telah kehilangan kepemimpinan dan solidaritasnya, saat pandemi covid 19 merebak.
Pembelajaran bagi Indonesia
Sebagai negara yang mengalami wabah covid 19 saat ini, Indonesia juga menghadapi dunia yang berubah. Banyak hal dalam negara dan masyarakat kita diuji kekuatannya dengan hadirnya covid 19 ini. Misalnya, apakah sistem kesehatan nasional kita mampu menghadapi ledakan korban corona virus? Lebih jauh, apakah sistem sosial ekonomi politik budaya kita cukup kompatibel dengan perkembangan situasi yang ada? Respon yang tampak adalah kegagapan, karena selama ini sistem mitigasi bencana kita tidak pernah menangani pandemi seperti covid 19. Yang biasanya ditangani lebih banyak merupakan bencana kealaman, seperti gempa bumi, gunung merapi, banjir, longsor, tsunami, kebakaran. Bencana non kealaman, seperti wabah penyakit jarang dihadapi dan disimulasi, sehingga kurang berpengalaman dan kurang pengetahuan.
Negara dan masyarakat berjalan sendiri-sendiri dalam menghadapi situasi gawat darurat dan menanggulangi bencana. Negara kehilangan kepemimpinannya, dan masyarakat kehilangan keberdayaannya. Seperti Yuval bilang, dalam situasi pandemi ini, kita bisa terjebak dalam pilihan ketahanan otoritarian (negara) atau keberdayaan warga. Namun kurangnya pengalaman dan pengetahuan, memilih keduanya adalah yang terbaik. Kita memerlukan kepemimpinan negara untuk mengarahkan dan menanggulangi pandemi, karena negara memiliki sumber daya yang memadai untuk mengatasinya, seperti anggaran, aturan hukum, dan sumberdaya manusia. Masyarakat juga memiliki modalitas sosial yang luas, seperti rasa solidaritas, kerelawanan, karitas, dan gotong royong.
Indonesia perlu belajar beradaptasi dalam dunia yang berubah ini. Paradigma lama dalam menangani bencana harus ditinggalkan. Dalam kondisi gawat darurat, negara harus menerapkan sistem pengelolaan yang emergensi sifatnya, rantai komando yang jelas dan pasti, dan debirokrasi. Cara-cara lama harus ditinggalkan, dan mencoba inovasi-inovasi baru. Cara berpikir out of the box dalam mempersiapkan negara dan masyarakat menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang tak pasti harus dimiliki oleh rezim penguasa, sehingga tidak muncul aksi-aksi masyarakat yang spontan dan anarkhis. Pengalaman China dalam menanggulangi bencana adalah contoh yang baik dalam menghadapi pandemi covid 19. Sistem dan prosedurnya terbangun dengan baik. Sumberdaya dan fungsinya terdistribusi secara profesional. Terlebih, sekaligus membuktikan, bahwa sebelum wabah melanda, negara dan masyarakat China sudah beradaptasi dengan keadaan yang berubah cepat, sehingga kesiapan dan ketahanan peradaban mereka terbangun. Belajarlah ke China, kata orang!
Referensi:
https://www.futuresplatform.com/blog/covid-19-world-after
https://www.history.com/topics/middle-ages/black-death https://en.wikipedia.org/wiki/Coronavirus_disease_2019
https://amp.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75#