Oleh: Pdt Victor Rembeth *
TANGGAL 6 Desember dirayakan oleh Gereja Barat sebagai hari seorang yang menjadi teladan, yaitu kerap disebut Santo Nikolas. Di negeri berbahasa Inggris ia disebut Santa Claus dan di Belanda menjadi Sinterklas. Oleh karena itulah perayaan yang sama sudah juga diperingati oleh banyak gereja di Indonesia. Sayangnya figur Sinterklas banyak disalah mengerti oleh penikmat Natal, dengan menurunkan peran dia sebagai pembagi hadiah belaka.
Ungkapan “Menjadi Sinterklas” malah dipersepsikan sebagai tindakan negatif yang sekedar pencitraan dan upaya menarik hati orang lain untuk pertunjukkan kebaikan seseorang. Apakah Sinterklas yang sesungguhnya demikan adanya?
Dengan derasnya kisah sinterklas yang diperingati di bulan Desember mendekati perayaan Natal, maka arus yang sama merusaknya telah menjadikan Sinterklas atau Santo Nikolaus sebagai figur yangs sekedar memberi hadiah. Sinterklas kerap juga menjadi simbol jualan produk dan kapitalisasi perayaan Natal.
Sejatinya kisah Santo Nikolaus sangat berbeda dengan pembentukan citra yang menggambarkannya sebagai bapa masa Natal pembagi hadiah. Nikolas lahir di Patar di Asia Kecil. Ia melakukan ziarah ke Mesir untuk belajar teologi dan kemudian ditahbiskan menjadi Uskup di Myra.
Selama Penganiayaan kaisar Diokletianus terhadap umat Kristen , ia dipenjarakan. Ia dibebaskan setelah Konstantinus Agung mengumumkan Dekrit Milan pada tahun 313, yang mengizinkan praktik umum agama Kristen di Kekaisaran Romawi.
Salah satu kisah yang melegenda adalah ketika Nikolas memberikan uang kepada seorang ayah yang miskin untuk mencegah putrinya dijadikan budak, karena sang ayah tidak memiliki dana untuk mahar putrinya .
Dikatakan bahwa Nicholas dari Myra melemparkan uang itu melalui jendela keluarga, yang mendarat di sepatu mereka, yang sedang dijemur di dekat perapian.
Ketika itu yang ia lakukan bukanlah memberi untuk menunjukkan kebaikan seorang Nikolas, tapi justru dengan diam diam ia memberi untuk menyelamatkan perempuan- perempuan kecil yang akan dijual karena kemiskinan.
Kisah heroik di atas itu menjadikan sepatu atau kaos kaki sebagai perlambang hadiah Santa Claus hanyalah salah satu dari kisah kisah kemanusiaannya. Sebetulnya ia telah melakukan banyak hal sejak masa mudanya dimana ia sudah tertarik dengan hal-hal religius dan merasakan panggilan menjadi rohaniwan. Bahkan menurut legenda sejak berumur 5 tahun ia sudah menjalankan puasa pada setiap hari Rabu dan Jumat.
Setelah kedua orang tuanya yang kaya-raya meninggal karena wabah penyakit, Nicholas menggunakan seluruh harta warisannya untuk karya amal, terutama untuk menolong para fakir miskin.
Rasa kemanusiaan dan tanggungjawabnya kepada orang orang yang ia layani pernah juga ia tunjukkan pada bencana kelaparan yang melanda keuskupannya dan seluruh wilayah Asia Kecil. Ia pergi dari satu daerah ke daerah yang lain untuk minta bantuan bagi umatnya yang sedang kelaparan. Ia kembali dengan sebuah kapal yang penuh dengan persediaan gandum, anggur, buah-buahan, dan berbagai macam kebutuhan umat lainnya.
Dalam tradisi diceritakan ada setan-setan yang mengganggu, tapi spiritualitas kemanusiaannya membuat setan takluk oleh karya Nikolas.
Kisah kisah itulah yang direkam sebagai legenda membuat namanya dikenang dengan kebaikan hati dan perhatiannya terhadap orang orang yang miskin dan terbuang. Ia jauh dari citra Sinterklas yang dipasarkan saat ini sebagai pemberi keuntungan dan sebagai pancingan untuk konsumerisme di masa Natal.
Ia adalah manusia yang memberi dengan hati dan melaksanakan karya kemanusiaan dengan aksi yang tidak mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Ia menjadi teladan bukan hanya bagi rohaniwan tapi juga semua pekerja kemanusiaan untuk aksi kemanusiaan sejati.
Nikolas meninggal pada tanggal 6 Desember 346, sehingga hari itu dirayakan sebagai peringatan akan karya dan aksinya sebagai hari Santo Nikolas saat ini. Ia dimakamkan di Gereja St. Nicholas, Demre, meskipun pada tahun 1087, tentara Italia memindahkan jenazahnya ke Italia ke Basilica di San Nicola dan ditahan hingga hari ini.
Secara umum kemudian Nikolas dari Myra diperingati sebagai seorang rohaniawan pelindung anak-anak, pelaut, mereka yang mengalami masalah keuangan, dan korban kebakaran. Ia adalah rohaniwan kemanusiaan, kemiskinan dan kebencanaan.
Nikolas adalah figur yang menyentak dan mengingatkan kita bahwa kebaikan itu tidak perlu dilakukan dengan gembar gembor. Pemberian tulus karena kecintaan kepada kemanusiaan adalah panggilan spiritual siapapun yang sudah merasakan Kasih Karunia dari Tuhan. Adalah sebuah dorongan kalau tanggal 6 Desember dirayakan sebagai hari Kemanusiaan dan Kebencanaan di gereja gereja mengingat sang pelopornya, Nikolas dari Myra. Masa Natal yang dekat dengan hari Nikolas bukanlah hari pesta pora, pertunjukkan konsumerisme dan mencari keuntungan sebesarnya.
Apakah kita sudah meneladani Santo Nikolas? Kapan kita terakhir berbagi dengan tulus kepada sesama atas nama kemanusiaan, dan bukan dengan embel embel keuntungan pribadi?
Tanggal 6 Desember menyadarkan kita, bahwa para bapa gereja telah memulai sesuatu yang baik dan seharusnya kita mengembalikan Sinterklas atau Santa Claus kepada jati diri asli sebagai Santo Nikolas sang pahlawan kemanusiaan.
Selamat merayakan hari Santo Nikolas dan kembali kepada panggilan kemanusiaan kita.
*Penulis Pdt Victor Rembeth, jemaat Gereja Baptis Indonesia