JAKARTA- Pemerintah diminta untuk menjaga martabat menghentikan cari muka (carmuk) dan mabuk pujian dari investor asing seperti yang sudah berlangsung selama ini. Sebaliknya pemerintah harus bersikap tegas terhadap semua perusahaan asing yang selama ini tidak menjalankan kewajibannya selama beroperasi di Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh mantan Menteri Keuangan, Fuad Bawazier kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (9/8).
“Sudah jadi rahasia umum perusahaan-perusahaan ini banyak yang tidak patuh dan tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya sesuai kontrak seperti menjaga lingkungan hidup, mematuhi pajak, transfer saham, wajib melakukan community development dan lainnya. Pemerintah adalah bagian negara yang bermartabat, bukan untuk “carmuk” (cari muka) seperti selama ini,” tegasnya.
Fuad Bawazier menjelaskan bahwa selama ini kebanyakan investor asing juga masih meragukan kemampuan Indonesia untuk menjadi tuan rumah yang baik
“Carmuk agar dapat pujian asing. Disanjung-sanjung sebagai pejabat negara yang tahu tata cara pasar internasional. Padahal kalau saja pemerintah mau jujur, kebanyakan investasi asing di Indonesia meragukan tuan rumah baik dari segi transfer of technology dan knowledge maupun pendapatan negara (pajak),” jelasnya.
Secara khusus Fuad Bawazier meminta agar Menteri ESDM yang baru mengingat dan melaksanakan Pasal 33 dari Undang-Undang Dasar 1945 bahwa semua isi perut bumi Indonesia adalah milik rakyat dan negara Republik Indonesia dan jangan menjadi aset dari perusahaan yang nantinya hanya diagunkan mencari hutang.
“Nasihat saya untuk Menteri ESDM yang baru adalah, cadangan minyak di perut bumi itu milik negara. Apalagi kalau sudah diproduksi (lifted) toh hak pemerintah 85% sedangkan PSC (Production Sharing Contract) atau kontrak bagi hasil hanya 15%. Jadi jangan dijadikan aset perusahaan yang biasanya akan diagunkan ke bank untuk menarik utang. Cadangan minyak bumi di perut bumi itu milik negara sesuai Pasal 33 UUD 45,” tegasnya.
Sehingga setiap pejabat negara menurutnya harus berhenti mengulang-ulang statement “pemerintah harus menghormati kontrak atau perjanjian”, seakan-akan selama ini pemerintahlah yang selama ini ingkar.
“Padahal yang seharusnya pemerintah menegaskan agar para investor termasuk PSC (Production Sharing Contract) minyak selalu menghormati kontrak dan aturan-aturan sah yang berlaku di Indonesia,” tegasnya.
Kilang Minyak Baru
Dalam catatan Bergelora.com, pemerintah Indonesia saat ini sedang mempersiapkan pengembangan kilang minyak di Dumai, Sumatera Selatan dan Balongan, Jawa Barat antara Pertamina dengan Saudi Aramco.
Saudi Aramco dan Pertamina memang sudah memiliki perjanjian kerja sama untuk beberapa kilang minyak. Pertama, penambahan kapasitas Kilang Dumai, Riau 140.000 barel per hari menjadi 300.000 barel per hari. Kedua, Kilang Balongan dari 100.000 barel per hari menjadi 350.000 barel per hari. Ketiga Kilang Cilacap dari 270.000 barel per hari menjadi 370.000 barel per hari.
Ketiga kilang ini merupakan proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) selain Plaju. Kilang Balongan nantinya mengolah minyak mentah, produk Bahan Bakar Minyak (BBM), non-BBM, dan Petrokimia. Sementara Dumai hanya menghasilkan produk BBM dan non-BBM.
Pertamina juga memiliki proyek kilang baru yakni di Bontang, Kalimantan Timur dan Tuban, Jawa Timur. Kapasitanya masing-masing 300.000 barel per hari (bph). Kilang Tuban akan bekerja sama dengan perusahaan migas asal Rusia, Rosneft, sementara kilang Bontang masih dalam kajian pasar untuk lelang.
Dengan kapasitas saat ini ditambah kilang baru Tuban, Bontang, dan RDMP, Indonesia diharaokan tidak perlu lagi mengimpor BBM pada akhir 2023. Kemudian ada perkiraan konsumsi BBM kembali meningkat hingga 2,6 juta barel per hari (bph) pada 2030. Pertamina akan menambah dua kilang baru lagi yang masing-masing berkapasitas 300 ribu bph.
Untuk membangun dua kilang anyar itu, Pertamina sedang mencari lokasi lahan yang tepat. Ada beberapa tempat yang menjadi kandidat yakni di wilayah regasifikasi Arun di Aceh; wilayah Karimun, Kepulauan Riau; dan Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Untuk menunjang proyek kilang tersebut, Pertamina membutuhkan pasokan minyak mentah. Saat ini, dengan kapasitas kilang sebesar satu juta barel per hari (bph), sekitar 40 persen atau 350 ribu bph kebutuhan minyak mentah berasal dari impor.
Ketika kilang RDMP telah beroperasi, Pertamina juga segera mencari sumber pasokan minyak mentah lain, termasuk dari Iran atau Arab Saudi. (Web Warouw)