JAKARTA- Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dr Evita Nursanty, MSc menilai UU No. 19/2016 tentang Perubahan UU No.11/2008 tentang ITE khususnya terkait pasal 28 yakni ujaran kebencian dan berita hoax tidak perlu untuk direvisi saat ini. Dibawah ini wawancara Bergelora.com dengannya di Jakarta, Rabu (30/8). (Redaksi)
Bagaimana menurut anda tentang desakan revisi pada Undang-Undang ITE?
Aturan dan penegakan hukum yang tegas memang sangat dibutuhkan saat ini demi keselamatan bangsa ini dari perpecahan. Tidak perlu revisi di pasal 28, sudah tepat itu. Kita ingin menjaga bangsa dan negara ini tetap kondusif dari upaya-upaya berita bohong dan ujaran kebencian bernuansa SARA.
Apa alasan mereka menuntut revisi?
Sejumlah LSM menginginkan agar DPR merevisi UU ITE dengan dalih aturan soal ujaran kebencian multitafsir dan bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan politik, khususnya saat digelarnya pilkada serentak maupun pemilu.
Mengapa tidak perlu direvisi?
Permintaan untuk “mempreteli” UU itu tidak logis. Pertama, karena UU ITE belum sampai setahun sejak direvisi akhir tahun lalu. Kedua karena saat ini melihat maraknya ujaran kebencian dan berita hoax yang sudah mengancam keutuhan bangsa sehingga revisi pada pasal penting itu akan membuat lebih runyam lagi permasalahan.
Sebenarnya apa dibalik tuntutan itu?
Mereka minta agar UU ITE direvisi kembali menghadapi tahun politik seperti pilkada. Logikanya justru terbalik, kita justru ingin agar kontestasi politik seperti pilkada jangan jadi alat untuk menghancurkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan bangsa. Kita kok malah ingin mempreteli yang sudah baik demi tujuan politik kekuasan?
Bagaimana kalau jadi alat menjatuhkan lawan politik?
Kepentingan pasal ujaran kebencian bernuansa SARA dan hoax itu, bukan soal jatuh-menjatuhkan lawan politik tapi ini soal komitmen kita sebagai bangsa. Siapapun dia, dari parpol manapun, atau calon kepala daerah manapun, tim suksesmanapun kalau dia membuat berita bohong, mengadu-domba dengan isu SARA itu harus ditindak. Ingat bahwa kepala daerah atau presiden atau anggota DPR bisa datang silih berganti tapi negara ini, bangsa ini harus utuh.
Ada yang bilang pasal 28 tersebut sebagai pasal karet?
Pasal 28 UU ITE bukan pasal karet. Saat pembahaaan revisi UU ITE tahun lalu di DPR semua fraksi sepakat untuk tidak mengubah pasal 28 ini kecuali perubahan di pasal 27 yakni terkait pencemaran nama baik dimana kemudian hukumannya diubah dari 6 tahun menjadi 4 tahun. Sebaliknya untuk pasal 28 tidak ada pengurangan hukuman yakni 6 tahun dan denda Rp1 miliar. Ini bentuk kesadaran DPR sebagai negarawan bahwa ujaran kebencian itu sangat mematikan bagi Indonesia.Aturan tegas ini perlu diambil agar masyarakat dan negara ini tertib, jika semua orang bisa saling menghujat dengan menggunakan SARA, negara ini akan kacau dan runtuh bila dibiarkan.
Jadi apa kepentingan mereka?
Saya malah curiga pihak-pihak yang menggugat pasal-pasal terkait berita hoax dan ujaran kebencian ini dengan meminta untuk direvisi agar mereka bisa leluasa menghasut atau membuat situasi tidak kondusif, dan itu semua dimaksudkan untuk merusak persatuan dan kesatuan bangsa, hingga mendelegitimasi pemerintah yang
seakan tidak bisa memelihara keamanan.
Bagaimana agar semua pihak mematuhi?
Secara khusus, saya juga meminta agar dalam menghadapi pilkada 2018 maupun pemilu 2019, KPU dan Bawaslu harus tegas, dan tidak membiarkan pilkada jadi ajang keretakan bangsa. Jika ada tim sukses calon kepala daerah menggunakan fitnah dan ujaran kebencian untuk memenangi kontes maka harus didiskualifikasi dan juga dihukum.
Nampaknya masyarakat belum banyak yang mengerti soal UU ITE ini, bagaimana?
Kita sendiri menyayangkan sosialisasi mengenai UU ITE ini belum dilakukan secara optimal sehingga masih banyak pihak yang salah paham. Untuk itu Kemenkominfo maupun institusi terkait lainnya harus menggencarkan sosialisasi ini, termasuk kampanye media sehat dan bijak menggunakan media. (Web Warouw)