JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Indonesia, Yusril Ihza Mahendra menanggapi soal Polda Sulawesi Selatan yang digugat perdata senilai Rp800 miliar terkait pengamanan rahasia pada masa lalu.
Menurut Yusril, sah-sah saja seorang warga negara mengajukan gugatan perdata.
“Kita persilakan mereka melakukan gugatan. Gugatan perdata dalam hal ini sah-sah saja dilakukan. Kalau ada gugatan itu kita tidak bisa menahan-nahan orang. Kita menghormati hak setiap warga negara untuk mengambil upaya hukum,” kata Yusril di Makassar, Sulawesi Selatan, dikutip Bergelora.com di Jakarta, Minggu (14/9)
Yuzril menjelaskan ketentuan dalam hukum acara perdata maka terlebih dahulu akan dilakukan proses tahap media, sebelum berlanjutnya konferensi.
“Tergugatnya tentu kami akan memberikan Arahan kepada Polda untuk menjawab gugatan itu. Dan tentu jika gugatan perdata diajukan, ada mediasi selama 40 hari. Apakah bisa dimediasi atau tidak, jika gagal, maka sidang akan dilanjutkan,” ungkapnya.
Menurut Yusril, akhir dari proses gugatan perdata tersebut lebih kepada kompensasi atau ganti rugi, berbeda dengan kasus pidana.
“Karena ini memang gugatan perdata, ujung-ujungnya kan adalah sanksinya ganti rugi. Jadi izinkan mekanisme hukum itu berjalan. Beri kesempatan pada semua, dan kita menghormati pengadilan sepenuhnya,” imbuhnya.
Polda Sulsel Diggugat Rp800 Miliar

Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan digugat secara perdata senilai Rp800 miliar oleh warga Makassar bernama Muhammad Sulhadrianto Agus melalui kuasa hukumnya Muallim Bahar terkait dugaan kelalaian institusi tersebut hingga terjadi kerusuhan pembakaran DPRD Kota Makassar dan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan pada 29-30 Agustus 2025 dan menimbulkan korban jiwa.
“Kita hargai upaya-upaya itu (gugatan) karena semua punya hak. Tapi, perlu saya sampaikan bahwa kepolisian sudah berusaha maksimal dan dengan penuh pertimbangan,” tutur Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol Didik Supranoto saat dikonfirmasi wartawan, Selasa.
Ia menjelaskan, usai kejadian kerusuhan tersebut pihak kepolisian telah bekerja keras mengungkap dalang kerusuhan serta menangkap puluhan orang yang sudah ditetapkan tersangka.
“Sekarang sudah dilakukan penangkapan terhadap 32 orang, dan sudah ditetapkan sebagai tersangka terkait pembakaran dan perusakan gedung DPRD Sulsel dan DPRD Makassar,” kata Didik.
Terkait dengan gugatan tersebut, pihaknya siap menghadapi. “Kalau memang ada upaya hukum, tentu kepolisian, Polda Sulsel juga berusaha dengan upaya-upaya hukum,” ujarnya merespons.
Gugatan tersebut resmi dimasukkan pemohon Muhammad Sulhadrianto Agus melalui kuasa hukumnya Muallim Bahar ke Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Makassar pada Senin (8/9) perihal dugaan perbuatan melawan hukum kepada tergugat Polda Sulsel.
Menurut Muallim, gugatan itu berkaitan dengan pola pengamanan pihak kepolisian selama peristiwa berlangsung diduga tidak dijalankan. Sebab, kejadian pembakaran Kantor DPRD Kota Makassar pada Jumat (29/8) malam sampai berlanjut ke DPRD Provinsi pada Sabtu (30/8) dini hari.
Ia mengungkapkan, saat kerusuhan terjadi diduga tidak ada aparat menjalankan pengamanan atau pun mencegah massa berbuat anarkis sampai akhirnya membakar fasilitas vital pemerintah. Dugaan lainnya, pihak intelijen tidak memiliki informasi awal yang seharusnya bisa mengantisipasi insiden itu.
“Ini soal pengamanan unjuk rasa, mengakibatkan terbakarnya dua kantor DPRD Makassar dan DPRD Sulsel mengakibatkan tiga orang meninggal dunia dan beberapa luka. Siapa yang bertanggung jawab?,” paparnya kepada wartawan.
Selain itu, pertanyaannya saat kejadian kerusuhan, di mana aparat kepolisian yang mencoba menahan serta mencegah massa berbuat anarkis membakar bahkan merusak fasilitas umum, termasuk pos polisi dibakar. Tetapi, belakangan setelah kejadian baru menetapkan tersangka.
“Dalam gugatan, kami nilai kepolisian lalai. Kami mengurai kerugian materil atas kejadian itu sebesar Rp800 miliar. Hitungan ini jelas, dan kami akan buktikan di pengadilan. Bila menang seluruhnya disumbangkan ke pembangunan kantor dan para korban,” katanya.
Menanggapi alasan kepolisian saat peristiwa itu kekurangan personil dengan massa sangat banyak, serta berisiko besar bila diturunkan akan menjadi target sasaran amukan massa, kata Muallim, tidak seperti itu. Sebab, kalau sasarannya polisi tentu massa akan menyerang Kantor Polrestabes maupun Polda Sulsel.