JAYAPURA – Pemerintah Provinsi Papua akan menolak dengan tegas, apabila PT Freeport dan Kementerian ESDM membangun pabrik smalter terbesar di Gresik, Jawa Timur.
“Ini konsentrat sangat besar, jika Freeport akan membangun smalter terbesar didunia, kalau semua diolah Gresik, Pemprov Papua akan keberatan kalau semua diolah disana. Tetap harus diolah di provinsi ini,” tegas Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Alam dan Mineral (ESDM) Provinsi Papua, Bangun Manurung kepada Bergelora.com, Selasa (27/1) siang di kantor Gubernur Dok II, Jayapura.
Tidak hanya itu saja, Pemprov Papua juga tidak dilibatkan dalam perpanjangan kontrak enam bulan ijin ekspor, antara Pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan pihak PT Freeport.
Menurut Bangun Manurung, perpanjangan MoU (Memorandum of Understanding) atau nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan pihak PT Freeport Indonesia mengenai perpanjangan ijin ekspor selama enam bulan kedepan terkait dengan penilaian terhadap kesiapan smalter. Sehingga diperpanjang ijin ekspor ini dilakukan hanya oleh Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian ESDM.
“Jadi hal–hal teknis dan sebagainya itu kita tidak pernah dilibatkan untuk mengevaluasi, termasuk juga dimintai saran juga tidak pernah,” ujarnya.
Kemudian tentang rencana pembangunan smalter oleh PT Freeport di Gresik, Jawa Timur, menurutnya pada prinsipnya pemerintah provinsi tidak mempersoalkan hal itu.
“Silahkan kalau di Gresik ingin dikembangkan karena memang konsentrat yang dihasilkan oleh PT Freeport ini sangat besar, silahkan nanti sebagian nanti di Gresik. Dalam artian dikembangkan yang ada sekarang. Tetapi yang jelas di Papua juga harus ada,” tukasnya.
Sebab sebelumnya telah disepakati bersama dalam rapat terakhir antara dirinya sebagai Kadis ESDM yang mewakili Provinsi Papua bersama Menteri ESDM Sudirman Said dan juga Wakil Menteri Keuangan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Frangky Siahaan pada tanggal 23 Desember 2014 di Jakarta, dengan jelas memutuskan bahwa PT Freeport Indonesia tetap harus membangun smalter di Papua dan itu selesai paling lambat tahun 2020.
Tentunya tahun–tahun ini sudah harus ada persiapan awal. Nantinya direncanakan akan dibangun dua lokasi smalter yakni di Kabupaten Mimika, Papua dan Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
“Sekarang menurut pandangan kami, karena memang PT Freeport harus menunjukkan kemajuan dalam membangun smalter. Bagaimana dengan keinginan Gubernur Lukas Enembe, smalter harus tetap ada di Papua dan itu harga mati, tidak bisa diubah,” tegasnya.
Hal ini supaya ada nilai tambah agar kehadiran PT Freeport di Indonesia itu benar–benar terjadi dan dinikmati rakyat yang ada di Papua.
Dana Besar
Saat disinggung tentang kebutuhan dana yang tidak sedikit untuk membangun pabrik smalter di Papua, ia menjelaskan bahwa investor yang berkeinginan membangun pabrik smalter ini, butuh dana sebesar 2 milyar US Dollar untuk pembangunan smalter di Papua.
Soal lokasi sudah ditetapkan di Kabupaten Mimika, Papua. Sudah ada kawasan yang cocok juga untuk pelabuhan laut. “Sudah ada lokasi yang kita lihat layak. Cocok untuk smelter,” ujarnya.
Menyoal soal perpanjangan ijin ekspor pada perusahaan tambang emas Amerika ini, menurutnya semata–mata adalah untuk kesiapan Freeport dalam membangun smalter.
“Katanya pusat enam bulan lagi nanti dilihat sudah sejauh mana progress smalter. Itu nanti jika tidak sesuai progressnya maka dihentikan dan harus sesuai skedul (jadwal),” jelasnya.
Dalam MoU pertama menurutnya, pada tahun 2017 sudah harus beroperasi pabrik smelter.
“Tetapi MoU yang kedua ini, kami tidak tahu rinciannya secara detail karena kita belum dapat. Akan tetapi perpanjangan ijin ekspor ini semata–mata terkait dengan pembangunan smalter. Jadi sekarang diperpanjang enam bulan karena menurut Kementerian ESDM progressnya sudah cukup memenuhi,” jelasnya.
Sementara itu ditempat terpisah Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, saat diminta tanggapannya terkait pembangunan smelter di Gresik yang tidak melibatkan Pemprov Papua mengatakan pembangunan smalther itu tentunya ada hukum ekonomi.
“Saya tidak tahu persis. Karena kami dari MPR RI ini soal undang–undang. Sepengetahuan kami mungkin memerlukan teknologi yang tinggi dengan SDM yang handal. Ada hitung–hitungan tertentu yang saya tidak tahu persis,” ujarnya. (Yohana Toatubun)