Adalah Budi Wiramihardja, Syamsudin, dan Tigor Siregar, tiga sahabat yang menjalin persahabatan mereka sejak kecil. Mereka pun mendapat julukan Tiga Serangkai lantaran kedekatan mereka. Siapa menduga tiga sahabat cilik ini dari tiga ayah yang memiliki ideologi yang bertolak belakang.
Ibu Tigor, Sadjaah, guru dan penilik sekolah, aktivis pergerakan kemerdekaan, pernah Anggota DPR dan MPR dari Partai Masyumi. Tigor tinggal di kampung ibunya di Manonjaya, Tasikmalaya, dan memasuki SD kelas 1 sesuai umurnya 7 tahun.
Tapi tidak demikian dengan teman-temannya di sekolah. Rata-rata teman-temannya berusia di atas 7 tahun, bahkan ada yang 15 – 17 tahun. Sebabnya pada tahun 1956 sedang seru pemberontakan DI/TII yang dikobarkan Kartosuwiryo di Jawa Barat sehingga banyak anak tidak bisa bersekolah. Ketika Kartosuwiryo menyerah kepada pemerintah Pusat, anak-anak punya peluang bersekolah, tapi sudah terlanjur besar dan terpaksa duduk di kelas 1.
Salah satunya Syamsudin anak tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) setempat. Syamsudin bertubuh tinggi besar dan kakinya sudah berbulu. Tigor yang anak tentara tidak merasa terhalang duduk sebangku dengan Syamsudin.
“Syam melindungi saya, ke mana-mana saya digendong. Kalau ada perkelahian, dia menjadi bodyguard saya, kalau ada pertandingan olahraga, dia mem-back up saya. Tapi dia sekolah hanya sampai kelas 6, karena merasa terlalu gede dia malu, dan akhirnya jadi tukang becak,” demikian Tigor menuturkan.
Pada umur 14 tahun, Tigor bersekolah di SMP Negeri II Tasikmalaya, sebangku lagi dengan orang yang lebih dewasa, Budi berumur 20 tahun sudah berbulu juga kakinya, anak Gubernur DI/TII Jawa Barat Dede Wiramihardja, yang tak mau menyerah ketika Kartosuwiryo menyerah. Kata dia, “Saya berperang bukan untuk Kartosuwiryo.” Dia bertahan terus sampai meninggal di hutan.
Dede Wiramihardja tamatan Algemeene Middelbare School (AMS), sekolah pada jaman Belanda setaraf SMA, yang selama di hutan mengajarkan anak-anaknya segala macam pelajaran. Ketika masuk SMP, Budi yang baru ke luar dari hutan sama sekali tidak ketinggalan pelajaran, bahkan hanya setahun bersekolah langsung mengikuti ujian SMP dan lulus masuk SMA. Tigor memperkenalkan Budi anak DI/TII kepada Syamsudin anak PKI.
“PKI dan DI/TII musuh bebuyutan, dua-duanya musuh tentara, saya anak tentara, tapi persahabatan kami tiga serangkai menimbulkan solidaritas yang unik.” Pengalaman persahabatannya yang unik di masa kecil itu menumbuhkan sensitivitas solidaritas dalam diri Tigor. “Perbedaan apapun termasuk ideologi tidak perlu harus membuat persahabatan terputus,” katanya.
Ketika G30S meletus, ayah Syamsudin yang PKI ditangkap dan wafat di penjara. Ketika kesatuan aksi yang terdiri dari sarjana, mahasiswa, pemuda, pelajar, ramai berdemo mau menumbangkan Orde Lama, Tigor yang menjadi pimpinan Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) setempat ikut melakukan aksi. “Saya dan Budi mengajak orang berdemo dari Tasikmalaya ke Jakarta dan Bandung, sampai pernah mengkoordinir iring-iringan 17 truk berisi pendemo. Massa terbanyak dari Budi, sebab dia anak DI/TII gampang mengumpulkan pengikut. Kami ikut-ikutan berdemo tidak punya induk, liar saja, antara lain di depan Istana Merdeka.”
Dari kecil sampai dewasa persahabatan “Tiga Serangkai” berlangsung aman dan damai. Melalui Budi Wiramihardja ini Tigor dipertemukan dengan Sarjono anak Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo Imam Besar DI/TII. Sarjono yang akrab disapa “Kang Jono” diundang ke kantor Joesoef Faisal.
Ia tertarik ketika diperkenalkan dengan gagasan mempertemukan anak cucu korban konflik di masa lalu. Sarjono dikenali sebagai sosok rendah hati dan kental dengan kesetiakawanan. Ia memahami betul hakikat NKRI dan merah putih, serta cukup moderat di kalangannya yang dianggap fundamentalis. Sarjono mengatakan di kalangan keluarga besar Kartosuwiryo hanya dia sendiri yang berani mencantumkan nama sang ayah. Budi Wiramihardja dan Sarjono Kartosuwiryo ikut menjadi Pemrakarsa dan Pendiri FSAB.
Sarjono dikenali sebagai sosok rendah hati dan kental dengan kesetiakawanan. Ia memahami betul hakikat NKRI dan merah putih, serta cukup moderat di kalangannya yang dianggap fundamentalis. Sarjono mengatakan di kalangan keluarga besar Kartosuwiryo hanya dia sendiri yang berani mencantumkan nama sang ayah. Budi Wiramihardja dan Sarjono Kartosuwiryo ikut menjadi Pemrakarsa dan Pendiri FSAB.
Sebagai salah seorang Pemrakarsa maupun Pendiri FSAB, ada nilai mendasar yang tertanam dalam diri Tigor Siregar dari lingkungan pergaulan masa kecil. “Saya selalu berempati kepada orang tertindas, orang minoritas, dan sering merenungkan kontribusi apa yang bisa saya berikan kepada bangsa dan negara ini,” katanya.
*Artikel ini ditulis oleh Bernada Triwara Rurit, Nina Pane dan Stella Warouw dalam buku kumpulan tulisan yang berjudul The Children Of War oleh Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB) yang di terbitkan oleh Penerbit Buku Kompas, Juni 2013