Minggu, 19 Oktober 2025

GBHN dan Partai Politik

Viva Yoga Mauladi, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) MPR RI 2014-2019). (Ist)

Rencana untuk kembali merumuskan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sudah dibacakan oleh Ketua MPR Zulkifli Hassan pada 17 Agustus 2019 lalu. Viva Yoga Mauladi, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) MPR RI 2014-2019) menuliskannya buat pembaca Bergelora.com (Redaksi)

Oleh : Viva Yoga Mauladi

SEJAK Amandemen UUD 1945 pasca reformasi 1998, telah terjadi perubahan struktur kelembagaan dan tata negara. MPR bukan lagi lembaga negara tertinggi, melainkan lembaga negara tinggi, setara dengan lembaga presiden, DPR, DPD, MA, BPK, dan MK.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dihapus dan tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya diturunkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) dinyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945 dituangkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dengan skala 20 tahun. Kemudian RPJP dijabarkan lebih detil ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang perencanaan dengan skala waktu 5 tahun. RPJM ini memuat visi, misi, dan program pembangunan dari presiden terpilih dalam pemilu, yang selanjutnya oleh pemerintah dijabarkan dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dalam skala tahunan. RPJM harus berpatokan atau berpedoman kepada RPJP. Untuk konteks daerah, pemerintah daerah harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan berpedoman kepada RPJP nasional.

SPPN dalam bentuk Undang-undang inilah sebagai pengganti GBHN yang mulai berlaku sejak tahun 2005. RPJP nasional dari tahun 2005 hingga 2025 telah diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007, yang dibagi dalam tahap RPJM 5 tahunan.

Perlukah GBHN?

Ada yang berpandangan tidak perlu lagi ada GBHN. Alasannya karena itu produk pemerintah masa lalu, isinya normatif legalisitik, dan tidak membumi. Toh secara substantif, isi GBHN sudah dijabarkan dan didetilkan ke dalam Undang-undang. Buktinya sudah ada UU SPPN.

Tetapi ada juga pemikiran lain, bahwa masih diperlukan GBHN. Alasannya, pertama, negara nasional RI yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 dibangun di atas Dasar Negara, Pancasila, memiliki cita-cita nasional, yang termaktub di pembukaan UUD 1945. Cita-cita luhur bangsa dan negara Indonesia harus dijabarkan dalam bentuk praksis. Makanya diperlukan haluan atau pedoman sebagai panduan yang menjelaskan lebih lanjut tentang kandungan nilai-nilai dari cita-cita nasional yang disusun dalam bentuk perencanaan pembangunan nasional dan skala waktunya. Rumusan substantif ini mesti ditetapkan melalui Ketetapan MPR dalam bentuk GBHN karena memuat nilai-nilai strategis bangsa dalam merencanakan pembangunan nasional. Kemudian, untuk bentuk operasional dan teknisnya dapat dijabarkan ke dalam Undang-undang dan regulasi di bawahnya.

Kedua, dari produk hukum berupa ketetapan MPR akan memberi legitimasi dan kepastian politik lebih tinggi dibanding Undang-undang. Secara filosofis dan psikologis, ketetapan MPR akan lebih bernuansa untuk nation interest, lebih berwibawa, lebih menunjukkan keputusan gotong-royong alias kolektif kolegial, dan menghindari pertarungan politik praktis yang sesaat. Meskipun MPR adalah lembaga politik, tetapi nuansa dan suasana kebatinannya lebih dirasakan sebagai lembaga negara yang berorientasi kepada kepentingan bersama seluruh fraksi partai politik dan seluruh kepentingan daerah melalui anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Adanya kepentingan bersama yang dihasilkan atau diputuskan adalah sebuah proses pertemuan dari kepentingan-kepentingan yang bersifat subyektif dari masing-masing-masing fraksi partai politik dan anggota DPD yang mewakili daerahnya. Setiap partai politik dipastikan akan membawa misi ideologisnya agar dapat menjadi kebijakan negara. Begitu pula dengan anggota DPD. Mereka tentu akan membawa misi dan kepentingan daerahnya untuk diperjuangkan agar dapat diputuskan menjadi kebijakan negara. Adu gagasan, ide, dan kepentingan di forum MPR akan menemukan titik temunya ketika semuanya dapat terakomodasi dan terwakili dengan baik dan konstitusional.

Saya ilustrasikan secara sederhana. Sebuah negara yang merdeka dan berdaulat tentu dibangun atau memiliki prinsip-prinsip dasar (philosofische grondslag), fundamental, falsafah dalam negara. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara adalah menjadi ideologi negara. Kemerdekaan suatu bangsa tentu akan didorong oleh cita-cita dan kehendak bersama seluruh rakyat. Secara konsepsional mereka akan menghendaki hidup berbangsa yang bermartabat, terjaminnya hak individu dan kepentingan bersama, terjaminnya keadilan sosial, HAM dan kebebasan politik, bekerja mencari nafkah, terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan, lebih makmur, dan lebih bahagia (happiness). Nilai-nilai dasar tersebut harus menjadi cita-cita yang diperjuangkan. Pancasila sebagai dasar negara juga memiliki nilai-nilai universal tersebut: percaya kepada Tuhan yang Maha Esa (monoteistik), kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi, dan keadilan sosial.

Ideologi Pancasila harus dijabarkan secara konstitusional dan harus dapat dilaksanakan secara operasional dengan merumuskan seperangkat peraturan dalam bentuk undang-undang dan peraturan di bawahnya. Tanpa adanya kebijakan atau peraturan yang bersifat operasional, Pancasila sebagai ideologi tidak akan menjadi ideologi yang hidup (living ideology). Maksud dari living ideology adalah nilai-nilai ideologi terinternalisasi atau berhasil menjadi nilai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila tidak digunakan sebagai alat politik, tidak menjadi ideologi sempit, dan tidak jumud.  Tetapi Pancasila menjadi ideologi yang fungsional, dapat menjawab dinamika dan perubahan sosial, menjadi rujukan moral bagi para penyelenggara negara, tokoh, dan masyarakat.

Pelaksanaan ideologi secara operasional ditetapkan atau dirumuskan ke dalam undang-undang dan peraturan di bawah undang-undang. Ini yang saya maksudkan bahwa sebuah tindakan praksis yang terencana dan memiliki tujuan pada dasarnya merupakan pengejahwantahan atau derivasi dari nilai-nilai ideologi sebagai dasar rujukan. Program pemerintah dapat dikatakan merupakan pelaksanaan dari ideologi Pancasila karena setiap Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dirumuskan berdasarkan tujuan pembangunan nasional, dinamika masyarakat dan tantangannya, serta kebutuhan masyarakat. Semua dalam kerangka pemikiran yang integral dan sinergis.

Jadi, ideologi sebagai prinsip dasar nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat, diformulasikan ke dalam konstitusi negara, lalu diturunkan ke dalam platform atau Garis Perjuangan sebagai pedoman, kemudian diturunkan ke dalam peraturan perundang-undangan, dan selanjutnya tugas lembaga eksekutif adalah berkewajiban melaksanakan undang-undang dalam bentuk program nyata di masyarakat demi kepentingan bangsa dan negara.

Jadi sesungguhnya platform atau Garis Perjuangan dapat dikatakan merupakan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang merupakan turunan amanat dari ideologi Pancasila dan UUD 1945, yang berisi pokok-pokok pedoman atau haluan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam seluruh aspek kehidupannya: ideologi, politik, ekonomi, social budaya, pertahanan keamanan, energi, air, pangan, teknologi, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, dan sebagainya.

GBHN sebagai pedoman dirumuskan dalam skala waktu tertentu, pendek, menengah, panjang. Tujuan dari hal ini adalah, pertama, Negara Indonesia memiliki perencanaan pembangunan secara sistematis, bertujuan, dan memiliki target untuk mewujudkan Cita-cita Kemerdekaan. Siapapun yang memegang tampuk kekuasaan eksekutif sebagai penyelenggara negara, dari partai politik dan ideologi politik partai apapun, tetap merujuk kepada GBHN sebagai platform pembangunan bangsa dan negara.

Kedua, agar terjadi kesinambungan dan berkelanjutan dalam mewujudkan Cita-cita kemerdekaan, siapapun yang menjadi penyelenggara negara. Hal ini akan mengurangi dan atau menghilangkan kecurigaan politik kepada penyelenggara negara/ pemerintahan dalam melaksanakan programnya karena setiap program adalah merupakan turunan dari ideologi negara dan GBHN.

Bagaimana Sikap Partai Politik tentang GBHN Baru ?

Jawabnya, tentu berbeda-beda. Ada yang setuju GBHN dihidupkan lagi, namun ada partai politik yang tidak setuju, dengan berbagai argumentasi. Perbedaan ini wajar dalam suasana demokrasi karena perspektif partai politik dalam memandang kondisi bangsa dan negara memiliki dasar pemikiran sendiri-sendiri. Perbedaan pemikiran atau pandangan partai politik dalam melihat GBHN tentu dapat ditelusuri dari ideologi politik partai, tujuan dan target subyektif partai politik.

Menurut saya, adanya perbedaan pandangan dan pemikiran partai politik terhadap keberadaan GBHN masih perlu atau tidak, lebih pada pemikiran strategis konsepsional. Maksudnya bahwa pelaksanaan ideologi Pancasila dan UUD 1945 apakah langsung diturunkan ke dalam undang-undang dan peraturan di bawahnya, ataukah dalam melaksanakan ideologi Pancasila dan UUD 1945 perlu diturunkan terlebih dahulu ke dalam GBHN sebagai platform atau pokok-pokok nilai, lalu diturunkan ke dalam undang-undang dan peraturan di bawahnya. Perlu ada waktu dan ruang dialog secara intensif dan sinergis para pemimpin partai politik dalam wacana menghidupkan kembali GBHN.

Mengapa partai politik ? karena partai politik adalah lembaga demokrasi modern yang diatur di dalam UUD 1945 sebagai bagian integral dalam proses berbangsa dan bernegara. Lembaga legislatif, eksekutif/ pemerintahan dibentuk melalui mekanisme demokrasi setiap lima tahunan, yaitu pemilu. Sirkulasi kepemimpinan, mediator antara rakyat dan negara, pemilihan jabatan kenegaraan dan pemerintahan, menyerap aspirasi dan mengagregasi kepentingan rakyat, semuanya, melalui jalur partai politik. Negara bangsa yang menganut sistem pemerintahan demokrasi di dunia selalu menghadirkan partai politik.

Mengapa saya optimis bahwa jika para pemipin partai politik bertemu dan berdialog secara intensif, ide menghadirkan kembali GBHN dapat terwujud? Pertama, meski setiap partai politik memiliki ideologi politik yang khas, namun dari platform dan program partai tidak ada perbedaan yang ekstrim. Tidak ada satupun partai politik Islam yang mencantumkan mendirikan Negara Islam dan tidak satupun partai politik nasional yang mencantumkan mendirikan Negara Sekuler. Hal in akan membuat kondisi temu gagasan antar partai politik lebih mudah memperbanyak titik temu karena tidak ada pandangan diametral atau berbeda tajam.

Kedua, saya meyakini bahwa pemimpin partai politik akan menjunjung kepentingan nasional (national interest) lebih tinggi dibandingkan dengan kepentingan individu, kelompok, suku, agama, maupun partai politik. Sekarang ini bagaimana memosisikan bahwa bangsa dan Negara Indonesia memerlukan GBHN sebagai haluan/ pedoman nilai-nilai sebagai national interest bersama dari seluruh partai politik di Indonesia. Di tengah kompetisi dan globalisasi yang tidak bebas nilai, yang membutuhkan kebersamaan dan komitmen bersama dari partai politik, kita memerlukan haluan/ pedoman yang ditetapkan melalui keputusan MPR agar perencanaan pembangunan nasional sebagai penjabaran dari pelaksanaan ideologi Pancasila dan UUD 1945 dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan. Siapapun pemegang tampuk kekuasaan pemerintahan.

Tujuan dari ditetapkan GBHN oleh MPR adalah untuk menjelaskan, menerangkan, merumuskan, dan menurunkan nilai-nilai dari ideologi Pancasila dan UUD 1945 ke dalam nilai-nilai yang lebih nyata, konkrit, dan lebih terencana sebagai haluan/ pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru