Minggu, 7 Desember 2025

EKOSISTEM HUTAN KIAN RAPUH..! Banjir Sumatra Terus Makan Korban: 811 Orang Tewas, 623 Warga Hilang

JAKARTA – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terus memperbarui data dampak bencana banjir bandang-tanah longsor yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat di pekan akhir bulan November 2025 lalu.

Mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di Dashboard Penanganan Darurat Banjir dan Longsor Provinsi Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat tahun 2025, hari ini Rabu (3/12/2025 per pukul 15.33 WIB), terkonfirmasi jumlah korban meninggal bertambah menjadi 811 orang.

Sementara, masih ada 623 orang yang dilaporkan hilang dan sekitar 2.600-an orang luka akibat terjangan banjir bandang dan tanah longsor

Korban tewas terbanyak dilaporkan terjadi di Agam dengan 143 orang meninggal, disusul Aceh Utara dengan laporan 112 orang meninggal, kemudian di Tapanuli Tengah 86 orang meninggal, serta di Tapanuli Selatan 79 orang meninggal.

Dilaporkan BNPB, ada sekitar 3.2 juta orang di 49 kabupaten/ kota di provinsi Aceh (1,4 juta orang), Sumatra Utara (1,7 juta orang), dan Sumatra Barat (sekitar 140.500 orang) yang terdampak bencana ini.

Tercatat, ada lebih lebih dari 1,5 juta orang di Aceh yang harus mengungsi, 538.800-an orang di Sumatra Utara, dan sekitar 106.200 orang di Sumatra Barat.

Sebanyak 3.600-an unit rumah rusak berat, 2.100-an unit rumah rusak sedang, dan sekitar 4.900 unit rumah rusak ringan. Belum lagi kerusakan sekolah, ruamh ibadat, dan jembatan.

Foto udara dampak kerusakan pascabanjir bandang di Aceh Tamiang, Aceh, Selasa (2/12/2025). Banjir bandang yang melanda daerah itu pada Rabu (26/11) mengakibatkan 18 orang meninggal dunia dan tiga orang dinyatakan hilang serta merusak ribuan rumah warga sehingga menyebabkan 206.903 jiwa dari 51.726 kepala keluarga terpaksa mengungsi. (Ist)

Ekosistem Hutan Kian Rapuh

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan,  bencana banjir bandang dan tanah longsor yang menghantam Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh pada penghujung November 2025 dinilai sebagai penanda betapa rapuhnya benteng alam di pulau itu. Hujan deras berhari-hari membuat sungai-sungai meluap dan lereng perbukitan runtuh, merendam ratusan desa dan memutus infrastruktur utama.

BNPB mencatat sejak awal tahun hingga November 2025, terdapat 2.726 peristiwa hidrometeorologi, sementara banjir bandang akhir November sendiri merenggut lebih dari 400 jiwa di tiga provinsi. Kondisi ini membuat pemerintah daerah serentak menetapkan status tanggap darurat selama 14 hari.

Saat Kita Tak Menjaga Hutan, Hutan Tak Lagi Menjaga Kita

Menurut Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, Peneliti Hidrologi Hutan dan Konservasi DAS UGM, rangkaian bencana tersebut bukan kejadian terpisah, melainkan akumulasi kerusakan ekologi yang sudah lama terjadi.

Ia menyebut curah hujan ekstrem, dipicu dinamika atmosfer termasuk pembentukan Siklon Tropis Senyar di Selat Malaka, hanya menjadi pemantik awal.

“Kerusakan benteng alam di kawasan hulu yang memperbesar daya rusaknya. Hutan-hutan yang seharusnya menahan air kini tak lagi bekerja optimal,” ujarnya dalam keterangan resmi UGM diterima Bergelora.com di Jakarta, Kamis (4/12).

Kerusakan tutupan hutan di hulu DAS membuat fungsi-fungsi hidrologis seperti intersepsi, infiltrasi, evapotranspirasi, dan pengendalian erosi hilang. Padahal, hasil penelitian di hutan tropis menunjukkan tajuk hutan mampu menahan 15–35 persen hujan, permukaan tanah alami dapat menyerap hingga 55 persen air, dan evapotranspirasi mengembalikan 25–40 persen air ke atmosfer.

Menurutnya, ketika hutan rusak, tanah kehilangan porositas, akarnya hilang, dan mayoritas hujan langsung berubah menjadi limpasan permukaan yang mengarah ke sungai.

Arus besar dalam waktu singkat inilah yang memicu longsor, membawa material besar ke alur sungai, membentuk bendungan alami, kemudian jebol dan menciptakan banjir bandang.

Di banyak wilayah Sumatera, lanjut dia, kemampuan bentang alam untuk meredam hujan ekstrem kian menurun. Deforestasi di Aceh mencapai lebih dari 700.000 hektar dalam tiga dekade, sementara Sumatera Utara kini hanya menyisakan sekitar 29 persen tutupan hutan yang tersebar terfragmentasi.

Ekosistem Batang Toru, yang seharusnya menjadi penyangga hidrologis penting, terdesak oleh penebangan liar, pertambangan, dan ekspansi perkebunan.

Di Sumatra Barat, meski hutan masih mencakup sekitar 54 persen wilayah, laju kehilangan hutan primer dan sekunder sangat tinggi, dengan total hilang 740.000 hektare dalam 2001–2024.

Kerusakan pada lereng curam Bukit Barisan membuat wilayah tersebut sangat rentan terhadap longsor dan banjir bandang.

Hatma menegaskan bahwa banjir bandang akhir November 2025 merupakan cerminan akumulasi kerusakan ekologis jangka panjang di hulu DAS.

Pengelolaan kawasan yang lemah, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, serta pembalakan liar membuat daerah tangkapan air kehilangan kemampuan alaminya.

“Setiap hujan lebat, air yang dulu tertahan di hulu kini langsung ‘menghantam’ kawasan hilir,” katanya.

Ia menilai bencana tahun 2025 ini menjadi salah satu yang terbesar dalam beberapa dekade, dan memperlihatkan pola peningkatan bencana hidrometeorologi akibat deforestasi dan perubahan iklim.

Secara geografis, Sumatra berada di wilayah tropis basah yang memang rawan hujan lebat. Namun, ketika benteng ekologis di hulu rusak dan sungai menyempit oleh sedimentasi, wilayah ini berubah menjadi bom waktu bencana.

Hatma menegaskan alam memiliki batas daya dukung. Ketika hutan rusak melampaui ambang, kemampuan alam meredam cuaca ekstrem runtuh. Karena itu, upaya mitigasi tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan infrastruktur..Perlindungan hutan, konservasi DAS, dan penghentian deforestasi harus menjadi prioritas utama.

Ia menyoroti pentingnya mempertahankan ekosistem kunci seperti Leuser di Aceh dan Batang Toru di Sumut sebagai “harga mati” demi fungsi penyangga hidrologis yang tidak tergantikan.

Rehabilitasi lahan kritis dan reforestasi di area tangkapan air harus dipercepat, diiringi edukasi dan pemberdayaan masyarakat untuk menjaga hutan.

Sistem peringatan dini BMKG dan kesiapsiagaan daerah juga harus diperkuat karena cuaca ekstrem terkait perubahan iklim akan semakin sering terjadi. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) dapat dipertimbangkan sebagai pelengkap, tetapi bukan pengganti perbaikan ekologi. Bagi Hatma, tragedi banjir bandang November 2025 seharusnya menjadi titik balik. Pembangunan ekonomi tak bisa lagi meminggirkan kesehatan ekosistem.

“Keseimbangan hubungan manusia dan alam adalah fondasi ketangguhan. Tanpa membenahi hulu hingga hilir, bencana serupa akan terus berulang,” ujarnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru