Sabtu, 12 Juli 2025

Gawat…! Siti Rubaidah: Vonis Meiliana Rusak Demokrasi dan Kebhinnekaan Indonesia

Pamflet kampanye membela Meiliana (Ist)

JAKARTA- Meiliana adalah korban dari penafsiran yang salah atas pernyataannya. Meiliana berhak untuk menyatakan pendapatnya atas ketidaknyamanannya pada suara adzan yang terlalu keras. Hal ini ditegaskan oleh Siti Rubaidah dari KBRD (Kelarga Besar Rakyat Demokratik) di Jakarta kepada Bergelora.com, Kamis (23/8).

“Nah, sayangnya pendapat itu dipelintir dan kemudian dijadikan alat untuk menyerang, mengintimidasi, merusak dan mempidanakannya. Kalau hal ini dibiarkan rusaklah sendi-sendi demokrasi yang kita bangun dan kebhinekaan yang telah ditancapkan founding fathers kita,” tegasnya.

Untuk itu mantan Sekretaris Jenderal Serikat Tani Nasional (STN) ini menggalang petisi yang ditulis Anita Lukito yang berjudul ‘Bebaskan Meiliana, Tegakkan Toleransi!’ di media www.changes.org

Dibawah ini isi petisi yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo yang sudah mengumpulkan sebanyak 55.324 dukungan.

Meiliana, seorang perempuan di Tanjung Balai, Sumatera Utara divonis 1,5 tahun penjara karena dianggap melakukan penistaan agama setelah meminta pengurus masjid di dekat rumahnya untuk mengecilkan suara adzannya dua tahun lalu. Keluhannya itu kemudian menyulut kerusuhan bernuansa SARA.

Hukuman itu dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, yang diketuai Wahyu Prasetyo Wibowo dalam sidang Selasa (21/8). Majelis hakim menyatakan Meiliana terbukti bersalah melakukan perbuatan penistaan agama yang diatur dalam Pasal 156A KUHPidana.

Pengaturan pengeras suara. (Ist)

Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua SETARA Institut mengecam vonis terhadap Meiliana yang dinilainya telah dijadikan kambing hitam dari peristiwa kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara.

“Apa yang diperbuat oleh Meiliana tidak bisa dikategorikan sebagai penistaan agama, dia hanya meminta volume suara adzan dikecilkan, itu pun tidak langsung disampaikan kepada masjidnya, tapi dia hanya bicara kepada tetangga di sekitar rumahnya. Itu permintaan biasa yang disampaikan dengan santun,” ujarnya.

Bonar menilai dalam kasus ini aparat hukum telah tunduk pada tekanan massa yang selalu meramaikan persidangan ini. Nuansa ketidakadilan dalam putusan ini menurutnya sangat kental lantara pelaku kerusuhan yang membakar kuil dan rumah-rumah warga di Tanjung Balai hanya dikenakan sanksi 3 bulan penjara.

Bonar Tigor Naipospos mengatakan selama pemerintah tidak merevisi Pasal Penistaan Agama dalam KUHP, ketidakadilan semacam ini akan terus berlanjut.

“Inilah yang kami khawatirkan selama ini, nilai-nilai toleransi di masyarakat semakin tipis dan bahkan nyaris tidak ada, lantaran perbedaan selalu ditanggapi dengan kriminalisasi.”

“Dan karena itu kami selalu mendesak agar pasal penistaan agama di revisi dan pemerintah menetapkan definisi yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penistaan agama,” tambahnya.

“Menurut catatan SETARA Institut, sejak kasus Ahok sudah terjadi sekitar 19 kasus penistaan agama dalam waktu 1,5 tahun terakhir. Jumlah itu jauh lebih banyak dibanding periode sebelumya. Dan itu hanya karena persoalan yang sebetulnya tidak patut dijadikan perbuatan kriminal,”

Seluruh penduduk Indonesia memiliki hak yang sama. Di mana letak keadilan apabila perkara yang jelas bukan tindak kriminal, serta dapat diselesaikan dengan asas kekeluargaan dan toleransi, yang dianut oleh Bangsa Indonesia, malah diputarbalikkan dan mengancam hak asasi seseorang. Vonis ini tidak dapat dibiarkan seenaknya, sementara Pemerintah Indonesia bertanggung jawab untuk menjamin hak setiap penduduknya, tak hanya sebuah golongan tertentu saja. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru