JAKARTA – Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengungkapkan bahwa pemerintah tengah mencari jalan keluar untuk membayar utang proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh tanpa menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini disampaikan Prasetyo merespons sikap Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menolak menggunakan APBN untuk membayar utang proyek kereta cepat.
“Beberapa waktu yang lalu juga sudah dibicarakan untuk mencari skema supaya beban keuangan itu bisa dicarikan jalan keluar,” kata Prasetyo seusai rapat kabinet di kediaman Presiden Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Jakarta, Minggu (12/10/2025) malam.
Prasetyo menyebutkan, pembayaran utang proyek Whoosh sendiri tidak dibahas dalam rapat di kediaman Prabowo tersebut. Namun, ia menekankan bahwa Whoosh merupakan moda transportasi yang sangat membantu masyarakat dan harus didukung perkembangannya.
“Karena faktanya kan juga Whoosh, kemudian juga menjadi salah satu moda transportasi yang sekarang sangat membantu aktivitas seluruh masyarakat, mobilitas dari Jakarta maupun ke Bandung dan seterusnya,” kata Prasetyo.
Prasetyo juga kembali menyinggung wacana perpanjangan rute Whoosh hingga Surabaya, Jawa Timur.
“Dan justru kita pengin sebenarnya kan itu berkembang ya, tidak hanya ke Jakarta dan sampai ke Bandung, mungkin juga kita sedang berpikir untuk sampai ke Jakarta, ke Surabaya,” imbuh dia.
APBN untuk bayar utang kereta cepat Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menggunakan uang negara alias APBN untuk menanggung utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) itu kini tengah disorot karena beban utangnya mencapai Rp 116 triliun.
Danantara, sebagai superholding BUMN, disebut tengah mencari cara meringankan pembiayaan proyek tersebut, termasuk kemungkinan meminta dukungan dari APBN. Namun, Purbaya menolak wacana itu karena menurutnnya utang proyek KCIC bukan tanggung jawab pemerintah, melainkan sepenuhnya menjadi urusan BUMN yang terlibat di dalamnya.
Meski mengaku belum menerima permintaan resmi dari Danantara, Purbaya mengingatkan bahwa sejak superholding itu terbentuk, seluruh dividen BUMN telah menjadi milik Danantara dan tidak lagi tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Nilainya disebut bisa mencapai sekitar Rp 80 triliun per tahun.
“Kalau sudah dibuat Danantara, kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih, harusnya mereka manage dari situ. Jangan ke kita lagi (Kemenkeu),” ujar Purbaya dalam Media Gathering APBN 2026 di Bogor, Jumat (10/10/2025).
Tak Ditanggung APBN
Kepada Bergelora.com.di Jakarta dilaporkan, polemik utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali mencuat. Nilainya kini menembus Rp 116 triliun, menekan kinerja keuangan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang menjadi operator proyek tersebut.
Pemerintah memastikan, beban utang kereta cepat Jakarta-Bandung itu tidak akan ditanggung oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, tanggung jawab pembayaran berada di tangan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), lembaga yang kini mengelola KCIC bersama sejumlah BUMN strategis.
“Kan KCIC di bawah Danantara ya. Kalau di bawah Danantara kan mereka sudah punya manajemen sendiri, punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa dapat Rp80 triliun atau lebih. Harusnya mereka manage (utang KCJB) dari situ. Jangan kita lagi,” ujar Purbaya, Jumat (10/10/2025).
Jadi Tanggung Jawab Danantara
Menurut Purbaya, pengelolaan BUMN di bawah Danantara seharusnya membuat perusahaan-perusahaan tersebut tidak lagi bergantung penuh pada intervensi pemerintah dan APBN.
Ia menjelaskan, kini dividen BUMN tidak lagi masuk ke kas negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP), melainkan dikelola langsung oleh Danantara. Karena itu, tanggung jawab penyelesaian utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung juga berada di tangan lembaga tersebut.
“Kan kalau nggak, ya semuanya kita lagi, termasuk devidennya. Jadi ini kan mau dipisahin swasta sama government,” katanya.
Meski demikian, Purbaya mengaku belum mendapat laporan resmi terkait skema penyelesaian utang KCIC.
“Yang jelas, sekarang saya belum dihubungi tentang masalah itu,” ujarnya.
Danantara Siapkan Dua Skema Penyelesaian
Beban utang kereta cepat Jakarta-Bandung yang mencapai Rp 116 triliun membuat Danantara menyiapkan dua opsi penyelesaian.
Chief Operating Officer (COO) Danantara, Dony Oskaria, mengatakan lembaganya tengah mempertimbangkan dua langkah, yakni menambah penyertaan modal (equity) atau menyerahkan infrastruktur kepada pemerintah.
“Apakah kemudian kita tambahkan equity yang pertama atau kemudian memang ini kita serahkan infrastrukturnya sebagaimana industri kereta api yang lain, infrastrukturnya itu milik pemerintah. Nah ini dua opsi ini yang kita coba tawarkan,” kata Dony di Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Dony menambahkan, proyek kereta cepat ini telah memberi dampak ekonomi besar dengan mempercepat waktu tempuh dan meningkatkan mobilitas masyarakat.
Saat ini, jumlah penumpang kereta cepat mencapai sekitar 30.000 orang per hari.
“Tapi dari satu sisi kita juga memperhatikan keberlanjutan daripada KAI itu sendiri. Karena KCIC ini sekarang bagian daripada KAI, inilah yang kita cari solusi terbaik,” ujarnya.
Chief Executive Officer (CEO) Danantara, Rosan Perkasa Roeslani, memastikan proses restrukturisasi utang kereta cepat Jakarta-Bandung masih berlangsung. Negosiasi dilakukan antara pemerintah Indonesia, pemerintah China, dan lembaga National Development and Reform Commission (NDRC).
“Iya, sedang berjalan (restrukturisasi) dengan pihak China, baik dengan pemerintah China (negosiasi) sedang berjalan,” kata Rosan dalam acara Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Rabu (8/10/2025).
Rosan menjelaskan, restrukturisasi tidak hanya untuk meredam beban jangka pendek, tetapi juga memperbaiki struktur pembiayaan agar risiko serupa tidak terulang.
“Kita mau melakukan reformasi secara keseluruhan. Jadi begitu kita restrukturisasi, ke depannya tidak akan terjadi lagi hal-hal seperti ini, seperti keputusan default dan lain-lain,” ujarnya.
Tekanan Keuangan BUMN dan Konsorsium KCIC
Tekanan utang kereta cepat Jakarta-Bandung juga dirasakan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI), pemegang saham mayoritas KCIC. PSBI terdiri dari empat BUMN, yakni PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI, PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga Tbk, dan PTPN VIII.
KAI memiliki saham 58,53 persen, disusul Wika 33,36 persen, Jasa Marga 7,08 persen, dan PTPN VIII 1,03 persen. Sementara konsorsium China Railway memegang 40 persen saham sisanya.
Laporan keuangan KAI per 30 Juni 2025 (unaudited) menunjukkan PSBI menderita rugi Rp 1,625 triliun di semester I-2025 dan Rp 4,195 triliun sepanjang 2024. Dengan kepemilikan saham terbesar, KAI menanggung kerugian hingga Rp 951,48 miliar per Juni 2025.
Direktur Utama KAI, Bobby Rasyidin, menyebut permasalahan utang KCIC sebagai “bom waktu” bagi perusahaan.
“Kami akan koordinasi dengan Danantara untuk masalah KCIC ini, terutama kami dalami juga. Ini bom waktu,” ujarnya dalam rapat bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Rabu (20/8/2025).
Presiden Prabowo Minta Skema Solusi Utang
Presiden Prabowo Subianto juga meminta jajarannya mencari solusi pembiayaan terkait utang kereta cepat Jakarta-Bandung. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menyampaikan hal itu usai rapat di Kertanegara, Jakarta, Minggu (12/10/2025).
“Beberapa waktu yang lalu juga sudah dibicarakan untuk diminta mencari skema supaya beban keuangan itu bisa dicarikan jalan keluar,” kata Prasetyo.
Menurutnya, keberadaan kereta cepat Whoosh membantu mobilitas warga dari Jakarta ke Bandung dan berpotensi dikembangkan hingga Surabaya.
“Dan justru kita ingin sebenarnya kan untuk berkembang ya. Tidak hanya ke Jakarta dan sampai ke Bandung. Mungkin juga kita sedang berpikir untuk sampai ke Jakarta, ke Surabaya,” ujarnya.
Berapa Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung?
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mulai dibangun pada 2016 dan resmi beroperasi pada Oktober 2023. Total nilai investasinya mencapai 7,27 miliar dollar AS atau sekitar Rp 118,37 triliun dengan kurs Rp 16.283 per dollar AS.
Nilai tersebut sudah termasuk pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar 1,2 miliar dollar AS. Sekitar 75 persen pendanaan proyek ini berasal dari pinjaman China Development Bank (CDB), sementara sisanya berasal dari ekuitas konsorsium KCIC.
Dengan nilai investasi sebesar itu, proyek ini kini menghadapi tekanan besar. Pendapatan tiket belum cukup untuk menutup biaya bunga, cicilan pinjaman, dan biaya operasional harian, membuat restrukturisasi menjadi langkah penting agar proyek tetap berlanjut tanpa membebani keuangan negara. (Web Warouw)