JAKARTA – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi sistem peradilan di Indonesia yang dinilainya semakin memburuk, meskipun berbagai upaya reformasi hukum telah dilakukan sejak era reformasi.
Mahfud menyebut semua teori dan pendekatan hukum telah dicoba, tetapi hasilnya justru tidak memperbaiki keadaan.
“Gimana caranya, Pak? Sudah buruk begini. Saya katakan sulit menjawab karena semua jalan sudah ditempuh, semua teori sudah dipakai,” kata Mahfud dalam program Gaspol! Kompas.com, dikutip Bergelora.com pada Selasa (13/5/2025).
Mahfud menegaskan, yang dibutuhkan saat ini bukan teori baru, melainkan komitmen dan kepemimpinan yang kuat untuk memperbaiki sistem peradilan.
“Sehingga kan saya sudah bilang, sudah habis, enggak usah teori ini. Sekarang perlunya ini komitmen dan leadership. Ndak ada teori gimana caranya,” ucapnya.
Mahfud menyoroti upaya-upaya legislasi yang bertujuan memperkuat independensi hakim ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Bahkan, menurut dia, kewibawaan lembaga peradilan justru lebih baik pada masa Orde Baru.
“Coba dulu misalnya katanya hakim harus independen, oke buatkan undang-undang agar independen, ternyata makin rusak ya kan? Bukan makin baik. Lebih wibawa hakim di zaman Orde Baru. Mahkamah Agung itu wibawa sekali,” ucap Mahfud.
Ia juga menyinggung berbagai lembaga yang dibentuk dalam rangka menciptakan sistem pengawasan dan keseimbangan kekuasaan kehakiman, seperti Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi justru tidak mampu membendung kerusakan.
“Ya sudah pisah, makin rusak. Lalu dibuat keseimbangan agar hakim itu ada pengawasnya, dibuat Komisi Yudisial. Lah gimana kalau nanti DPR dan pemerintahnya? Dibuat Mahkamah Konstitusi agar lebih kuat. Kita buat KPK. Buat, semua dibuat, tambah jelek,” tutur Mahfud. Mahfud menambahkan, beberapa lembaga tersebut sempat menunjukkan hasil yang baik di masa awal pendiriannya, tetapi seiring waktu justru mengalami penurunan.
“Mungkin waktu dibuat sehari, sebulan, setahun bagus. Kayak KPK itu satu periode, dua periode, it’s okay. Mahkamah Konstitusi juga di awal-awal bagus. KY malah pertama lho ditangkap dulu,” kata Mahfud.
Menanggapi keluhan di atas, pengamat dan praktisi hukum
Zeth Kobar Warouw mengingatkan agar Mahfud MD tidak mengeluh putus asa seperti itu karena akan membangun pesimisme di masyarakat.
“Kalau seorang mantan Mahfud MD sampai mengeluh putus asa seperti itu, maka bagaimana masyarakat dan para penegak hukum akan menegakkan keadilan dan memberantas korupsi,” ujarnya kepada Bergelora.com di Jakarta, Selasa (13/5).
Menurutnya, saatnya semua pihak penegak hukum melakukan evalusi total dan mencari jalan keluar, bukan malahan menebar pesimisme.
Saatnya Hukuman Mati
Sebelumnya, Zeth Kobar Warouw menegaskan, saatnya hukuman mati diterapkan di Indonesia terhadap para koruptor baik ada eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Karena hanya kematian yang bikin para pejabat takut atau setidaknya enggan melakukan korupsi.
“Hukuman mati pada beberapa dari puluhan koruptor paling kakap yang sedang proses akan memberikan efek kejut dan menakutkan baik pada pejabat dan keluarganya. Istri dan anak yang biasa minta barang mewah dan jalan-jalan keluar negeri otomatis akan berhenti merengek, karena bayangan hukuman mati ada disetiap keluarga pejabat yang hidupnya glamour,” tegasnya Kamis (6/3).
Menurutnya, para koruptor yang belum ketahuan akan memilih mengembalikan uang jarahannya. Keluarganya pasti gemetaran mengingat ancaman hukuman mati kalau sampai ketahuan. Seruan Presiden Prabowo agar para koruptor mengembalikan uang negara pasti akan bermanfaat.
“Percuma kalau hukuman mati tidak diterapkan, malahan seruan Presiden Prabowo jadi tertawaan para keluarga koruptor dan jadi pompa kebencian anti pemerintah,” ujarnya.
“Hukuman mati juga akan menghapus penjara buat koruptor yang selama ini melahirkan korupsi berupa pungli dan pemerasan di penjara,” Sambungnya.
Hukuman mati menurut Zeth Warouw juga otomatis akan mendidik keluarga dan masyarakat tentang bahaya korupsi. Koruptor yang dihukum mati akan memberikan sanksi sosial kepada keluarga setidaknya pada 3 generasi dibawah dan 3 generasi ke atas dan seluruh keluarga besar. Ini akan efektif dan cepat terjadi peningkatan kesadaran tentang bahaya korupsi, lebih berbahaya ketimbang tersengat listrik, karena seluruh keluarga besar akan ikut ‘mati’ oleh sanksi sosial.
“Seluruh keluarga besar otomatis kesulitan mendapatkan pekerjaan, akan kesulitan mendapatkan sekolah bahkan kesulitan mendapat tempat tinggal karena ditolak masyarakat,” paparnya.
Sehingga menurutnya penegakan hukum tidak membutuhkan program sosialisasi anti korupsi miliaran yang selama ini sia-sia.
“Baru satu sampai 5 orang koruptor saja yang dihukum mati secara bergiliran dan mendapatkan publikasi luas, pasti akan membuat semua pejabat dari tingkat desa sampai nasional takut untuk mengentit serupiah pun,” ujarnya.
Pro-Kontra Hukuman Mati
Zeth Warouw menyoti pro kontra yang tidak berujung dari hukuman mati, sementara koruptor menari-nari di atas uang rakyat banyak yang dikorup dan penderitaan rakyat karena kemiskinan.
“Penolakan hukuman mati atas nama HAM seorang koruptor sudah absurd karena jutaan rakyat yang gak bisa keluar dari lubang kemiskinan beranak pinak karena negara membiarkan duit rakyat dirampok koruptor,” ujarnya.
Zeth Kobar mengatakan, hukuman mati dipertentang dengan Sila Ketuhanan dan Sila Prikemanusian dalam Pancasila secara semena-mena atas nama agama dan kemanusiaan.
“Tapi mereka menutup mata pada jutaan orang yang menjadi korban generasi ke generasi akibat korupsi merajalela,” tegasnya.
Menurut Zeth, karena para koroptor karena tidak kapok justru menggunakan ruanh demokrasi liberal untuk membela diri dengan berbagai cara.
“Ada yang pakai media massa. Ada yang pakai demo-demo untuk membangun opini dirinya tak bersalah. Ini yang selalu mencemari demokrasi hari ini. Padahal mereka sudah merampok uang rakyat dan negara tapi punya kesempatan mempengaruhi opini publik bahkan aparat hukum termasuk, hakim-hakim di pengadilan. Mau sampai kapan begini terus,” katanya. (Calvin G. Eben-Haezer)