Munculnya ujaran kebencian sebagai bagian dari hooliganism politik hanya sebagai ekses karena kita selama ini melihat rakyat bukan sebagai kumpulan manusia – melainkan sebagai fan’s club yang dipelihara sekedar untuk berjalannya “industri kekuasaan” segelintir elit politik dan bisnis. Demikian mantan aktivis 1998 Marlin Dinamikanto menulis dalam sebuah Analisis Berita pada #CatatanMarlin di akun facebooknya dan dimuat ulang Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Marlin Dinamikanto
TATKALA sosok Presiden Joko Widodo yang baru dilantik menjadi headline di sejumlah media Internasional – antara lain menjadi cover Majalah Time, 20 Oktober 2014 dengan judul “A New Hope” – mestinya siapa pun warga negara Indonesia bangga. Tidak banyak sosok Presiden Republik Indonesia yang baru dilantik menjadi sorotan dunia Internasional, Namun ternyata tidak semua warga negara Republik Indonesia bangga dengan itu. Bahkan tidak sedikit yang nyinyir di media sosial dengan berbagai sindiran – terutama dari kelompok yang sebelumnya tidak memilihnya sebagai Presiden. Karena memang, politik electoral di Indonesia – terutama sejak 2014 – sudah mirip pertandingan el-clasico “FC Barcelona Vs Real Madrid” yang melibatkan emosi di masing-masing pendukungnya
Rasa kebangsaan mendadak terkikis. Seperti halnya para fan’s club sepakbola, keberhasilan Real Madrid yang secara berturut-turut – meskipun sama-sama dari Spanyol – tidak serta merta disambut gembira oleh pendukung FC Barcelona – bahkan Atletico Madrid yang masih klub satu kota. Perseteruan di antara fan’s mengalahkan kebanggaannya sebagai sebuah bangsa. Begitu juga saat Sri Mulyani Indrawati – menteri keuangan Presiden Jokowi yang pernah juga menjadi Menteri Keuangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono – ditahbiskan oleh lembaga Internasional sebagai menteri keuangan terbaik dunia yang muncul di media sosial justru pernyataan nyinyir – tentu saja berasal dari orang-orang yang tidak menyukai Jokori.
Demokrasi Fans Klub
Itulah yang terjadi dalam realitas politik Indonesia. Para pendukung calon presiden lebih memposisikan diri sebagai fan’s yang mencaci klub musuh bebuyutannya dengan kebencian yang di luar rasionalitas manusia. Gambarannya mirip tatkala pendukung Juventus merayakan kemenangannya tiba-tiba ada bendera Arsenal menyusup di sana. Karena klub yang dikalahkan Juventus adalah Tottenham Hotspur yang menjadi musuh bebuyutan Arsenal di kota London. Padahal, mestinya, fan’s Arsenal turut bersedih karena klub yang sama-sama dari London dikandaskan klub dari kota Turin, Italia. Bukan justru ikut bergembira ikut merayakan kemenangan klub dari luar London – bahkan luar Inggris – hanya karena perseteruan memanjang di setiap musim kompetisi.
Gambaran di atas menjelaskan betapa pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014 telah mengubah perilaku pendukung calon presiden menjadi fanatik dan militan, Tidak ubahnya seperti pendukung klub sepakbola yang hanya mengagungkan klub kesayangannya sekaligus sangat membenci klub pesaingnya. Gejala itu yang saya sebut Demokrasi Fan’s Club dengan karakter yang mirip dengan pendukung sepakbola. Bukan saja di Spanyol, Inggris, Italia, Jerman dan Perancis. Di Indonesia pun sudah muncul fan’s-fan’s klub sepakbola dengan militansi yang bahkan dibela dengan pertaruhan nyawa. Demi menonton klub kesayangannya bertanding di luar kota, tidak sedikit seporter yang hidupnya pas-pasan meninggalkan pekerjaan dan membiayai sendiri keberangkatannya.
Akibatnya, pesta demokrasi yang mestinya disambut dengan riang gembira tiba-tiba menjadi ajang saling melukai – masih sebatas perasaan – di antara sesama. Rasionalitas ditinggalkan dan perasan lebih dikedepankan. Akhirnya sebagian masyarakat Indonesia terbelah antara Kecebong dan Kampret. Kecebong di sini sering digunakan oleh fan’s pendukung Prabowo di media sosial untuk mengejek fan’s pendukung Jokowi. Sebaliknya fan’s pendukung Jokowi melecehkan fan’s pendukung Prabowo dengan istilah kampret – karena cara berpikirnya mereka cap terbalik tidak sesuai fakta dan acap kali menyebarkan fake news alias hoak.
Sikap saling mengejek dan melecehkan itu sudah menjadi kebiasaan di antara fan’s club sepakbola – baik di ruang komentar sebuah pemberitaan, media sosial, spanduk-spanduk maupun yel-yel pendukung yang kadang memicu bentrok fisik di sekitar stadion. Ada kalanya pula mobil dengan plat nomer dari daerah asal fan’s club seterunya menjadi sasaran perusakan. Berapa pula nyawa melayang akibat ‘kecintaan yang luar biasa’ terhadap klub yang didukungnya. Bahkan seperti halnya di Eropa – di antara fan’s – muncul kelompok garis keras atau ultras yang kerap melakukan aksi hooliganism di sekitar tempat pertandingan.
Namun ada satu hal yang perlu disyukuri. Meskipun di media sosial terlihat genting namun sejauh ini belum terjadi bentrok fisik di antara fan’s politik. Tatkala pendukung Prabowo beraksi di Patung Kuda memprotes kemenangan Jokowi, bentrok memang terjadi. Tapi bukan bentrok antar pendukung. Melainkan bentrok antara massa dan aparat keamanan. Riak-riak kecil di antara pendukung yang berseberangan memang terjadi, seperti misal seorang ibu dan anaknya yang mengenakan atribut berbeda dengan atribut yang ada dalam kerumunan Car Free Day, bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta, dibully. Ada pula, seorang pendukung calon gubernur dikeroyok dan dipukuli. Dan itu tidak melibatkan massa di kedua belah pihak.
Industri sepakbola memang berkepentingan menjaga gairah fan’s club mencintai dengan sepenuh jiwa masing-masing klub kesayangannya. Aksi-aksi brutal – atau di sepakbola disebut hooliganism – hanya dianggap sebagai ekses yang penangkalannya menjadi tugas aparat penegak hukum. Sikap fanatik, saling ejek dan merendahkan terus dipelihara. Karena itu dianggap menggairahkan industri sepakbola – termasuk media yang mendapat pasokan berita tidak hambar dari perseteruan itu.
Tapi kenapa militansi serupa terus dipelihara di lingkaran pendukung calon presien di Indonesia? Padahal, begitu pemilihan umum selesai dan penyelenggara pemilihan umum mengumumkan pemenangnya, kompetisi sudah usai. Calon yang kalah – seperti saat Marine Le Pen dari partai populis Front Nasional (FN) dinyatakan kalah dari Emanuel Macron, Le Pen langsung memberikan ucapan selamat. Dan itu tidak terjadi dengan Pilpres di Indonesia ketika calon yang kalah mengklaim kemenangan dengan bersujud syukur yang diliput sejumlah media. Pernyataan pemilu curang terus diframing sehingga gejolak politik dibiarkan memanjang.
Memang sulit dibuktikan, apakah gairah militansi pendukung itu sengaja dipelihara oleh sejumlah tokoh untuk kepentingan pemilu 2019? Yang jelas, sejak itu upaya-upaya framing berita negatif – bahkan fake news yang berarti hoak bercampur fitnah terus dikembangkan selama 4 tahun pemerintahan Joko Widodo. Perangkat undang-undang yang mencegah berkembangnya hoak sudah ada. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik memberikan sanksi pidana kepada pembuat dan penyebar berita palsu. Namun serangan terhadap pribadi Presiden Jokowi terus berlangsung meskipun tidak semassif seperti sebelumnya.
Terakhir kali dua ibu-ibu melakukan kampanye negatif dari pintu ke pintu yang mengatakan kepada masyarakat, kalau Jokowi menang tidak akan ada lagi suara adzan, perkawinan sesama jenis akan dilegalkan. Berita itu tentu saja bohong. Apa yang dilakukan kedua ibu-ibu itu mirip teknik kampanye “firehose and falsehood” yang dilakukan oleh – meskipun bukan dari tim kampanye resmi – namun dikenal sebagai pendukung Donald Trump di akun media sosial. Sebelumnya tim kampanye Donald Trump diduga bekerja sama dengan konsultan asing Cambridge Analytic membajak 50 juta akun Facebook melalui platform “kuis kepribadian”.
