Minggu, 27 Juli 2025

HUT Santri 2017: Menghapus Diskriminasi Dan Dendam Politik

Peringatan HUT RI Ke-72 pada 17 Agustus 2017, di Ponpes Darussalam Keputih Surabaya turut berpartisipasi memeriahkan momentum paling bersejarah bagi bangsa Indonesia tersebut. Upacara ala santri ini sudah menjadi tradisi tiap tahunnya. (Ist)

Memperingati Hari Santri 2017, Bergelora.com memuat tulisan Ubaidillah Achmad, penulis Islam Geger Kendeng, Suluk Kiai Cebolek, Khadim Majlis Kongkow PP. Bait As Syuffah An Nahdliyah Rembang dan Dosen UIN Walisongo Semarang. (Redaksi)

Oleh: Ubaidillah Achmad

HARI SANTRI NASIONAL akan berlangsung pada tanggal 22 Oktober 2017. Hari santri ditetapkan sejak tahun 2015, melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Jika dilihat pada fenomena gerakan komunal yang mengatasnamakan Islam, maka hari santri nasional menjadi sangat penting. Peringatan hari santri akan memperkuat eksistensi Islam Nusantara versus gerakan Radikalisme bersimbol Islam, seperti gerakan ISIS.

Wajah santri pada hari santri nasional dapat menunjukkan peran penting santri dan NU dalam sejarah bangsa Indonesia, yaitu sejarah menjaga keragaman dan meneguhkan sikap menjaga Pancasila dan NKRI. Sebagai bukti, dapat dibaca pada perjuangan kalangan pesantren dan rakyat Indonesia melalui fatwa Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945.

Resolusi Jihad sebagai kumandang untuk para santri, telah berhasil mengusir penjajah. Karenanya, sejarah kegigihan santri dan Kiai menjaga NKRI ini, secara otomatis menegaskan posisi strategis santri bagi bangsa dan negara dapat dipahami dari berbagai perspektif, misalnya, perspektif bidang ilmu agama, antropologi, sosial, politik, dan budaya. Bukti resolusi jihad Santri telah mendorong pemerintah menjadikan hari santri sebagai hari milik bangsa Indonesia.

Selain itu, hari santri bagi bangsa Indonesia merupakan hari yang sangat penting dan memiliki relevansi cakupan makna pembebasan dan pencerahan bagi warga bangsa Indonesia. Jika dikontekskan dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini, maka hari santri dapat menjadi acuan keberagamaan dalam keragaman agama dan budaya. Indonesia sekarang ini memerlukan model keberagamaan seperti yang secara ideal tercermin pada prinsip santri yang dapat menjadi rujukan masyarakat tanpa ada pemaksaan.

Model keberagamaan yang tidak memaksa di tengah keragaman sangat dibutuhkan sebagai konsekuensi hidup di negara demokrasi. Karenanya, di tengah konsep negara demokrasi yang tidak bebas melarang pandangan dan model berserikat, perlu ada model keberagamaan seperti yang diusung kaum santri untuk mencerahkan serta menjadi model yang dipedomani masyarakat Indonesia.

Model yang relevan dengan kondisi bangsa Indonesia, adalah keberagamaan kaum santri. Sejarah telah menunjukkan kerja keras para Kiai dan Santri merawat keragaman dan aneka ragam agama dan budaya bangsa Indonesia. Tentu saja, kerja keras santri menjaga keragaman dan politik kebangsaan ini tidak bebas dari tantangan dan benturan dengan politik kepentingan.

Sehubungan dengan peran santri dalam politik kebangsaan dan menjaga keragaman serta kebhinnekaan ini, akan secara spesifik penulis kaji melalui dua rumusan masalah berikut: bagqimana peran nasionalisme santri? bagqimana visi politik kebangsaan santri dalam kuasa negara?

Santri Nasionalis: Anti Diskriminasi Dan Kekerasan

Peran santri dalam sejarah membela tanah air dan bangsa, telah mewarnai metologi masyarakat Indonesia, namun hal ini berbeda dengan penyusunan sejarah bangsa Indonesia yang diajarkan di sekolah sekolah, banyak mengunggulkan kebenaran yang bersumber dari penguasa Orde Baru. Sementara itu, para santri selalu dijadikan mainan yang berarti bagi Orde Baru pada saat diperlukan untuk kepentingan bangsa.

Sedangkan, peran santri akan segera diabaikan Orde Baru pada saat bersentuhan dengan kehendak kuasa dan pembagian kue kekuasaan. Karenanya, pembangunan dan pengelolaan pesantren pada masa Orde Baru, banyak yang dikelola secara swadaya santri dan masyarakat. Kondisi santri dan Kiai yang seperti ini menguatkan alasan untuk menjadi kekuatan gerakan kritik terhadap penguasa Orde Baru.

Era Orde Baru, anggaran pembangunan banyak dikucurkan untuk lembaga pendidikan modern di luar tradisi pesantren, pengembangan rumah sakit dan para kroni kroni Orde Baru. Sehubungan dengan kebijakan Orde Baru, yang mengabaikan  peran santri dan Kiai, merupakan sikap kebijakan yang tidak baik, karena kurang menjaga pesamaan hak warga negara, menjaga asaa keadilan, dan menjaga asas persamaan antar sesama warga negara di hadapan kedaulatan hukum.

Jika ada santri atau Kiai yang bekerja di lembaga pemerintah Orde Baru, maka banyak yang menjadi seperti boneka kekuasaan. Misalnya, kondisi para Kiai yang bekerja pada pemerintah desa dan kota, mereka ini selalu dipindah-pindah dari saty tempat ke tempat yang lain melalui penguasa lokal. Sikap penguasa lokal ini mendapatkan persetujuan dari pemerintah kota dan pusat. Sehubungan dengan fenomena adanya keberanian santri dan Kiai versus Orde Baru, karena santri dan Kiai selalu menjaga komitmen pada prinsip kemanusiaan, keadilan, dan persamaan, lebih bermakna dibandingkan menjadi manusia yang “pecundang”.

Konsekuensi dari sikap ini, para santri dan kiai tidak mau dibodohi pemerintah Orde Baru, karena pemerintah Orde Baru sudah menunjukkan tanda tanda sistem kekuasaan yang terpusat pada kebijakan atasan dan pusat. Kondisi yang demikian ini, juga didukung dengan tiga sistem kepartaian yang lebih didominasi oleh satu partai. Namun demikian, para santri dan Kiai tetap berbuat baik dengan pemerintah Orde Baru sebagai bagian dari upaya pemberian hak kepada warga negara, baik yang sedang berkuasa dan mereka yang dikuasai.

Konsep santri meneguhkan sikap anti diskriminasi yang diberlakukan untuk semua warga negara, baik yang sedang berkuasa dan yang sedang dikuasai ini, telah ditunjukkan para santri dan Kiai dengan cara tidak menolak mereka yang sedang berkuasa bekerja sesuai visi dan misinya, dan tidak membiarkan mereka yang sedang dikuasai diperlakukan secara tidak adil.

Selain itu, dalam konteks yang diperlukan pemerintah dari para santri, maka para santri akan memberikan kritik kepada penguasa dan memihak masyarakat yang dikuasai untuk menuntut hak hak kewarganegaraan. Karena sikap santri dan Kiai yang seperti ini, yang sering menunjukkan santri dan Kiai berlawanan dengan pemerintah Orde Baru yang merasa tidak mendapatkan dukungan dari Santri dan Kiai. Sikap santri dan Kiai yang seperti inilah, yang juga menjadi alasan mengapa keberadaan pesantren pada masa pemerintah Orde Baru dibiarkan berada dalam kemandirian dan swadaya masyarakat, santri dan Kiai. Sikap santri dan Kiai yang seperti ini, adalah merupakan implementasi dari visi sikap kebangsaan dan nasionalisme Santri dan Kiai.

Keberadaan santri dan Kiai terhadap Orde Baru seperti ini,  memunculkan kelompok yang ingin mengambil manfaat dari sikap santri dan Kiai yang menjadi oposisi pemerintah Orde Baru. Misalnya, kelompok yang memunculkan kerjasama Ulama dan Umara pada masa pemerintahan Orde Baru. Yang menarik dari sikap santri dan Kiai memilih oposisi di tengah sistem kekuasaan Orde Baru, ternyata tidak ada tekanan dari pemerintah Orde Baru, agar menghapus peran politik kebangsaan para santri dan Kiai. Fenomena ini menambah kekuatan peran santri dan Kiai sebagai tokoh panutan di luar sistem kekuasaan.

Konsistensi Santri Dan Kiai terhadap politik kebangsaan, selalu  berhadapan dengan politik kepentingan. Karenanya, sejarah selalu mencatat peran santri dan Kiai menjaga keragaman dan NKRI versus kelompok kepentingan. Hal ini tidak hanya berhadapan langsung dengan konsep kuasa politik Orde Baru, namun juga berhadapan langsung dengan konsep kuasa politik kolonial dan konsep kuasa politik PKI Tahun 65. Model politik kebangsaan Santri dan Kiai merupakan model nasionalisme untuk mempertahankan keragaman dan kebhinnekaan, sehingga tidak ada diskriminasi sesama warga negara bangsa Indonesia (Pasal 16 UU No. 40/2009).

Oleh karena itu, jika membaca sejenak konsep Politik Devide Et Impera kolonial Belanda, maka akan ditemukan model kekuatan bangsa yang terbagi bagi dengan mengaburkan keragaman dan kebhinnekaan. Misalnya, dengan mempertajam konflik ideologi, kelas dan politik antar anak bangsa. Pengaruh politik kolonial ini sangat mempengaruhi peta internal politik sesama sesama warga negara Indonesia semasa sistem pemerintahan  menggunakan sistem demokrasi.

Adanya pengaruh politik kolonial terhadap politik kepentingan di lingkungan masyarakat Indonesia, telah mendorong sejumlah ulama dan kiai pondok pesantren mendirikan wadah bagi santri dan Kiai menjaga agama dan NKRI. Wadah ini diresmikan, pada 31 Januari 1926, sebagai wadah perjuangan santri dan Kiai untuk memperjuangkan cita cita mempertahankan paham Islam tradisional.

Selain itu, wadah Ormas NU ini diharapkan dapat memberikan dampingan yang membebaskan dan mencerahkan masyarakat, Pilihan sikap NU seperti ini, yang sering disalahpahami pihak luar sebagai upaya romantis warga NU mempertahankan tradisionalisme versus modernisme Islam. Meskipun demikian, tidak masalah bagi warga NU mendapatkan julukan sebagai pengikut tradisionalisme sebagai akar memahami perkembangan ilmu pengetahuan modern.

Dalam sejarah bangsa Indonesia masih banyak yang belum memaparkan perjalanan santri dan kiai melawan politik kolonial dan politik kepentingan yang merugikan bangsa. Meskipun demikian, sejarah tidak dapat mengelak dari metologi rakyat yang dapat dijadikan data kebenaran sejarah versus kebenaran yang bersumber dari para penguasa politik kolonial dan kepentingan kelompok.

Berkat dukungan rakyat, para santri dan Kiai telah berhasil mendirikan NU sebagai organisasi sosial yang sangat dinamis dengan visi kebangsaan. Hal ini didukung sayap kepemudaan NU yang terdiri dari para santri lahir di tahun 1934 bernama Ansor, sayap perempuan NU yang dikenal dengan Muslimat NU, dan Lembaga Pendidikan Maarif. Visi politik kebangsaan NU ini berulang kali berhadapan dengan kekuatan internal melalui politik kepentingan Partai Masjumi dan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Sejak awal berdiri dengan basis santri dan Kiai, tahun 1950-an NU tampil menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh pada masa Demokrasi Terpimpin. Visi politik kebangsaan NU ini berhasil melawan partai masyumi yang terlibat dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera 1958. Selain itu, NU juga berhasil menghadapi aksi-aksi sepihak PKI, yang menuntut agar tanah milik negara, milik tuan tanah, dan miliki desa dibagikan kepada para petani.

Perlawanan NU terhadap Masyumi merupakan bukti politik kebangsaan NU yang tidak mendukung politik kepentingan yang mengatasnamakan Islam. Hal yang sama, juga tidak mendukung politik kepentingan PKI hingga meletus 30 September 1965, yang ingin menghilangkan hak hak kepemilikan secara sah yang harus dihargai dan mendapatkan perlindungan, baik kepemilikan mereka yang kaya maupun hak hak warga miskin desa dan kota.

Menjaga NKRI & Menghapus Dendam Politik

Di zaman sekarang ini, para santri adalah sosok yang dapat mengikuti diskursus akademik bertema agama dan bangsa. Kondisi ini sudah dibangun sejak ketika menghadapi politik kolonial dan politik kepentingan (komunalisme) yang telah mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi, zaman kolonial hingga politik komunal, para santri berhasil menunjukkan ketegasannya melawan semua gerakan yang mengancam negara kesatuan RI.

Meskipun sikap tegas para santri tidak mengenal kompromi melawan segala bentuk gerakan yang melemahkan atau meruntuhkan bangunan negara kesatuan RI, namun para santri tidak akan memiliki dendam politik terhadap mereka yang pernah mengalami benturan gerakan karena berbeda visi kebangsaannya. Selain itu, para santri juga tidak akan dendam terhadap putra putri bangsa Indonesia yang melalui garis geneologis para aktivis yang telah mencoreng nama baik bangsa dan membuat benturan konflik kemanusiaan sesama warga negara.

Hal ini terlihat bagaimana para santri, berdialog dengan baik bersama putra dan putri melalui garis geneologis dari aktivis PKI, Masyumi, DI/TII, dan kelompok kepentingan yang “masih berbahu kolonial”. Selain itu, dalam banyak dialog kebangsaan, beberapa pesantren telah membentuk persaudaraan kebangsaan lintas latar belakang gerakan politik dan lintas agama.

Hal ini sesuai dengan ajaran para santri, supaya dapat menghilangkan dendam, karena dendam hanya akan menumbuhkan perasaan kepahitan, kemarahan, kehinaan atau kebencian yang dirasakan hati. Sifat dendam akan mendorong perilaku yang tidak adil atau merendahkan subjek yang menjadi sasaran dendam. Dendam akan memunculkan sikap tidak tenang dan tidak merasakan bahagia, karenanya dendam menjadikan diri sendiri kurang sehat, baik secara psikis maupun fisik.

Sifat dendam seseorang kepada orang lain akan menafikan sudut pandang orang lain. Meskipun pendapat orang lain itu bagus, namun karena masuk dalam dendam, maka akan terbaca jelek dan terabaikan. Sebaliknya, melepas dendam dan melihat situasi dari sudut pandang orang lain akan membantu mengembangkan kasih sayang.

Berikut ini konsep yang diberikan oleh para Kiai untuk para santri, supaya dapat menghapus dendam kebangsaan: pertama, menguatkan prinsip ketauhidan, baik yang mencakup relasi suci dengan Allah maupun yang menggerakkan sikap pembebasan dan pencerahan. Kedua, menguatkan prinsip kemanusiaan, yaitu hidup untuk saling menghargai nilai luhur dan martabat manusia. Hal ini sesuai dengan prinsip para Ulama dan juga Gus Dur, bahwa memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya. Sebaliknya, merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan Allah.

Ketiga, menegakkan keadilan dan kesetaraan. Keadilan dan kesetaraan harus ditegakkan, karena keadilan tidak sendirinya terwujud tanpa diperjuangkan. Artinya, membela keadilan merupakan tanggungjawab moral kemanusiaan. Keempat, sebagai umat yang hidup bersama di lingkungan pembentuknya, maka perlu memiliki komitmen menjaga kearifan lokal. Kearifan lokal bersumber dari nilai sosial-budaya yang berpijak pada tradisi dan praktik kehidupan masyarakat lokal. Contoh, sebagai bangsa Indonesia, memiliki kearifan menjaga keragaman, kebhinnekaan, dan nilai budaya nusantara yang harus dijaga.

Jadi, para santri lebih memilih menghindari dendam sesama warga negara Indonesia, tidak semata mata karena bertujuan untuk menjaga keragaman dan kebhinnekaan, namun juga ingin membangun visi Indonesia untuk semua warga negaranya. Mengapa santri perlu menjaga prinsip di atas? banyak alasan yang didasarkan pada khazanah klasik yang dipegang teguh para santri dalam tradisi pesantren, namun yang lebih filosofis atau mendasar, adalah karena menjaga agar terhindar dari bahaya berikut:

Pertama, al istighlal bi’uyubil kholqi. Artinya, sibuk dengan aib orang lain dan lupa pada aib sendiri. Kedua, Dhulmun la yantahi. Artinya, sikap kezaliman atau bersikap tidak manusiawi yang tak pernah berhenti, seperti suka bersikap berdasarkan dendam politik, melakukan kekerasan, menghegemoni dan merugikan pihak lain. Bahaya sikap ini, selain akan menjauhkan rahmat Allah, juga akan mempersempit ruang gerak dalam berbangsa dan bernegara dan mempersulit membangun kewibawaan NKRI di mata dunia. Selamat and sukses: Hidup santri untuk sikap keberagamaan yang suci dan NKRI!.

 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru