Sabtu, 12 Juli 2025

HARUS….! Kurtubi: Indonesia Bisa Maju Tanpa Merusak Hutan dan Lingkungan

Dr. Kurtubi, anggota DPR-RI dari Fraksi Nasdem

JAKARTA – Indonesia menghasilkan jutaan limbah B3 seperti aki bekas. Namun belum bisa mengolahnya. Padahal peningkatan pertumbuhan ekonomi di Indonesia mendorong jumlah kendaraan bermotor di Indonesia terus meningkat.

Kurtubi selaku anggota komisi VII DPR RI mengharapkan Indonesia agar segera berkembang menjadi negara maju yang pesat dengan industri tanpa merusak hutan dan lingkungan hidup.

“Tidak boleh semaunya memproduksi limbah b3 tanpa mengolahnya kembali sampai tidak berbahaya bagi lingkungan dan harus memiliki izin. Sedangkan aki bekas akan banyak sekali di tahun-tahun mendatang karena mobil kedepannya akan menggunakan listrik, tidak lagi menggunakan bbm. Pemerintah akan membuat regulasi di bawah undang-undang” ungkap kurtubi dalam simposium di Universitas Tarumanagara (Untar) bekerjasama dengan The Jakarta Consulting Group bertema “Extended Producer Responsiobility: Tanggung Jawab Pengelolaan Limbah B3 Timbal (Pb) Aki Bekas” di Auditorium Kampus I Untar, Jakarta, Kamis (12/9).

Simposium tersebut menawarkan konsep tentang sistem siklus tertutup untuk mengendalikan limbah B3 di Indonesia. Sistem ini berfokus ke pengelolaan limbah aki bekas

Menurut Kurtubi, dalam kurun waktu 68 tahun, Indonesia mampu meningkatkan 3.386,45 persen jumlah kendaraan bermotor. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor tersebut dilihat sebagai salah satu indikator akan peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat. Sedangkan di sisi lain peningkatan ini memberikan dampak yang signifikan pada lingkungan hidup. Salah satu dampaknya yaitu akan penggunaan aki (vehicle battery) oleh kendaraan bermotor. Setelah aki tidak dapat digunakan oleh kendaraan bermotor maka kita perlu mempertimbangkan untuk mengelola limbah aki dengan baik.

Sementara itu sejak Indonesia merdeka ekonomi tidak pernah tumbuh tinggi (diatas 8%) kecuali pada tahun dimana produksi minyak mencapa puncak 1.6 juta bbls/hari dan harga minyak tinggi, sehingga pendapatan negara dari migas sangat besar sekitar 80% dari migas.

Ditambahkan Saat ini pertumbuhan ekonomi disekitar 5%. Padahal untuk bisa menjadi negara maju, ekonomi harus bisa tumbuh tinggi bahkan mestinya tumbuh double digit meski hanya unttk beberpa tahun. Ini pengalaman hampir semua negara industri maju.

Salah satu penyebabnya diantaranya ketersediaan listrik yang masih rendah (total pembangkit saat ini hanya sktar 75 GW untuk penduduk 250 juta dengan konsumsi listrik hanya sekitar 1.060 kwh/kapita atau hanya 1/4 dari Malaysia atau 1/3 dari Thailand.

Untuk bisa menjadi negara industri maju maka pertumbuhan ekonomi harus ditingkatkan. Ini bisa terjadi kalau ada proses industrialisasi di seluruh tanah air dengan memperhatikan sumber daya lokal yang menonjol. Seperti perlunya melahirkan pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis tambang minerba, berbasis migas, berbasis pertanian, peternakan, perikanan, wisata , berbasis Kuliner, budaya dan lain sebagainya.

“Umumnya semua pabrik atau industri beroperasi 24 jam yang butuh listrik dengan base load yang besar, handal. Selain listrik yang bersih, aman dan dengan cost yang kompetitif. Ini artinya pemanfaatan energi dengan teknologi maju seperti PLTN harus masuk dalam sistem kelistrikan nasional,” tambah Kurtubi.

Rektor Universitas Tarumanegara Agustinus Purna Irawan mengatakan menekankan jangan hanya memikirkan kenikmatannya saja tidak memikirkan bagaimana dampak atau effek dari limbah-limbah yang sudah kita hasilkan.

“Kesadaran tentang hal ini masih rendah, sehingga kita begitu banyak menghasilkan limbah dari operasional kita baik secara individu di rumah tangga maupu di usaha atau pabrik pabrik.”

Kepada Bergelora.com dilaporkan, acara tersebut menghadirkan Narasumber, diantaranya Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rosa Vivien Ratnawati, Direktur Verifikasi Pengelolaan Limbah B3 dan Limbah Non B3 Achmad Gunawan Widjaksono, Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi, Akademisi Universitas Tarumanagara Gatot P. Soemartono, Pengamat Transportasi dan Lingkungan Yayat Supriatna, dan Penasihat Komite Nasional Kebijakan Governance Susanto. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru