Agus Lenon, tokoh perintis dan pelopor angkatan 80-an juga seorang budayawan. Ia dikenal dekat oleh banyak seniman dan budayawan karena salah satu perannya mendorong peran aktif budayawan dan seniman untuk memperbesar gerakan demokratik melawan rezim Orde Baru dan Kediktaktoran Soeharto. Budayawan Himawan ‘Japrak’ Sutanto, alumni Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengenangnya kepada pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Himawan Sutanto
TIBA-TIBA Lenon,– demikian panggilanku dengan nama asli Agus Edi Santoso menghubungiku karena ada warga Madura besok pagi datang ke Yogyakarta dan mau aksi ke DPR/MPR Jakarta sekitar awal tahun 90-an.
“Prak besok pagi ada warga madura mau demo ke Jakarta, kamu bantu si Kacik, almarhum aktivis mahasiswa Surabaya ya” –dan diharapkan bisa menemani, sebab Kacik baru pertama kali ini ikut aksi.
“Kamu dampingi dia ya…” demikian dialog saya dengan Lenon waktu itu di depan kampus Karang Malang, Yogyakarta.
Terus paginya benar, para petani Madura datang lalu diinapkan di GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dibilangan Yogyakarta, setelah dijamin aktivis GMKI. Lalu malamnya kami berangkat ke Jakarta dengan tiga bus yang isinya semua petani dan didampingi beberapa mahasiswa,–lupa namanya semua, kecuali Kacik.
Dari perjalanan semalam akhirnya bus sampai gedung DPR pada pagi hari, tapi kami berhenti di Tol untuk siap menuju DPR dan pukul 08.00 langsung menuju daerah Senayan lalu masuk ke halaman, bus parkir dan kami semua rombongan masuk ke lobby, lalu masuk ruangan yang dingin karena AC central yang sudah dipersiapkan.
Kemudian kami berdialog dengan beberapa perwakilan lalu menyampaikan permasalahannya di DPR. Setelah dialog yang cukup lama, lalu kami semua pulang ketika DPR telah menjamin bahwa kasus tanah petani akan segera ditindak lanjuti dan di selesaikan. Tapi Agus Lenon mengajak aku tinggal di Jakarta sebentar, sebab bus langsung ke Surabaya.
Itulah Agus Lenon ketika melakukan advokasi, para aktivis mahasiswa di kota mana saja selalu menjadi ‘korban’ provokasinya dan tidak bisa menolak. Sebab Lenon selalu ‘membaca’ siapa yang akan jadi target sasaran selanjutnya, dan semua aktivis tidak ada yang marah maupun menolak.
Dari hal diatas adalah salah satu contoh begitu dekatnya Lenon dengan aktivis dimana saja. Itulah Lenon banyak sekali hal-hal yang menarik untuk diceritakan.
Lenon juga selalu hadir dan memberikan buku sebagai bahan diskusi selanjutnya. Bahkan kalau ada buku baru Lenon selalu memberikan info utama. Lalu kalau ketemu, Lenon selalu mengatakan, “buku apa yang sudah kamu baca ?” lalu diajaknya diskusi mengenai buku itu, sebab Lenon selalu membawa buku baru yang belum saya miliki.
Membuka Jejaring dan Penerbitan
Sebagai aktivis mahasiswa saya banyak sekali dibantu Lenon untuk kenal dengan para tokoh dan anjang sana, anjang sini. Hal itu dilakukan karena Lenon ingin mengajak saya mengenal dan belajar dengan para tokoh politik tanpa melihat latar belakang dan suatu saat bisa ketemu sendiri dan diskusi.
Seperti di Jakarta, saya selalu di ajak menginap di SKEPHI (Sekretariat Pelestarian Hutan Indonesia) tempat markasnya mas Indro Tjahyono aktivis 77/78 yang waktu itu banyak aktivis ngumpul disana, ada Saleh Abdulah, Setya Darma, Semsar Siahaan, Yenny Rosa Damayanti, Shanty Parhusip, Danial Indrakusuma, Anung, Hira Jhamtani, Dedi Bogor, Indra, Amir Hussain Daulay,– bahkan para pejuang Tim-Tim, OPM dan lain-lain mulai dari Tebet sampai Skephi pindah di Liga Mas Pancoran.
Kalau sudah ketemu Agus Lenon selalu diajak “tour” –istilahku menemui para tokoh, antara lain Hariman, Joebar Ayub,–mantan Sekjend Lekra, Nurcholis Madjid, Jopie Lasut bahkan diajak ke penjara Salemba menjenguk Kolonel Latif, Soebandrio dan tahanan lainnya. Setelah itu bertemu dengan para mahasiswa Timor-timor yang ingin memperjuangkan kemerdekaannya.
Bahkan ketika Lenon mendirikan Lembaga PIPHAM di Gang Langgar di Jalan Dewi Sartika, juga menjadi markas para aktivis dari luar kota pasti mampir disini. Sebab dari kantor PIPHAM advokasi 21 Mahasiswa yang ditangkap dan dipenjara,–khususnya yang di luar kota, dilakukan dari kontrakan PIPHAM yang kecil tapi sangat strategis kalau koordinasi. Disitu sering kumpul Joko Gundul, Lukas, Santoso, Yo, Burhan, Heru Nongko, Ida, Desy, Nunik, Ita, Gatot, Gus Iim (adiknya Gus Dur) dan lain-lain.
Ke 21 Mahasiswa tersebut ditangkap karena demo ke MPR/DPR dengan organ FAMI (Front Aksi Mahasiswa Indonesia) tahun 1993 dengan membentangkan spanduk “Seret Soeharto ke Sidang Istimewa MPR”. Dari kasus tersebut PIPHAM lembaga Lenon jadi markas sementara aktivis dari luar kota.
Disamping itu Lenon juga selalu memberi kesempatan para aktivis pergi ke berbagai kota di Indonesia ataupun mancanegara. Sebab Lenon menginginkan para aktivis bisa menyampaikan pandangan tentang kondisi politik orde baru yang banyak sekali pelanggaran HAM-nya. Dari PIPHAM-ah Lenon kemudian membuat lembaga LAPASIP dan sebagainya.
Sebagai orang yang selalu konsisten dengan buku dan penerbitan, Agus Lenon melakukan banyak penerbitan pledoi aktivis yang ditahan maupun menerbitkan beberapa buku penting tulisan dari Che Guevara, Tan Malaka, Lenin, Karl Marx, Nurcholis Madjid, AM Fatwa, Soe Hoo Gie dan ratusan buku lain dengan bendera TEPLOK Press atau FFF (Frantz Fanon Foudation).
Dari hal diatas ada beberapa buku yang diterbitkan Agus Lenon dalam dunia penerbitan. Buku tentang Transformasi Masyarakat Indonesia yang diterbitkan Kelompok Studi Proklamasi dan Agus Lenon menjadi salah satu penggagas ketika kelompok studi menjadi salah satu pilihan mahasiswa mengkritisi Orde Baru.
Lalu Agus Lenon juga mengedit dan menerbitkan tulisan-tulisan Nurcholis Madjid yang kemudian menjadi sangat dekat, karena Agus Lenon adalah jebolan IAIN Suka (UIN Yogyakarta) dan juga mantan Sekjen Anggota Majelis Pekerja Kongres PB HMI tahun 80-an.
Dari penerbitan diatas, Agus Lenon sendiri juga menerbitkan buku “Di Bawah Lentera Merah” karya Soe Hok Gie yang diterbitkan pertama kali oleh Frantz Fanon Foundation,–sebuah lembaga tanpa kantor. Edisi pertama sebelum dicetak oleh Bentang Pustaka. Buku ini diterbitkan oleh FFF bentuknya buku kecil. Buku ini beredar di ujung masa Orde Baru, menjadi bacaan wajib aktivis anti Soeharto dan buku itu salah satu list buku yang dilarang oleh Kejaksaan Agung sampai sekarang. Dengan FFF-nya Lenon juga menerbitkan pledoi Bambang Isti Nuhroho yang dipenjara karena menjual 4 novel karya Pramodya Ananta Toer.
Adapun buku selanjutnya adalah “Demokrasi Untuk Indonesia” karya Hasan Muhammad Tiro diterbitkan Teplok Press setelah Soeharto jatuh. Berbarengan dengan tuntutan referendum Aceh. Penerbit Teplok Press juga menerbitkan Madilog Tan Malaka, Das Kapital dan beberapa buku politik lainnya. Itulah Lenon, disamping sebagai “penggiat demokrasi” Lenon juga aktif diskusi-diskusi diberbagai daerah tentang buku dan HAM.
Usil dan lucu
Sekilas memang kita cukup marah dengan banyaknya intrik dan provokasinya Lenon. Tetapi dengan caranya yang humoris, semua hal menjadi lucu. Suatu hari kami menjenguk tahanan di Salemba, kemudian uang kami pas-pasan hanya buat ongkos naik angkot saja. Kemudian Nunik salah satu mahasiswi teriak “Lenon perutku lapar..” kemudian didukung oleh semua sahabat yang kebetulan bertujuh minta mampir warung. Kemudian Lenon masuk warung dan kami masuk semua lalu duduk. Tiba-tiba Lenon mengambil tusuk gigi lalu Lenon keluar lagi dan jalan dengan tenangnya. Kemudian semua pada marah sama Lenon. Sampai di PIPHAM Lenon menjawab dengan santai “Siapa yang ngajak makan, saya kan cuma ambil tusuk gigi saja…” semua jadi tidak marah malah tertawa sambil ngedumel semua.
Itulah salah satu yang membuat Lenon sulit dilupakan oleh para sahabatnya dan saya semakin yakin bahwa apa yang saya alami, bisa jadi dialami sama yang lain.
Lenon,– kita masih punya janji sebelum kepergianmu selamanya, main catur di Tji Liwoeng Coffee,– tapi belum terlaksana dan kamu telah lebih dulu meninggalkanku.
“Aku didatangi Mulyana, Amir dan pongke” katamu ketika aku membesukmu di kamar 2512, Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, tanggal 7 Januari 2020, sebelum Santoso, Rinjani dan Desi ke kamarmu. Kamu sendiri tertidur dan aku duduk. Lalu aku foto kamu dan kamu bangun cari kacamatamu dan kuambilkan di atas kulkas, lalu kamu lihat aku dan senyum seperti biasanya. Ketika mereka pada masuk kamu sangat riang dan kami semua sempat selfie dengan kamu, aku dan Santoz dengan gaya membuka jari kelima, lalu Desi bilang,– “Kok jari lima dengan gaya da..da…”
Itulah foto kita terakhir dan cukup mengharukan. Tapi aku yakin Tuhan lebih sayang kamu dari pada kami. Selamat jalan Lenon pertemuan kita terakhir di kamar 2512 memberikan banyak inspirasi baru tentang kebersamaan, saling berbagi dan ternyata surga adalah tempat keabadianmu, Amiiin.