Selasa, 7 Oktober 2025

Evaluasi Otsus Papua, Suatu Keharusan

Pengamat sosial politik Frans Maniagasi. (Ist)

Salah satu persoalan yang perlu bisa dituntaskan oleh Presiden Joko Widodo dalam masa pemerintahannya 5 tahun mendatang adalah soal nasib rakyat Papua. Berbagai pembangunan telah dilakukan secara pesat, namun penting juga untuk melakukan evaluasi pelaksaan Otonomi khusus Papua yang telah berlangsung sejak tahun 2001. Pengamat sosial politik Frans Maniagasi menuliskannya kepada pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh : Frans Maniagasi

“NEGARA mengakui dan menghormati satuan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang -undang” (pasal 18 B ayat 1 UUD 1945).

Sebagai realisasi dari pasal ini maka lahirlah UU 21/2001 tentang Otonomi KhususPapua. UU Otsus yang terbit hampir 20 tahun yang lalu itu perlu dilakukan evaluasi. Mengapa perlu dilakukan Evaluasi setelah 20 tahun?

Argumentasinya adalah, pertama mesti diketahui sampai sejauhmana pelaksanaan UU ini telah memberikan kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan terhadap subyek dan obyek dari tujuan pemberlakuan Otsus. Subyek dan obyek yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat asli Papua atau Orang Asli Papua (OAP).

Kedua, setelah evaluasi dilakukan jika ternyata belum ada daya ungkit peningkatan kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan terhadap OAP sebagai salah satu komunitas sosial dari bangsa dan negara ini, perlu ada pertanggungjawaban dari negara untuk meninjau kembali status dari kebijakan Otsus. Sehingga negara dapat memutuskan perlunya penataan dan pengelolaan kebijakan Otsus ke depan.

Berdasarkan dua tujuan tersebut jelas menunjukkan bahwa negara patut dan layak mempertanggungjawabkan kebijakannya itu sebagai bentuk pertanggungjawaban konstitusional terhadap sekelompok warga negaranya itu apakah kehidupannya telah mendekati tingkat kesejahteraan dan keadilan serta kesetaraan sesuai tujuan dari pemberlakuan Otsus.

Mesti diketahui dan dipahami ada empat hal substantif yang menjadi dasar lahirnyaUU Otsus Papua. Pertama, meminimalisasi kesenjangan sosial, budaya dan ekonomi antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat pendatang. Kedua, meminimalisasi kesenjangan pembangunan antara Papua dengan wilayah wilayah lain di Indonesia. Ketiga, penyelesaian pelanggaran kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan keamanan atas nama negara melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Keempat, mengklarifikasi sejarah penyatuan Papua dengan Negara Republik Indonesia. Sepanjang dan selama hampir dua dekade penyelenggaraan Otsus kita lebih banyak fokus pada tujuan pertama dan kedua, meskipun mesti diakui masih jauh daya ungkitnya di lapangan khususnya terhadap kehidupan masyarakat asli Papua.

Sehingga kehidupan masyarakat asli Papua masih saja dalam kondisi yang memprihatinkan, sementara di sisi lain kita tak bisa menafikkan selama pelaksanaan Otsus juga telah memberikan kemajuan yang berarti. Namun kemajuan itu masih perlu dipersoalkan.

Terjadi semacam polemik di kalangan masyarakat Papua Otsus telah gagal terutama pendapat ini berasal dari kelompok kelompok intelektual yang kritis. Di pihak lain bagi mereka “penikmat” hasil dari Otsus menyatakan Otsus tidak gagal justru telah mendatangkan kemajuan. Pendapat seperti ini berasal dari kalangan pemerintah dan kelompok oportunis yang ikut merasakan dan menikmati produk dari Otsus.

Terbelahnya dua pendapat ini mencerminkan Otsus perlu dilakukan evaluasi sehingga dapat diukur sampai sejauhmana Otsus telah memberikan manfaat bagi masyarakat Papua atau justru sebaliknya. Pada level negara evaluasi perlu dilakukan sebagai konsekuensi dari amanat konstitusi sedangkan pada tingkat masyarakat, rakyat Papua dapat meminta pertanggungjawabkan negara bahwa tujuan dari penyelenggaraan Otsus belum memberikan kemajuan yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan bagi kehidupan OAP.

KKR Kelalaian kita selama 20 tahun terakhir pelaksanaan Otsus belum menyentuh butir ketiga dan keempat. Baik penyelesaian kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh aparat atas nama negara dalam wujud pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi atau KKR maupun klarifikasi sejarah penyatuan masyarakat dan tanahPapua dengan NRI.

Jujur mesti diakui ada keengganan dari negara merealisasikan dua tujuan ini. Ada kekhawatiran yang berlebihan jika dua hal ini dilakukan akan berdampak terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal Otsus lahir bertujuan supaya tercapai rekonsiliasi antara Negara dengan rakyat Papua. Kekhawatiran yang berlebihan itu termanifestasi dengan berbagai langkah-langkahpemerintah yang justru semakin menghambat proses penyelesaian soal-soal kemanusian. Padahal telah banyak upaya upaya dari kelompok-kelompok masyarakat terutama para aktivis kemanusiaan yang mendorong pemerintah agar dilakukan “percakapan bersama” guna mencapai konsensus bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Mengapa? Menurut pendapat saya tidak adanya saling percaya terutama Pemerintah Pusat kepada rakyat Papua. Sehingga inisiatif yang muncul dari stakeholder terkait dan kelompok-kelompok strategis dianggap mengganggu keutuhan stabilitas nasional dan integrasi bangsa. Untuk itu agar adanya rekonsiliasi dalam bentuk pembentukan KKR menjadi PR yang perlu dipikirkan dan diupayakan agar dapat mengakhiri minimal mengurangi konflik yang muncul di Papua yang sewaktu waktu dapat mengganggu relasi Jakarta dan Papua.

Otsus Plus

Seperti diketahui tahun 2014 yang lalu Gubernur Papua dan Pemerintah Provinsi telah berupaya untuk mengajukan satu draf dalam rangka revisi UU 21/2001. Usaha ini kita sambut positif. Hanya saja ada beberapa kekurangan, baik dari perspektif yuridis maupun politis termasuk strategi untuk menggolkan Otsus Plus. Kelemahan dari aspek yuridis sesuai dengan syarat ketentuan dari UU 11/2012 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang – undangan, Otsus Plus tidakmemenuhi dua syarat ( hasil rapat sinkronisasi K/L di Kementerian Hukum dan HAM) adalah akademik paper yang lemah dan tidak dilakukan konsultasi dan uji publik dari draf Otsus Plus di masyarakat.

Karena itu maka Otsus Plus dianggap tidak memenuhi kriteria perundang-undangan sebenarnya masih perlu diperdebatkan. Sedangkan dari perspektif politis dan strategis dinamika politik yang berkembang di akhir masa pemerintahan Presiden SBY yang tinggal sesaat dan konstelasi politik di DPR RI pun turut memberikan pengaruh yang sangat signifikan sehingga akhirnya draf ini ditolak. 

Saya sangat memahami kemauan baik dari Gubernur Lukas Enembe namun tekad dan kemauan baik Gubernur ini perlu didukung dengan strategi dan taktik yang jitumenghadapi dinamika perpolitikan di Senayan. Gubernur memiliki komitmen yangtinggi tapi komitmen dan upaya ini mesti dibarengi dengan kerja tim yang memadai dengan taktik dan strategi yang jitu. Hal itu disertai dengan lobby yang memadai untuk meyakinkan 10 fraksi yang ada di Senayan. Lobby untuk menyakinkan sepuluh kekuatan di DPR tidak boleh dilakukan dengan cara-cara amatiran.

Tidak cukup hanya mengandalkan patron politik pada saat itu yang manapatron politik itu sudah memasuki masa akhir kekuasaannya. Dan tak bisa hanya dilakukan oleh satu atau dua orang anggota DPR RI dari wilayah Papua. Medan eskalasi kekuatan di Senayan yang membutuhkan destroyer, butuh penyapuranjau, sehingga kapal induk bisa tiba di daratan. Dan hal ini tidak gampang membutuhkan skill dan ketepatan maupun kecermatan butuh art guna menyakinkan fraksi-fraksi di DPR RI. Mungkin pengalaman Tim Asistensi Draf UU 21/2001 perlu dijadikan pelajaran meskipun saya sadar bahwa iklim dan atmosfir politiknya sudah berbeda tapi taktik, strategi dan langkah langkahnya patut menjadi masukan.

Satu hal yang penting saya tegaskan dan kita mesti pahami bersama bahwa UU 21/2001 tentang Otsus Papua adalah UU Politik. Sehingga nilainya tidak sama dengan undang sektoral atau teknis belaka. UU Politik untuk menyelesaikan salah satu masalah bangsa yang tidak pernah dituntaskan sejak Indonesia merdeka hingga kini.

Jadi evaluasi terhadap implementasi Otsus merupakan keharusan tidak boleh tidak ini tanggung jawab negara terhadap keberlanjutan satu komunitas sosial dari wargabangsa ini yang juga berhak dilindungi dan diberikan kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan oleh negara sesuai amanat konstitusi.Penulis, Frans Maniagasi adalah Anggota Tim Asistensi Draf UU Otsus Papua (2001).

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru