JAKARTA- Sebanyak 60 persen wisatawan asing yang datang ke Indonesia adalah untuk menikmati kebudayaan. Mereka ingin menikmati keramahan khas Indonesia, busana, keragaman bahasa, kuliner, juga keunikan produk seni budayanya. Demikian disampaikan oleh Dirjen Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilman Farid Setiadi, dalam Seminar Nasional Jalan Kebudayaan Untuk Indonesia Maju, di Hotel Grand Sahin, Jalan Sudirman, Jakarta (29/08).
‘’Kalau soal pemandangan alam, banyak negara lain yang memiliki potensi itu. Tapi, kalau soal kekayaan budaya, mana ada negara lain yang memiliki keragaman budaya sebanyak Indonesia. Ini kekuatan Indonesia,’’ ujar Hilman Farid.
Begitu besar kekayaan budaya Indonesia sehingga sampai saat ini belum seluruhnya telah didokumentasikan dan didalami. Namun, sesuai amanah UU nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, budaya nasional mulai didokumentasi. Ada yang dilestarikan sebagai potensi budaya, sebagian lagi dibina untuk dikembangkan sebagai produk budaya, yang anatara lain bisa langsung mendukung industri pariwisata
Menurut dokumentasi yang telah dilakukan, saat ini di Indonesia terdapat lebih dari 10.000 cagar budaya, 3.000an permainan rakyat dan tak terhitung banyaknya lagu rakyat, tarian, cerita, manuskrip dan produk budaya lainnya. Bellum lagi, produk budaya kontemporer. Hilman Farid mengaku gembira, Gundala, superhero local yang menjadi tokoh komik di tahun 1970-an diangkat ke layatr lebar.
‘’Gundala jangan kalah dari Superman,’’ kata Hilman Farid. Sejak diciptakan 1939, katanya, Superman tak henti-henti mendatangkan manfaat bagi negerinya. Mulai dari film, komik, games dan seterusnya. Untuk merchandise kaos saja, sudah menghasilkan lebih dari 720 juta dolar Amerika. ‘’Itu belum yang dijual di Tanah Abang,’’ ia menambahkan.
Hanya saja, selama ini tak mudah bagi pemerintah untuk mengembangkan budaya nasional. Saat ini ada 41 kementerian dan Lembaga negara yang mengurusi kebudayaan. Perlu untuk mensinergikan semua untuk mencapai tujuan yang sama. ‘’Ini menyangkut tata kelola agar semua bisa bersinergi mengembangkan budaya nasional,’’ Hilman Farid menambahkan.
Ancaman Budaya
Mengawali seminar, Rambun Tjahjo yang mewakili Dewan Pimpinan Nasional Seknas Jokowi sebagai penyelenggara seminar, mengatakan bahwa acara tersebut digelar untuk mendorong adanya langkah-langkah yang lebih sistimatis dan menyeluruh dalam rangka memperkuat budaya nasional dalam menghadapi serbuan budaya transnasional, yang antara lain melahirkan aksi dan tindakan-tindakan intolerasi.
‘’Aksi intoleransi itu biasanya dimulai di platform media social dan berlanjut pada aksi di lapangan seperti persekusi, mempersulir warga membangun rumah ibadah, atau bahkan mempersulit orang lain menjalankan prosesi keagaman,’’ ujar Rambun, pengacara yang juga aktivis HAM itu.
Rambun juga berharap agar Pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam periode kedua itu lebih bersungguh-sungguh dalam menangani isu kebudayaan. Sesuai dengan Program Joko Widodo yang menitikberatkan pada sumberdaya manusia, Wakil Ketua Umum Setnas Jokowi ini juga mengharapkan agar pemerintah memberi perhatian untuk SDM di bidang kebudayaan.
‘’Bukan hanya soal pemikiran-pemikiran, tapi menyakut SDM yang menangani produk budaya, sehingga memberi kontribusi lebih besar di bidang ekonomi,’’ katanya.
Ekonomi Gotong Royong
Sementara itu, Dr. Arief Budimanta, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), yang berbicara pada acara yang sama, mengatakan bahwa tatanan ekonomi yang sesuai dengan budaya nasional adalah ekonomi gotong royong. Menurut Arif, ekonomi gotong royong itu merupakan counter terhadap praktek ekonomi individualis, kapitalistik, liberalis dan imperealis.
‘’Sesuai budaya kita, ekonomi gotong royong seharusnya bisa lebih dikembangkan,’’ ujar Arif. Arif menyayangkan, bahwa budaya ekonomi gotong royong telah lama tak terawatt sehingga kurang menggerakkan ekonomi rakyat.
Arif mengakui bahwa ekonomi goyong royong itu masih punya ruang dalam tatanan ekonomi nasional. ‘’Kita perlu terus mengembangkan ekosistem ekonomi kita ini agar makin menguatkan ekonomi gotong royong,’’ katanya. Kuncinya adalah para regulasi yang jelas. Semisal, jangan dibiarkan ada persaingan antara pengusaha besar dan pengusaha kecil.
Yang besar, menurut Arif, perlu dikembangkan agar bisa bersaing di pentas global dan yang kecil dikembangkan menjadi menengah, dan yang menengah dibina agar menjadi besar. ‘’Yang penting ada kebijakan bagi masing-masing kelompok, agar tak saling memangsa,’’ kata Arif menambahkan.
Arif yang kader PDI Perjuangan itu mengapresiasi tersedianya modal berbunga murah 7% untuk pengusaha kecil dan mikro, hal yang dikatakannya baru terjadi di era Presiden Joko Widodo. Namun, insentif modal adalah satu hal. Kebijakan afirmasi juga perlu berlanjut sampai ke market place agar tak terjadi persaingan yang tak seimbang.
Kementerian Kebudayaan
Artis senior Christine Hakim yang hadir dalam seminar itu mengatakan, dengan begitu besarnya aspek kebudayaan, perlu upaya pembangunan yang sistimatis dan menyeluruh dalam bidang kebudayaan. Ada masalah intoleransi, ketidakadilan, korupsi, penyalahgunaan wewenang, dan berbagai bentuk ‘’pelanggaran’’ budaya lainnya yang perlu juga disikapi secara budaya.
‘’Karenanya, alangkah baiknya bila Pemerintah membentuk Kementerian Kebudayaan, agar urusan kebijakan kebudayaan lebih terfokus dan lebih mudah diimplementasikan,’’ ujar Christine yang disambut tepukan bergemuruh dari sekitar 300 peserta yang hadir.
Seminar nasional itu diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Seknas Jokowi. Dibuka oleh Deputi IB Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, Seminar Nasional itu menghadirkan pula Hamid Dipopramono, Staf Khusus Menteri Perhubungan, dan dimoderatori oleh Eva Sundari, aktivis perempuan yang kini duduk di DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan.
Sebelum acara ditutup, Sekjen Seknas Jokowi Dedy Mawardy sempat memberikan tanda mata sebagai apresiasi kepada para narasumber dan moderator Eva Sundari. (Yuli Eko Nugroho)

