Kamis, 13 November 2025

ENGGAK USAH “COVER” YANG KAYA..! Menkes Ingin Sistem Rujukan BPJS Tak Lagi Berjenjang, Khawatir Pasien Keburu Wafat

JAKARTA – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menginginkan agar sistem rujukan fasilitas kesehatan dalam BPJS Kesehatan tidak lagi dilakukan secara berjenjang.

Budi menilai, masyarakat akan lebih senang jika sistem rujukan tidak lagi berjenjang karena biaya akan lebih murah dan mempercepat perawatan bagi pasien.

“Dari BPJS itu biaya yang lebih murah, dari masyarakat juga lebih senang, enggak usah dia rujuknya tiga kali lipat, keburu wafat nanti dia kan. Lebih baik dia langsung saja dikasih ke tempat, di mana dia bisa dilayani sesuai dengan anamnesis awalnya,” kata Budi dalam rapat dengan Komisi IX DPR, Kamis (13/11/2025).

Budi menuturkan, dengan sistem rujukan berjenjang, pasien harus menjalani perawatan dari fasilitas layanan kesehatan tingkat terendah hingga tertinggi.

Padahal, ada sejumlah penyakit yang memang hanya bisa ditangani oleh fasilitas layanan kesehatan pada tingkat tertentu. Oleh sebab itu, Budi ingin mengubah sistem rujukan berjenjang ini menjadi berbasis kompetensi.

“Sekarang kalau orang misalnya sakit kena serangan jantung, harus dibedah jantung terbuka. Dia dari puskesmas, masuk dulu ke rumah sakit tipe C. Tipe C rujuk lagi ke tipe B. Nanti tipe B, rujuk lagi ke tipe A. Padahal yang bisa melakukan sudah jelas tipe A. Tipe C dan tipe B enggak mungkin bisa tangani,” kata dia.

Budi melanjutkan, biaya yang dikeluarkan BPJS Kesehatan juga dapat ditekan bila sistem rujukan berjenjang diubah karena BPJS Kesehatan cukup membayar tagihan ke satu rumah sakit saja.

“Harusnya dengan demikian, BPJS enggak usah keluar uang tiga kali, dia keluar sekali saja, tok, langsung dinaikin ke (RS) yang paling atas,” ucap Budi.

Enggak Usah “Cover” yang Kaya, Fokus ke Bawah Saja

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan juga, Budi Gunadi Sadikin kembali menjelaskan rencana penerapan program Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Harapan pemerintah, BPJS Kesehatan untuk fokus melayani masyarakat kelas bawah saja.

“Nah, di yang baru nanti rencananya kita akan lakukan kelas rawat inap standar (KRIS). Ini maksudnya apa? Supaya, sudah, BPJS tuh fokusnya ke yang bawah saja, walaupun ini didebat terus sama BPJS. Tapi, saya bilang, BPJS enggak usah cover yang kaya-kaya deh,” ujar Budi.

Budi meminta agar biaya perawatan orang kaya di-cover oleh asuransi swasta saja. Dia turut mengungkit perjanjian antara Kemenkes dan OJK mengenai kombinasi swasta dan BPJS yang baru ditandatangani tadi pagi.

“Kenapa? Karena kaya kelas 1 itu, biar dia dianggap swasta. Itu sebabnya tadi pagi, kita tanda tangan sama OJK untuk combine benefit, sudah di-approve juga oleh Komisi 11 POJK mengenai kombinasi swasta dan BPJS. Karena selama ini kan enggak bisa nyambung tuh coordination benefit-nya,” ujar dia.

Maka dari itu, kata Budi, perawatan orang-orang kaya harus diserahkan kepada asuransi swasta saja. Dengan begitu, semua rakyat Indonesia bisa ter-cover BPJS Kesehatan.

“Biarin yang besar swasta saja yang ambil. Supaya BPJS bisa sustain, diambil yang level bawah, semuanya di-cover sama. 280 juta rakyat Indonesia, dia kaya miskin, harusnya di-cover sama. Kalau ada apa-apa, seperti itu,” imbuh Budi.

Konsep KRIS

Seperti diketahui, Pemerintah memutuskan mengundur penerapan KRIS dari target Juli 2025 menjadi Desember 2025.

Keputusan tersebut diambil karena mempertimbangkan kesiapan rumah sakit.

“Penerapan Kelas Standar JKN Diundur Desember 2025, Konsep Standardisasi Belum Disepakati”, konsep pada KRIS adalah menyetarakan kelas rawat bagi seluruh peserta menjadi satu kelas yang sama. Hal ini merujuk pada konsep asuransi sosial yang dijalankan dengan prinsip ekualitas, keadilan, dan gotong royong.

Itu diartikan bahwa meski iuran yang dibayarkan oleh peserta bisa berbeda-beda tergantung pada kemampuan secara ekonomi, layanan yang didapatkan tidak berbeda atau disamakan, termasuk pada fasilitas yang didapatkan.

”Namun, memang saya memahami bahwa kita sejak awal mulainya sudah dibedakan kasta-kastanya, antara kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Nah, ini yang secara bertahap kita harus rapikan supaya prinsip ekualitas dan prinsip gotong royong ini tercapai,” kata Menkes Budi, dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, di Jakarta, Senin (26/5/2025).

Budi menyampaikan, hanya ada 57,2 persen rumah sakit dari sekitar 2.500 rumah sakit yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang siap menjalankan kriteria KRIS pada akhir Juni 2025.

Namun, jika kriteria dijalankan akhir Desember 2025, ada 88 persen sudah siap.

”Jadi, memang hampir 90 persen (rumah sakit) akan siap pada akhir 2025. Oleh karena itu, kita akan perpanjang (target penerapan KRIS) dari akhir Juni menjadi sampai 31 Desember 2025,” ujar Budi.

Adapun kriteria KRIS yang dirujuk oleh Kementerian Kesehatan sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Nomor 1811 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Kesiapan Sarana Prasarana RS dalam penerapan KRIS.

Kriteria tersebut, antara lain, kepadatan ruang rawat inap maksimal empat tempat tidur dengan jarak tepi tempat tidur minimal 1,5 meter, terdapat tirai atau partisi antar-tempat tidur, terdapat outlet oksigen, terdapat kamar mandi dalam ruang rawat inap, serta dapat mempertahankan suhu ruangan 20-26 derajat celsius. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru