Rabu, 2 Juli 2025

IKN dan Indonesia ‘Pasca-Jawa’

Oleh: Nezar Patria

ADA banyak pemimpin punya mimpi besar tapi tak semua berani mewujudkannya. Presiden Jokowi termasuk jenis pemimpin yang punya mimpi dan berani mewujudkannya. Dengan tekad kuat dia memimpin “kick start” pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebuah kota masa depan bernama Nusantara. Upacara itu dimulai di Titik Nol IKN, kemarin sore.

Nezar Patria. (Ist)

Saya kerap mendengar sinisme, cibiran, atas insiatif strategis yang lewat undang-undang kini menjadi proyek bangsa ini. Suatu hal yang wajar mencerminkan keberagaman pendapat. Tapi, sebagai pemimpin, Presiden Jokowi tetap berjalan dengan semangat besar. Saya tahu dia juga mendengar banyak suara sumbang; bahwa ini adalah proyek boros di atas Rp500T, bahwa belum saatnya kita pindah ibukota, bahwa kota baru itu akan gagal dan sepi seperti nasib beberapa kisah pemindahan ibukota, baik lokal maupun global.

Saya yakin Presiden Jokowi sudah memperhitungkannya dengan matang. Kita tahu Jakarta, kota kesayangan, sudah begitu sesak, dan ancaman perubahan iklim akan segera membuat kota andalan sejak zaman Belanda ini akan menghadapi problem lingkungan yang berat. Ratusan tahun, Jakarta (dulu Batavia) juga telah menjadi “center of growth” dan dampaknya pertumbuhan ekonomi menjadi terpusat di Pulau Jawa. Kota-kota di luar Jawa adalah sekunder, dan merangkak pelan, sebagian masih tumbuh dalam keterbatasan. Lebih separuh jumlah uang beredar di Jakarta, dan selebihnya baru terpercik ke luar Jawa. Sebuah gap, jurang yang akan mengancam renggangnya hubungan ekonomi, sosial, politik, dan budaya di Indonesia di masa depan.

Presiden Jokowi tampaknya menyadari hal ini. Dia memindahkan Ibukota dengan harapan Indonesia di Abad 21 harus mampu menyatukan semua potensi dan kekuatan untuk menjadi bangsa besar di tengah perubahan global. Dia ingin menggeser “center of growth” Indonesia secara simbolik tidak lagi di Pulau Jawa, sebuah pulau yang makin miskin sumberdaya alam, dengan populasi yang terus tumbuh pesat. Meskipun gagasan ini sudah pernah dipikirkan oleh Presiden Sukarno di awal 1950an dengan melihat Palangkaraya sebagai calon ibukota baru, namun gagasan itu tertunda oleh banyak sebab. Indonesia, republik yang muda saat Sukarno memimpin, ditimpa banyak problem berat ihwal ekonomi, dan juga politik.

Presiden Jokowi tahu apa yang akan dilakukannya adalah sebuah langkah besar dan revolusioner. Dia membayangkan Indonesia yang “pasca-Jawa”, sebuah republik yang makin kuat buhul ikatannya dari arkipelago Sabang sampai Merauke. Dia membayangkan Indonesia masa depan harus menjadi “nation-state” yang kokoh, sebuah Indonesia yang telah “menjadi”. Dan tekad itu semua harus ditunjukkan dengan komitmen nasional yang mencermikan keadilan, yang menatap timur dan barat sama pentingnya, dan tak boleh satu daerah pun dibiarkan tertinggal. Seperti Sukarno dulu memilih Kalimantan, Jokowi melakukan hal sama. Kalimantan adalah daerah yang netral, terletak persis di tengah arkipelago, dan cukup lama menjadi titik pertemuan dari berbagai suku.

Itu pula, saya kira, yang mendorong Presiden Jokowi mengajak 34 Gubernur dan para menteri untuk hadir di “kick start” pembangunan IKN dengan seremonial simbolik: mengumpulkan segumpal tanah dan semangkuk air dari seluruh penjuru nusantara. Maka para Gubernur (kecuali enam yang berhalangan hadir dan hanya mengutus wakilnya) bersama presiden menuang tanah dan air itu dalam guci besar. Sebuah simbol bahwa Ibukota baru adalah tanah bersama, milik semua suku di nusantara, dan sebuah ikatan kuat, sebuah persatuan dalam keberagaman. Tanah menjadi semacam kesadaran spasial, tentang ruang hidup bersama, yang menghadirkan sebuah “political space” tentang konsep kebangsaan.

Sebuah potret yang beredar viral di media adalah adegan Presiden Jokowi yang duduk sendiri di depan tenda, yang dibangun khusus di tengah kepungan rimba bagi para pemimpin yang hadir di upacara itu. Dia seperti sedang merenungkan langkah-langkah besar untuk mengubah kawasan kosong itu menjadi sebuah Ibukota dalam dua dekade ke depan. Saya melihat Jokowi yang duduk itu adalah seorang pemimpin dengan sebuah “purpose”, yang percaya keberagaman sebagai kekuatan. Nilai itulah yang mendasari visinya ke masa depan.

Sebuah kota yang dibayangkannya akan berdiri tegak di tengah kehijauan Kalimantan namun tak juga begitu jauh mengarah ke samudera. Sebuah kota yang cerdas secara teknologi, kota yang ramah kepada lingkungan, dan kota yang membahagiakan warga penghuninya. Sebuah tantangan berat di tengah ketidakmenentuan gerak politik dan ekonomi global di Abad 21.

Melihat Jokowi duduk di depan tenda itu, saya tidak sedang membayangkan sebuah Ibukota yang akan dimulai pembangunannya dalam hari-hari ini. Saya membayangkan sebuah bangsa yang berani dan percaya diri: Indonesia.

Sumber: FB Nezar Patria

Penulis, Nezar Patria seorang wartawan, aktivis, dan juga penyair. Sekarang Direktur Kelembagaan PT Pos Persero.

Judul tulisan dari Nezar Patria

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru