Jumat, 14 November 2025

GAWAT NIH…! Polling Residu Pilpres 2019: Ini PR Pak De Jokowi Melawan Radikalisme

Danang Girindrawardana, SIP MAP, Ketua Konco Jokowi dan LeadershipPark dan Direktur Eksekutif APINDO, Prof.Dr.Zudan Arif Fakrulloh SH, Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional dan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri, KH. Maman Imanulhaq, Anggota DPR RI dan anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf,  Lely Pelitasari, Anggota Ombudsman RI dalam Talk Show di Jakarta, Sabtu (1/6) yang bertemakan ‘PR Buat Pakde Jokowi, Edisi Radikalisme’ (Ist)

JAKARTA- Kemenangan 55% Presiden Jokowi dan KH Makruf Amin ternyata menyisakan masalah-masalah besar. Residu Kampanye Pilpres 2019 saat ini berupa potensi disintegrasi bangsa, potensi perpecahan dan potensi mengarahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam bentuk lain. Hal ini disampaikan Danang Girindrawardana, Ketua LeadershipPark dan Konco Jokowi dalam sebuah Talk Show di Jakarta, Sabtu (1/6) yang bertemakan ‘PR Buat Pakde Jokowi, Edisi Radikalisme’

“Pilpres tahun 2019 disinyalir membuat bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah berubah jadi pemarah. Media sosial menjadi sarana yang massif menyuarakan fitnah, hoax, caci maki, amarah, kedengkian dan kebencian,” demikian ujarnya.

Masyarakat menurutnya secara terbuka menyatakan keprihatinan terhadap tokoh-tokoh politik dan agama yang terlihat penuh amarah menjadi motor penggerak fanatisme. Terbukti beberapa oknum tokoh agama, orang biasa, kalangan ASN, pegawai BUMN, pekerja bahkan dosen dan guru dengan sangat mudah menyuarakan cacian dan bahkan sampai mengancam membunuh Presiden.

“Walaupun mereka dipastikan akan terus berhadapan dengan hukum. Namun radikalisme akan menjadi PR (Pekerjaan Rumah) sangat serius bagi Pakde Jokowi dalam memimpin pemerintahan lima tahun mendatang,” katanya.

Untuk itu LeadershipPark dan Konco Jokowi merangkumnya dari diskusi-diskusi intensif mengajak publik untuk turut serta menyuarakan pendapatnya. Sejumlah 814 responden telah mengisi polling terbuka ini untuk memberikan saran kepada Presiden Jokowi tentang apa yang perlu dilakukan selama lima tahun kedepan.

Kepada Bergelora.com dilaporkan, review atas polling ini menunjukkan bahwa meskipun responden tidak dilakukan secara populasi terarah, namun responden memilih jawaban-jawaban dari yang sudah disediakan dan atau mengisinya jawaban kosong, secara rasional. Rangkaian jawaban itu menunjukkan bahwa mayoritas pengisi polling dari kelompok terdidik.

“Mayoritas responden optimis bahwa Jokowi mampu memimpin Indonesia dan mewujudkan persatuan Indonesia menuju cita-cita luhur bangsa keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia,” demikian Danang.

Talk Show di Jakarta, Sabtu (1/6) yang bertemakan ‘PR Buat Pakde Jokowi, Edisi Radikalisme’ (Ist)

Pembangunan SDM

Untuk mewujudkan cita-cita itu menurutnya, diperlukan pembangunan SDM yang sesuai. Seperti apa pembangunan SDM yang diperlukan untuk mewujudkan Indonesia yang bersatu dan berkeadilan sosial?

Mayoritas responden (62.2%) menjawab agar Presiden Jokowi sebaiknya mendidik masyarakat menjadi disiplin, taat hukum dan saling menghargai. Sebanyak 25,4% responden menginginkan penguatan pendidikan karakter bangsa di sekolah-sekolah. Sementara itu hanya 3,3% responden memilih jawaban memperkuat pendidikan agama, dan hanya 1% responden memilih memperkuat Pendidikan teknologi.

“Artinya responden melihat bahwa Pendidikan masyarakat menjadi disiplin taat hukum dan saling menghargai jauh lebih penting daripada pendidikan agama atau teknologi, sebagai syarat dasar bangsa Indonesia menjadi maju sejahtera. Agama mungkin dilihat sebagai ranah privat, bukan urusan negara secara kolektif,” jelasnya.

Dalam Pilpres 2019 terjadi begitu masifnya aksi fanatis dan wabah radikalisme di kalangan pendukung partai pengusung Capres dan Cawapres. Sebanyak 57,2% responden menyampaikan saran agar Presiden Jokowi nanti mengatur sanksi diskualifikasi partai yang melakukan pembiaran radikalisme di kalangan pengikutnya.

Sebanyak 25,6% responden mengusulkan agar pemerintah segera mengatur penyelenggarakan pendidikan moral, etika dan kebangsaan pada calon yang diusung oleh partai-partai politik. Sebanyak 11,2% responden mengusulakn agar ada mekanisme sanksi kepada  pimpinan partai yang membiarkan aksi radikalisme dalam partainya.

“Selama ini, belum terdapat regulasi, sehingga Parpol merasa tidak memiliki kewajiban untuk mendidik konstituennya dalam hal nilai-nilai kebangsaan dan visi nasionalisme negara. Namun justru terdapat keluhan bahwa sebagian Parpol memelihara visinya sendiri yang tidak sejalan dengan visi NKRI,” katanya.

Politisasi Rumah Ibadah

Wabah radikalisme juga mendorong politisasi rumah ibadah bersamaan dengan gerakan menolak Pancasila. Menghadapi hal ini sebanyak 60% responden menyarankan agar Presiden Jokowi segera membuat regulasi detail tata cara kampanye yang sejalan dengan UUD 1945, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Sehubungan dengan itu juga, sebanyak 17% responden mengusulkan pelarangan simbol-simbol kampanye yang memicu disintregrasi bangsa. Sebanyak 13.9% responden meminta agar memperketat syarat-syarat pencalonan, termasuk kesehatan jasmani dan kejiwaan Capres dan Cawapres.

“Belum ada mekanisme sistimatis dalam pencegahan politisasi rumah ibadah dan penggunaan terhadap simbol-simbol kampanye yang dilarang demi kepentingan NKRI,” jelasnya.

Dalam hal kurikulum berkarakter kebangsaan di sekolah, 46,3% responden menyarankan agar Presiden Jokowi memastikan penyusunan kurikulum pendikan moral, etika dan kebangsaan. Sebanyak 45.1% menginginkan agar pemerintah menghidupkan dan memperbaiki pengajaran P4 (Pedoman, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Hanya 2,6% responden yang mendukung penambahan jam kurikulum pendidikan agama.

“Masyarakat ingin agar pendidikan moral, etika dan kebangsaan diterapkan di sekolah-sekolah. Sayangnya pendidikan P4 yang juga mengandung edukasi moral etika sudah dicabut dari kurikulum pendidikan formal. Ada baiknya dilakukan penyesuaian dan implementasi,” katanya.

Untuk menghentikan radikalisme di lingkungan komunitas agama, 28,9% responden menyarankan agar dilakukan pemantauan ketat pada ceramah-ceramah di rumah ibadah. Sebanyak 26,4% responden mengharapkan ada seleksi ketat pada rekruitmen guru agama. Sebanyak 21,6% responden mendukung sertifikasi guru-guru agama dan 11,2% responden mendorong negara mengambil alih pengelolaan rumah ibadah.

Danang mengingatkan, dalam dua tahun terakhir banyak keluhan masyarakat mengenai orang-orang yang tiba-tiba bisa menjadi tokoh-tokoh agama, entah karena acara di stasiun televisi atau dadakan karena afiliasi politik.

“Masyarakat mengeluhkan minimnya pengetahuan agama yang mendalam dan lebih memanfaatkan ketenarannya untuk melakukan hasutan dan atau caci maki di publik. Kementerian Agama sampai saat ini belum mampu mengeluarkan regulasi pencegahannya dimasa depan,” katanya.

Hasutan Pada ASN dan Mahasiswa

Jika ditemukan Aparat Sipil Negera (ASN)  terlibat dengan kegiatan-kegiatan radikal anti Pancasila, sebagian besar responden sebanyak 77.9%  meminta agar pemerintah tegas memberhentikan oknum dengan tidak hormat. Sebanyak 10% responden memandang perlu melaporkan ke polisi. Hanya 4,4% yang mengusulkan pemberhentian kepala atau ketua lembaganya.

“Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan PP 30 Tahun 2019 Tentang Penilaian Kinerja ASN. Regulasi ini diharapkan cukup kuat untuk mendorong peningkatan kinerja birokrasi, dan mengatur mekanisme sanksi dan reward. Sayangnya memang tidak terdapat ketentuan khusus mengenai sanksi bagi ASN yang diduga atau terbukti terlibat dalam gerakan radikalisme anti Pancasila,” katanya.

Responden sebanyak 36,2% juga memberikan saran agar setiap perusahaan bertanggung jawab membina pekerjanya dengan nilai-nilai kebangsaan. Sebanyak  25,7% mengusulkan pemecatan pekerja yang terbukti ikut gerakan radikalisme anti Pancasila. Sebanyak 19,9% responden meminta serikat pekerja bertanggung jawab membina anggotanya dengan nilai-nilai kebangsaan. Sebanyak 12,4% responden mewanti-wanti agar perusahaan swasta tidak menerima pegawai yang pernah ikut gerakan radikalis anti Pancasila.

“Namun, hingga saat ini tidak diketahui apakah perusahaan ataupun serikat pekerja telah ikut melakukan upaya-upaya pendidikan terhadap untuk mencegah para pekerja terhasut dalam kelompok radikal dimaksud,” ujarnya.

Untuk menghadapi perkembangan anti Pancasila di sekolah dan kampus, 50,2% responden menilai pentingnya pembinaan di sekolah dan kampus. Sebanyak 26,7% responden mengusulkan agar mengeluarkan murid dan mahasiswa yang terlibat kegiatan radikalisme anti Pancasila dan 11,4% menganjurkan laporkan ke polisi.

“Padahal di beberapa kampus dan sekolah, justru para dosen dan guru yang malahan menjadi sumber munculnya gerakan radikal anti Pancasila di kalangan mahasiswa,” katanya.

Polling ini juga menilai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) yang bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Sebanyak 86,5% responden mengusulkan agar BPIP diperkuat, 3,2% mengusulkan agar dibubarkan dan 2,3% mengusulakan badan baru yang lebih efektif.

“Harapan publik terhadap eksistensi BPIP cukup besar, namun harus diperkuat. Diperlukan pemikiran yang lebih maju dan modern untuk membuat BPIP ini menjadi badan yang gaul, populis, jauh dari konvensionalitas pemikiran lama. Ia harus menjangkau masyarakat majemuk yang modern dan bersaing dengan pluralitas budaya internasional,” katanya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru