JAKARTA — Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Pandjaitan ingin mengembangkan hilirisasi kemenyan berbasis komunitas.
Hilirisasi dilakukan setelah ia mendapat data dari ekspor kemenyan alami dari Sumatera Utara ke Asia dan Eropa.
Berdasarkan data yang ia terima, kemenyan alami dari Sumatera Utara bernama resin yang dihasilkan dari pohon Styrax Benzoin ternyata sangat dibutuhkan industri parfum, aromaterapi, makanan, hingga farmasi.
Padahal, ekspor kemenyan kita pada tahun 2024 mencapai 43 ribu ton dengan nilai lebih dari US$52 juta. Sekitar 30 persen masyarakat di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan bergantung hidup dari komoditas ini,” katanya Sabtu (24/5) lalu seperti dikutip dari akun Instagramnya.
“Inilah alasannya mengapa kami berencana mulai mengembangkan hilirisasi kemenyan berbasis komunitas,” tambahnya.
Luhut mengatakan tidak membutuhkan pabrik besar untuk melakukan hilirisasi kemenyan. Menurutnya, hilirisasi bisa dilakukan dengan teknologi sederhana seperti distilasi uap.
Dengan distiliasi ini, petani bisa menghasilkan minyak kemenyan, resin terstandar, hingga bioaktif siap ekspor.
“Kita tidak membutuhkan pabrik besar, yang kita perlukan adalah kemauan memberi nilai tambah di tempat kemenyan itu tumbuh,” katanya.
Luhut mengklaim saat ini minat pebisnis untuk melakukan hilirisasi kemenyan sudah mulai terbentuk. Hanya saja, masih ada kebutuhan yang harus dipenuhi agar semuanya bisa berjalan lancar; kerja sama yang terintegrasi dari lintas kementerian, pemerintah daerah, dan pelaku usaha.
Selain itu, data sebaran lahan dan pohon kemenyan juga diperlukan untuk memetakan soal potensi produksi dan kebutuhan.
“Saat ini, kami tengah menyiapkan peta digital sebaran lahan dan pohon kemenyan untuk memastikan setiap langkah pembangunan dilakukan berdasarkan data dan kebutuhan di lapangan,” katanya.
“Hilirisasi kemenyan adalah upaya konkret untuk memperkuat ekonomi lokal, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menjaga keanekaragaman hayati hutan,” tambahnya.
Kapur Barus, Komoditas Penting yang Terancam Punah
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, nama “kapur barus” berasal dari Barus, sebuah wilayah di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang terkenal sejak zaman kuno sebagai penghasil wewangian, termasuk kamper.
Kamper ini diperoleh dari pohon kamper (Dryobalanops camphora), yang merupakan tumbuhan khas Nusantara. Pohon kamper sendiri memiliki ukuran besar, dengan diameter batang mencapai 70 sentimeter dan tinggi hingga 62 meter.
Sejarah mencatat bahwa kapur barus telah menjadi primadona di Eropa dan Timur Tengah jauh sebelum pala dan cengkih terkenal. Dari abad ke-4 hingga ke-10 Masehi, Barus menjadi pusat perdagangan kamper dunia, menarik pedagang dari berbagai belahan dunia, termasuk China, India, Persia, hingga Afrika. Bahkan penjelajah terkenal Marco Polo menyatakan bahwa harga kapur baru setara dengan emas pada masanya.
Keberadaan kapur barus dan peranannya dalam perdagangan internasional tercatat dalam berbagai sumber sejarah, termasuk Prasasti Tamil yang ditemukan di Lobu Tua, Barus, yang menunjukkan adanya komunitas pedagang Tamil yang menetap di wilayah tersebut selama hampir tiga abad untuk mendapatkan kapur barus dan kemenyan.
Pohon kamper yang tumbuh di hutan-hutan di Semenanjung Malaya, Sumatera, dan Kalimantan, memiliki ciri khas berupa batang yang tegak dan lurus, serta daun yang mengeluarkan aroma harum saat diremas.
Habitatnya berada di daerah dengan ketinggian hingga 300 meter di atas permukaan laut. Pohon ini juga dikenal dengan berbagai nama lokal di Kalimantan, seperti kapur anggi, kapur bukit, dan telajin.
Kapur barus tidak hanya digunakan sebagai bahan wewangian. Di masa lalu, masyarakat Mesir memanfaatkan kapur barus sebagai pengawet jasad, termasuk dalam proses mumifikasi raja-raja Mesir. Selain itu, kapur barus juga digunakan sebagai bahan baku obat-obatan dan parfum di Timur Tengah, serta sebagai penguat syahwat dan obat radang mata di China.
Sayangnya, pohon kamper kini terancam punah akibat deforestasi, eksploitasi sumber daya alam, dan perubahan iklim.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah memasukkan pohon kamper ke dalam daftar 12 spesies endemik Nusantara yang terancam punah, mendorong perlunya tindakan konservasi yang mendesak untuk melestarikan pohon ini.
Kapur barus tidak hanya merupakan warisan alam, tetapi juga simbol kejayaan Nusantara yang patut dilestarikan. (Web Warouw)