KEMISKINAN adalah kondisi ketika seseorang atau keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, kesehatan, pendidikan, dan tempat tinggal. Orang miskin biasanya berpenghasilan sangat rendah dan tidak memiliki cadangan (tabungan atau jaminan sosial) untuk menghadapi guncangan seperti sakit, PHK, atau kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kondisi Kelas Menengah Rentan
Kelas menengah rentan adalah kelompok masyarakat yang secara nominal lebih baik dari orang miskin, namun posisinya rapuh. Kenaikan harga pangan, biaya pendidikan, atau krisis ekonomi dapat segera menjerumuskan mereka ke jurang kemiskinan. Seperti kata Amartya Sen (1999), “Poverty is not just a lack of income, it is the deprivation of basic capabilities.”—bukan sekadar penghasilan rendah, tetapi kerentanan pada akses dan kesempatan.
Fenomena “turun kelas” yang menimpa jutaan keluarga Indonesia pasca pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa kelas menengah kita rapuh. Dari data BPS:
- 2019: kelas menengah mapan 57,33 juta jiwa (21,45%)
- 2024: turun menjadi 47,85 juta jiwa (17,13%)
Artinya, sekitar 9,48 juta orang dalam 5 tahun keluar dari kategori kelas menengah dan kembali rentan miskin. Alexis de Tocqueville pernah mengingatkan bahwa “Revolutions are not born when people are absolutely oppressed, but when expectations rise and then collapse.” Dengan kata lain, kekecewaan kelas menengah yang jatuh miskin jauh lebih berbahaya ketimbang kemiskinan kronis itu sendiri.
Ketimpangan dan Krisis Legitimasi
Meski kemiskinan absolut menurun, ketimpangan meningkat: Rasio Gini naik menjadi 0,381. Kondisi ini sejalan dengan analisis James C. Davies dalam “J-Curve Theory” (1962), bahwa revolusi lahir ketika ada kesenjangan antara ekspektasi yang meningkat dengan realitas yang memburuk.
Kebijakan pemerintah yang dinilai “elite-centric”—misalnya kenaikan tunjangan DPR hingga Rp50 juta/bulan, program kontroversial yang dipersepsikan tidak pro-rakyat, serta biaya hidup yang terus meningkat—memperkuat jurang ketidakpercayaan. Antonio Gramsci menyebut kondisi ini sebagai “krisis hegemoni” ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada narasi negara.
Kematian Affan Kurniawan, driver ojol yang tewas tertabrak kendaraan taktis aparat Brimob (mengingatkan penembakan mahasiswa Trisaksi akibat penembakan seragam Brimob) pada 28 Agustus 2025, menjadi pemicu langsung. Charles Tilly dalam teorinya tentang collective action menekankan bahwa mobilisasi massa seringkali dipicu oleh trigger event yang simbolis, lalu meluas menjadi gerakan nasional. Kasus Affan berfungsi seperti Mohamed Bouazizi di Tunisia (Arab Spring 2010), seorang pedagang kecil yang membakar diri karena frustrasi terhadap aparat, dan akhirnya memicu revolusi yang menggulingkan rezim Ben Ali.
Jaringan mahasiswa, buruh, dan komunitas ojol memanfaatkan sosial media untuk memperluas mobilisasi. Sidney Tarrow dalam Power in Movement (1998) menyatakan bahwa gerakan sosial modern tumbuh ketika ada political opportunity, jaringan mobilisasi, dan narasi bersama. Di sinilah oposisi berhasil mengkonsolidasikan isu ekonomi, demokrasi, dan keadilan, meski kelemahan kontrol lapangan membuat perlawanan bercampur dengan vandalisme.
Fenomena ini mengingatkan pada:
- Malari 1974: protes mahasiswa yang awalnya menolak dominasi modal asing, lalu berubah menjadi kerusuhan anti-Tionghoa akibat provokasi.
- Peristiwa 2 Juli 1996: bentrokan politik yang memicu kemarahan rakyat akibat represi negara, memperlemah legitimasi Orde Baru.
- Arab Spring: mobilisasi digital yang menjatuhkan rezim, tetapi juga menimbulkan kekacauan berkepanjangan karena absennya konsolidasi politik.
Negara merespons dengan represif, bukan dialog. Tanpa investigasi transparan, tanpa solusi ekonomi yang meyakinkan, pemerintah justru kehilangan legitimasi. Seperti dikatakan Hannah Arendt, “Power and violence are opposites; where one rules absolutely, the other is absent.” Dalam kasus ini, negara menggunakan kekerasan tetapi kehilangan kekuasaan moral.
“Amok Agustus” 2025 bukan kerusuhan spontan, melainkan ledakan akumulatif dari:
1. Tekanan struktural jangka panjang (kemerosotan kelas menengah, ketimpangan).
2. Kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat.
3. Trigger event (tewasnya Affan) yang simbolik.
4. Mobilisasi terorganisir oleh jaringan mahasiswa, buruh, dan komunitas digital.
Dengan kata lain, kemiskinan dan kerentanan kelas menengah adalah bahan bakar, ketidakadilan adalah oksigen, dan tragedi kemanusiaan menjadi pemantik. Situasi ini sejajar dengan pola revolusi di berbagai belahan dunia, di mana rakyat tidak hanya melawan lapar, tetapi juga menuntut martabat dan keadilan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah “Amok Agutus 2025” itu semacam Gladi resik atau sudah acara sesungguhnya? (*)