Pengumuman kemenangan 62% Prabowo Subianto dalam Pilpres 17 April 2019 banyak mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan. Salah satunya oleh seorang dosen Fisip, Universitas Lampung (Unila), Maruly Hendra Utama. Dibawah ini tulisannya yang berjudul asli ‘Bacalah Jenderal Prabowo Subianto!’ kepada pembaca Bergelora.com (Redaksi)
Oleh: Maruly Hendra Utama
SAYA menulis ini bukan dalam kapasitas mewakili teman-teman saya yang hilang diculik awal 98. Saya menulis dalam kerangka menggunakan hak saya sebagai warganegara untuk berkomunikasi dengan salah satu Capres yang sudah kalah. Tidak akan muncul tulisan ini jika Jenderal tidak memprovokasi rakyat dengan kemenangan 62% yang disiarkan langsung oleh beberapa televisi. Buat saya diam adalah pengkhianatan!
Kita mulai dari tahun 2012 akhir – 2013 menjelang berakhirnya pemerintahan SBY. Sebagai anak muda yang mencintai Indonesia saya turut memikirkan kelangsungan pemerintahan di Republik ini. Gayung bersambut, kawan-kawan saya dilingkar dalam Jenderal sedang mencari sosok yang tepat untuk mendampingi Jenderal maju sebagai Capres 2014. Melalui serangkaian penelitian, survey dan diskusi marathon muncul nama Hatta Rajasa.
Melalui sebuah acara diskusi terbuka yang yang diliput wartawan dari luar negeri dan dihadiri banyak anggota DPR RI dan pejabat kementerian di Jakarta saya memaparkan hasil penelitian dan survey bahwa pasangan yang paling tepat untuk Jenderal maju sebagai Capres di 2014 adalah Hatta Rajasa. Arsip dari acara ini yang memuat wawancara saya bisa dilacak jejak digitalnya di beberapa media local dan Guardian, media dari luar. Dikemudian hari rekomendasi saya benar-benar dipergunakan dengan baik. Terbukti Jenderal memang memilih Hatta Rajasa sebagai cawapres.
Dalam proses selanjutnya saya tidak mengikuti lagi, juga tidak masuk dalam tim pemenangan Jenderal. Kenapa? Saya adalah anak muda energik, cerdas, berhati lembut dan yang paling penting independen. Jika saya masuk kedalam lingkaran Jenderal saya akan kehilangan independensi. Saya sangat menikmati hidup yang penuh independensi. Sebagaimana saya menikmati hidup dalam kampus dengan membela Rodia yang dipukuli Rektor Unila. semua bisa saya lakukan karena saya independen.
Saat Pilpres 2014 usai, Jenderal sujud syukur atas kemenangan yang diyakini. Politisi harus begitu, itu langkah tepat sebagai bagian kerja agitasi propaganda. Soal pengumuman KPU dibelakang hari adalah soal lain karena fungsi dan tugas Jenderal memang harus menjaga stamina politik para pendukung dan simpatisan dalam kerangka menjaga suara sampai pengumuman resmi KPU. Hormat untuk mu Jenderal.
Hormat saya luntur ketika melihat Jenderal mengulang peristiwa yang sama lima tahun lalu. Sudah kehilangan momentum, bergerak mendahului situasi, satu hal yang paling dibenci Lenin, arsitek revolusi oktober 1917.
Untuk apa Jenderal memprovokasi rakyat dengan ilusi 62%? Bagaimana logika nya jika perolehan Gerindra tidak lebih dari 12%? Tahu akibat statemen 62%? Hati rakyat dipenuhi kebencian terhadap pemenang yang dianggap curang. Selain itu bagi yang termakan agitasi 62% akan terlihat bodoh. Jenderal menyadari itu?
Akan lebih elegan jika Jenderal mendatangi Presiden Jokowi, rangkul tubuh kurusnya dan berbisik, saya hampir menang, lihat pendukung saya, apa yang bisa kami bantu?
Ayolah Jenderal, masa lalu mu yang berlumuran darah sudah saatnya dibersihkan dengan keringat Presiden Jokowi, cuma ini kesempatannya. Jenderal hanya cukup berkata pada Presiden Jokowi, Pancasila jika diperas menjadi Trisila, jika diperas lagi menjadi gotong royong! Ayo Presiden, kita bangun negeri ini dengan gotong royong!