Tentang isu rasis, di sepakbola sudah diatur secara tegas oleh asosiasi federasi sepak bola internasional (FIFA). Peraturan itu harus dipatuhi oleh semua negara anggotanya. Siapa pun yang melanggar, baik itu supporter, pemain, wasit, manajer, hingga pemilik klub akan dikenai sanksi tegas – berupa denda, skorsing maupun larangan bertanding. Di Indonesia meskipun sudah ada UU ITE dan UU anti diskriminasi, isu-isu rasis masih mudah ditemukan di sejumlah media sosial seperti YouTube, Twitter, maupun group WhatsApp. Penyebaran berita-berita palsu – kendati beberapa pelakunya ditangkap – terus dilakukan secara militant. Dan itu sebenarnya bukan hanya gejala Indonesia. Melainkan sudah menjadi gejala, bahkan di negara-negara maju dengan tingkat kemakmuran dan pendidikan yang lebih baik.
Perubahan karakter pendukung – bahkan hingga ke tingkat pemilih – calon presiden 2014 yang tiba-tiba mirip karakter fan’s club fanatic sepakbola mestinya menjadi tanggung jawab siapa pun elite politik di Indonesia – baik di pemerintahan maupun oposisi. Terlebih rata-rata pelaku penyebar hoak – sejauh yang saya teliti – sebagian besar tidak terkait dengan partai politik apa pun. Satu dua memang terindikasi dekat individu elite tertentu, itu terlihat dari kemesraan saat berpose yang diunggah di media sosial milik pelaku. Toh demikian, pimpinan partai politik tidak bisa melepaskan tanggung jawab karena kejadian itu bisa jadi merupakan refleksi atas kegagalan partai politik menjalankan fungsinya – antara lain pendidikan politik.
Berlawan Arus Utama
Gejala di atas sebenarnya juga kritik terhadap partai-partai politik mainstream yang selama ini sibuk dengan dirinya sendiri. Tidak mengherankan, sejumlah partai politik mainstream di Italia, Perancis dan Jerman – baik itu sayap kiri maupaun sayap kanan – kini kalah bertarung dengan partai-partai politik baru yang dianggap lebih membawa harapan. Beberapa partai baru yang hadir adalah partai populis yang lahir dari lapak sosial kebencian orang-orang biasa kepada elite yang berserak di sejumlah partai politik lama. Partai-partai populis biasanya pula didukung oleh gerakan populis dengan pimpinan para demagog yang pandai membangun narasi permusuhan terhadap individua tau kelompok tertentu yang dianggap berseberangan dengannya.
Politik electoral di Indonesia secara berkala memang baru berlangsung selama dua dekade. Namun apabila partai-partai politik – yang lahir baik sebelum atau setelah reformasi – tidak segera berbenah nasibnya mungkin akan mengikuti partai-partai mapan di Eropa yang sekarang terancam tinggal nama. Terlebih tingkat kepercayaan terhadap partai-partai politik yang ada – mengutip hasil survei – berada di titik nadir. Beberapa partai politik mungkin melakukan ideologisasi, namun itu masih sebatas di tingkat kepengurusan. Bukan ke semua pemegang kartu tanda anggota (KTA) yang sebenarnya tidak memiliki manfaat praktis selain kebanggan menjadi anggota partai politik tertentu.
Singkat cerita, pemegang KTA parpol di Indonesia lebih mirip dengan fan’s club sepakbola. Tidak ada proses ideologisasi. Bahkan tidak jarang di antara fan’s politik merasa tidak ada kaitan dengan partai politik apa pun. Dan orang-orang inilah yang bergerak ke lapangan. Menjemput kemenangan untuk masing-masing tokoh yang didukungnya. Mungkin mereka ikhlas – seikhlas pendukung klub sepakbola idolanya – namun bisa juga melakukan aksi-aksi hooligans meskipun hanya sebatas di media sosial. Berpolitik tidak dengan pikiran, melainkan dengan hati yang menyisakan dikotomi cinta atau benci. Orang-orang seperti inilah yang berada di garda depan pemenangan – baik Jokowi dan terlebih-lebih Prabowo – yang membuat aura politik menjadi cekam. Situasi politik seperti ini yang mendorong sejumlah orang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput.
Tentang kondisi kader partai politik – sebut saja PDI Perjuangan tempat saya bergabung sebagai anggota hingga sekarang – mungkin hanya sedikit yang mengerti apa itu Pancasila 1 Juni 1945. Selebihnya mungkin kader pragmatis yang masuk partai untuk menjadi calon legislatif. Ada pula yang mungkin lebh terpukau jargon partai wong cilik dengan simbol Bung Karno yang diwariskan dari embah-embah mereka. Begitu juga dengan partai politik lainnya, seperti Partai Golkar dengan ideologi kekaryaan, Partai Demokrat yang menyebut diri “nasionalis relijius”, PKB sebagai partainya ulama, atau Gerindra yang menawarkan kejayaan Indonesia. Hampir semua partai politik yang ada – sejauh yang saya amati – bukan menciptakan kader atau masa aksi yang ideologis. Melainkan sekedar fan’s club yang hanya dianggap pilar penting setiap menjelang dan selama pertandingan.
Di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan – sebut saja Jerman – kedaulatan atas partai politik yang dipilihnya lebih nyata. Bukan sekedar memiliki kartu tanda anggota (KTA) seperti halnya fan’s club FC Barcelona, Manchester United, Real Madrid atau lainnya dengan tujuan menjadi bagian dari kebanggan klub. Itu pun masih ada manfaatnya, misal setiap pemegang fan’s club sepakbola sebut saja Persija mendapatkan potongan harga tiket dan rupa-rupa merchandise. KTA partai politik di Indonesia bahkan tidak bisa diajdikan kartu identitas saat hendak naik kereta-api atau pesawat terbang. Itu pula yang mungkin menjelaskan tingkat kepercayaan terhadap partai politik begitu rendah.
Di Jerman kedaulatan anggota partai politik diwujudkan secara nyata – baik dalam hal pemilihan pengurus partai maupun kebijakan yang berimplikasi kepada kehidupan orang banyak. Bahkan saat Partai Sosialis Demokrat Jerman (PSD) hendak berkoalisi dengan Partai Uni Kristen Demokrat (CDU) pengurus partai masih harus minta persetujuan anggota partai melalui pos-pos pemilihan di tingkat kepengurusan paling bawah. Itu saja Jerman mengalami krisis ketidak-percayaan kepada partai-partai mapan, sehingga Partai Alternatif Jerman (AfD) yang populis mendapatkan suara yang besar di parlemen.
Itulah yang membedakan anggota partai dan fan’s club sepakbola di Jerman. Sebagai anggota partai kedaulatan tertinggi partai ada di tangannya. Dan itu secara nyata diwujudkan dalam Kongres atau pemungutan suara di pos-pos. Sedangkan sebagai fan’s club kedaulatan tertinggi ada di antara pemegang saham klub. Toh begitu sebagai pemegang KTA dia masih mendapatkan potongan pembelian tiket dan rupa-rupa merchandise. Namun itu semua dianggap tidak cukup oleh warga Jerman. Partai-partai mapan pun kehilangan banyak suara. Itu pula yang memaksa PSD dan CDU berkoalisi. Padahal kedua partai, di masing-masing pendukungnya – seperti halnya FC Barcelona dan Real Madrid – dikenal sebagai air dan minyak yang sulit disatukan.
Sebagai fan’s club – meskipun kadang membuat rusuh – fungsi utamanya bagi industri sepakbola adalah pasar. Analogi yang hampir sama mungkin berlaku bagi pemegang kartu tanda anggota (KTA) partai-partai politik di Indonesia. Hak yang didapat sudah pasti bukan potongan harga. Melainkan menjadi pengurus partai yang memungkinkan memainkan apa pun di sekitar kekuasaan. Hak-hak lainnya seperti memilih ketua – bahkan di tingkat Kabupaten/Kota – tidak dimilikinya.
Begitu juga dengan munculnya sejumlah fan’s club untuk individu-individu yang maju – baik dalam pemilu legislatif, pemilu DPD, pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) maupun pemilihan umum presiden (Pilpres) – acap kali hanya berfungsi sebagai event organizer yang menyiapkan apa pun kegiatan yang dilakukan sang calon. Selebihnya direkrut menjadi pasukan pemuji dan pemukul di media sosial.
Holiganisme Politik
Seperti halnya di sepakbola – saat bermain di media sosial – adalah kebrutalan untuk menghina, menyudutkan bahkan memfitnah tokoh yang tidak disukainya. Selanjutnya muncul balasan-balasan yang tidak kalah sadisnya. Suasana bertambah meruncing karena acap kali pula munculnya hinaan-hinaan itu melibatkan tokoh yang dikenal luas oleh publik – baik sebagai pelaku maupun korban. Terjadilah lapor melapor ke pihak berwajib dari kedua-belah pihak.
Selanjutnya praktek “hooliganism” atau kebrutalan sporter sepakbola masuk ke wilayah politik melalui media sosial yang sebenarnya juga barang baru bagi masyarakat dunia. Sejumlah tokoh yang sebelumnya menjadi dewa untuk media mainstream tiba-tiba diserang secara brutal oleh akun-akun anonym yang turut berperang di garda depan “hooliganism” politik. Tokoh-tokoh yang meskipun berlatar belakang ulama, bahkan ada yang pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah yang berpikir plural dihinakan martabatnya oleh “tokoh dadakan” yang tidak jelas asal-usulnya.
Media sosial yang juga merupakan hal baru dan muncul secara tiba-tiba itu menjadi media katarsis bagi siapa pun untuk melampiaskan uneg-unegnya. Sialnya, di saat yang bersamaan ekonomi riil berjalan redup. Harga komoditas yang menjadi tumpuan hidup orang Sumatera dan Kalimantan seperti crude palm oil (CPO) dan karet anjlok. Masyarakat awam tidak mau tahu kenapa harga-harga komoditas anjlok? Yang mereka tahu harga anjlok itu datang selama kepemimpinan Jokowi. Begitu juga dengan toko-toko atau kios yang semula ramai sekarang seperti kuburan. Meskipun bisnis pengiriman barang sedang booming karena toko-toko online lebih diminati ketimbang offline mereka tahunya bangkrut di era Presiden Jokowi. Singkat cerita apa pun kemuraman hidup ditimpakan kepada Presiden Jokowi.
Hidup yang muram – dalam sejumlah teori sosial – menyebabkan banyak orang yang merasa terpinggirkan sehingga mereka eskapis – atau melarikan diri dari kenyatan hidup ke hal-hal yang irasional. Dari sini “produsen hoax” menemukan pangsa pasarnya. Di saat bersamaan pula muncul tokoh-tokoh populis – dan ini bukan hanya khas Indonesia – turut meramaikan pergolakan dengan holiganisme politik yang tidak kalah brutal dengan holiganisme sepakbola. Politik yang sejatinya mulia ditempatkan dalam kepingan-kepingan identitas oleh para demagog yang pandai menyederhanakan persoalan. Dari sana terbentuk fan’s club populis yang bersifat homogen dan anti keberagaman.
Kelompok di luar itu, sebut saja para pendukung kekuasaan, juga tidak kalah militant dalam mendukung tokoh idolanya. Mereka juga membangun fan’s club untuk memenangkan jagoannya. Fan’s club ini sebenarnya hanya bertujuan memenangkan tokohnya – bukan membangun kualitas demokrasi yang sebenarnya menjadi tugas partai-partai politik. Kedua kelompok ini seperti halnya fan’s club sepakbola – tidak peduli pemain dari klubnya bermain curang mengganjal kaki lawan – yang penting menang. Karena kemenangan membuatnya katarsis, eforia, atau lari dari kenyataan perjuangan hidup yang keras.
Demokrasi fan’s club yang melibatkan para demagog seperti itulah yang sesungguhnya sedang menginfeksi keseluruhan sistem kehidupan bersama kita. Sikap intoleransi, hoax, hooliganism dan sejenisnya hanyalah ekses dari demokrasi fan’s club karena sejak awal para elite politik melupakan satu hal, yaitu konsolidasi demokrasi yang memungkinkan lahirnya civil society, kebebasan pers (termasuk dari intervensi pemodal), rule of law dan pelembagaan politik yang solid dalam mengartikulasikan kepentingan bersama.
Tentu saja sebagai negara-bangsa yang besar kita tidak bisa terus-terusan mempertahankan peradaban yang telah kehilangan adab. Kesenjangan sosial, kemiskinan dan pengangguran mesti kita sadari sebagai musuh utama demokrasi. Karena dari sanalah ide populisme yang tidak menawarkan solusi apa pun selain kemarahan bekerja. Munculnya ujaran kebencian sebagai bagian dari hooliganism politik hanya sebagai ekses karena kita selama ini melihat rakyat bukan sebagai kumpulan manusia – melainkan sebagai fan’s club yang dipelihara sekedar untuk berjalannya “industri kekuasaan” segelintir elit politik dan bisnis.