Sabtu, 12 Juli 2025

In Memoriam Edy Herry: Berpulangnya Sang Intelektual Organik

 
Edy Herry Prihantoro. (Ist)

Seorang Edy Herry Prihantoro, dosen muda yang FISIP – Universitas Airlangga yang belum mapan hidupnya saat itu, telah dengan sadar mengambil posisi dan menetapkan perannya sebagai bagian dari gerakan perjuangan melawan kediktatoran Soeharto. Bergelora.com memuat obituari baginya yang ditulis Dandik Katjasungkana, aktivis dan budayawan muda yang sempat dekat dengannya dimasa-masa kekuasaan militer orde baru. (Redaksi)

 
Oleh: Dandik Katjasungkana
 
 
NAMA lengkapnya Edy Herry Prihantoro. Di kalangan para mahasiswa dan aktivis era 1990an lebih dikenal dengan nama Edy Herry saja. Lahir di Wonosobo, Jawa Tengah pada tanggal 13 Maret 1964.
 
Saya mengenalnya pertama kali sebagai dosen FISIP Unair ketika mengambil mata kuliah Metode Berpikir Ilmiah yang diampunya, sekitar tahun 1992. Perawakannya kecil, selalu berpakaian rapi; atasan kemeja yang dimasukkan di celana kain, memakai kaca mata dan rambut lurus agak berponi. 
 
Kesan saya waktu itu biasa saja. Sebagai dosen, beliau melaksanakan apa yang memang seharusnya dilakukan untuk mendisiplinkan mahasiswanya. Misalnya, memasang tampang galak dengan mata agak melotot ketika mengawasi kami yang sedang mengerjakan ujian. Namun, sebagian dari mahasiswanya merasa jengkel karena hasil ujiannya mendapatkan nilai yang buruk. Banyak yang jeblok mendapatkan nilai D, sementara lainnya yang lebih beruntung rata-rata hanya meraih nilai C. 
 
Mata kuliahnya memang tergolong sulit bagi para mahasiswa semester awal. Istilah-istilah seperti: induktif, deduktif, hipotesis, konsep, definisi, silogisme, generalisasi, abstraksi dan lain sebagainya itu telah dengan sukses membuat pening kepala para mahasiswanya. Haha…
 
Edy Herry mengajar di FISIP Unair Surabaya, setelah menyelesaikan studi S1 di Fakultas Filsafat UGM. Pada tahun 1992, usianya baru menginjak 28 tahun.
 
Situasi politik di Indonesia pada tahun 1992 sedang marak demonstrasi mahasiswa yang menuntut pemerintah menghapus program judi legal yang bernama SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Demonstrasi itu terus berlanjut sampai tahun 1993. Saya kebetulan termasuk mahasiswa yang terlibat pengorganisasian, khususnya kepada mahasiswa baru angkatan 1993, supaya mereka juga ikut serta turun ke jalan. Massa semakin membesar dengan bergabungnya para mahasiswa baru tersebut. Dan pada akhirnya berhasil memaksa pemerintah untuk membatalkan SDSB.
 
Kemenangan tersebut menjadi pemicu bagi para aktivis mahasiswa, mereka semakin bersemangat untuk segera mengkonsolidasikan diri. Membangun suatu organisasi gerakan mahasiswa yang permanen dengan program-program yang terencana dan sistematis. Meninggalkan cara sebelumnya yang hanya mengandalkan komite-komite aksi dengan gerakan yang masih bersifat sporadis.
 
Kami mulai sering mengadakan diskusi-diskusi yang bertujuan untuk menjaring gagasan-gagasan dan kemudian menajamkannya menjadi suatu konsep dalam membangun gerakan mahasiswa yang lebih solid dengan lebih banyak mengangkat isu-isu kerakyatan.
 
Pada akhir tahun 1993, lahir organisasi gerakan mahasiswa tingkat nasional yang bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Suatu ketika, Munif Laredo, ketua SMID saat itu, mengatakan bahwa dia mempunyai seorang kawan lulusan Filsafat UGM yang mengajar di FISIP Unair. Munif meminta kami supaya menghubungi kawannya yang tidak lain adalah si pengajar mata kuliah yang sulit itu: Edy Herry. Munif bilang, “Dia orang baik dan pintar. Dan yang lebih penting lagi, dia sangat mendukung gerakan mahasiswa!”
 
Pada titik itulah, keterhubungan kami dengan dosen muda progresif itu bermula. Beliau tersenyum senang ketika kami menemuinya secara khusus dan menyampaikan salam dari Munif Laredo. Setelah itu, Edy Herry kerap berbicara di forum-forum diskusi, baik yang diselenggarakan oleh SMID Surabaya maupun di acara-acara yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa dan organisasi-organisasi mahasiswa lainnya.
 
Pada suatu kesempatan, beliau memanggil saya di ruang dosen FISIP Unair. “Ndandik…” begitulah beliau biasa menyebut nama saya (dengan logat khas orang Jawa Tengah), “Kamu besok malam ikut saya ya, jadi pembicara di kampus Stikosa AWS. Saya sudah mengundang para mahasiswa baru di sana untuk diskusi tentang bagaimana seharusnya mahasiswa mengambil peran dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan.” 
 
Sebagai seorang akademisi, rupanya Edy Herry tidak lagi sekadar berdiri mengajar di ruang kuliah. Beliau sedang bergerak, ikut turun tangan, melibatkan diri langsung dalam pengorganisasian gerakan mahasiswa. Tentu saja saya senang, “Baiklah Mas. Besok saya datang!” 
 
Oh ya, saya memang biasa memanggilnya dengan sebutan Mas, bukan Pak. Karena meskipun beliau dosen, tapi usianya cuma terpaut enam tahun dari saya. Penampilannya juga masih seperti mahasiswa senior, dengan tampang yang serius tapi tetap berseri-seri.
 
Tidak di dalam ruang kelas, tapi diskusi itu diselenggarakan secara lesehan di suatu tempat — kalau saya tidak salah ingat — yang bersebelahan dengan parkiran sepeda motor. Cukup banyak juga yang hadir, lebih dari 50 mahasiswa. Disinari cahaya lampu dop yang terbatas, suasana remang-remang dan beralaskan tikar, menjadikan jalannya diskusi itu justru lebih cair mengalir, mengikis kesan formalitas dan kaku.
 
Yang mengejutkan saya, Edy Herry di situ “hanya” berperan sebagai moderator. Beliau mem-fait-accomply saya berposisi sebagai pembicara tunggal. Waduh… Ini orang sedang mempraktekkan bunuh diri kelas, tapi saya yang jadi korban. Begitu pikir saya. Haha… 
 
Ya sudah, meski awalnya agak kikuk, namun pelan-pelan saya bisa menguasai keadaan. Beruntung juga, saya sudah siapkan bahan tulisan berupa makalah pendek yang berisi “komporan” bagaimana seharusnya mahasiswa sebagai kelompok yang diuntungkan bisa mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi, tergerak untuk terlibat dalam perjuangan demokrasi dan membela kaum yang terpinggirkan. Di akhir acara, saya pun sempat membacakan puisi Rendra yang berjudul Sajak Sebatang Lisong. Menurut saya, puisi itu tepat untuk dipakai sebagai bahan agitasi kepada para mahasiswa. Begini salah satu baitnya:
 
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
 
Setelah itu, hubungan kami makin dekat. Pada tahun 1994, SMID menyelenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas). Diputuskan acara tersebut akan diselenggarakan di Surabaya. Kami bingung, mau diadakan di mana. Untuk menyewa tempat, pasti tidak bisa. Biayanya dari mana? Untuk makan sehari-hari saja, saat itu kami lebih banyak mengandalkan Supermie, yang waktu itu harganya masih sekitar 500 rupiah.
 
Di luar dugaan kami, Edy Herry menyediakan rumah yang ditinggali sementara bersama istrinya di wilayah Kupang Indah. Rumah itu tergolong besar dan yang paling penting terdapat ruangan yang cukup luas, yang bisa dipergunakan sebagai tempat rapat dengan peserta lebih dari 50 orang. 
 
Segera saja kami membentuk panitia Rakernas, berbagi tugas. Tidak lupa harus membuat sistem keamanan yang cukup ketat. Mengingat situasi politik di bawah Soeharto saat itu yang sangat represif, tentara berada di mana-mana untuk mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat, apalagi yang dicurigai mengganggu kekuasaannya. 
 
Secara keseluruhan, rapat itu berlangsung dengan sukses. Tidak ada gangguan dari, baik eksternal maupun internal. Kecuali ada satu kejadian yang lumayan menghebohkan seluruh peserta Rakernas. Dalam suatu sesi, tiba-tiba terdengar suara yang cukup keras: bruaakkk!! Seketika seluruh mata peserta yang ada di dalam ruangan menatap ke arah asal suara. Seseorang berbadan besar terjerembab ke lantai sambil menyeringai. Aah, si Petrus Hariyanto (salah seorang pengurus pusat SMID, mahasiswa dari Universitas Diponegoro, Semarang) telah sukses pula merusakkan kursi tuan rumah. Haha…
 
Rakernas itu meninggalkan kenangan manis, namun berujung pahit. Tidak jelas informasi dari mana, sang pemilik rumah, seorang Ibu dosen senior FISIP Unair, akhirnya mengetahui bahwa rumahnya telah dipakai rapat anak-anak muda penentang Orde Baru Soeharto. Edy Herry terkena marah besar. Sampai harus menanggung akibat buruk, terusir dari rumah itu. Sedih tapi harus pasrah. Sebagai dosen muda, tentu saja belum punya simpanan yang cukup buat sekadar menyicil sebuah rumah. Tidak ada jalan lain, ikat pinggang harus makin dikencangkan, supaya ada sisa gajian untuk ongkos sewa rumah.
 
Seorang Edy Herry, dosen muda yang belum mapan hidupnya itu, telah dengan sadar mengambil posisi dan menetapkan perannya sebagai bagian dari gerakan perjuangan melawan kediktatoran Soeharto. Dengan berbagai resiko yang harus dihadapinya.
 
Kejadian itu tidak menyurutkan tekad dan semangatnya. Dalam beberapa aksi demonstrasi selanjutnya, baik yang dilakukan mahasiswa maupun aksi aliansi dengan buruh, beliau tampak hadir, bahkan sesekali ikut berorasi bersama satu dosen progresif  lainnya yang lebih senior, Dede Oetomo.
 
Dua orang dosen inilah, yang di kelak kemudian hari secara terbuka mendeklarasikan dirinya masuk sebagai anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD). Mereka siap menanggung resiko kehilangan status sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan berbagai tunjangan sosial-ekonomi yang menyertainya.
 
Krisis moneter pada tahun 1997 yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi dan politik pada tahun 1998, mendorong gerakan mahasiswa makin getol turun ke jalan. Gelombang demonstrasi mahasiswa bersama rakyat terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Gerakan yang makin  besar dan meluas itu akhirnya berhasil memaksa Soeharto turun dari kekuasaannya pada bulan Mei 1998. 
 
Sebuah era baru dimulai, suatu era yang kemudian disebut sebagai era reformasi. Meninggalkan era otoritarianisme yang kejam dan tertutup. Memasuki era demokrasi, kebebasan dan keterbukaan. Suatu era  baru, yang sampai lebih dari dua dasawarsa ini masih meninggalkan banyak persoalan kejahatan kemanusiaan pada masa lalu. Ironisnya, persoalan-persoalan kejahatan kemanusiaan itu tidak juga ditangani secara tuntas oleh pemerintahan baru sampai hari ini.
 
Sejumlah mahasiswa dan rakyat menjadi korban dari kekejaman aparat militer, khususnya pada hari-hari menjelang dan sesudah Soeharto jatuh. Beberapa ditemukan tewas tertembus peluru tajam, beberapa yang lainnya hilang diculik. Dari 13 orang yang dinyatakan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai korban penghilangan paksa pada tahun 1997-1998, dua orang di antaranya adalah aktivis mahasiswa yang sekaligus murid dari  Edy Herry di FISIP Unair. Mereka adalah Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.
 
Saya yang sudah berhasil lulus kuliah pada awal tahun 1999, segera terlibat  dalam kerja advokasi pencarian terhadap mereka yang masih hilang. Menuntut negara supaya membentuk tim khusus untuk mencari keberadaan para korban. Para keluarga korban bersama para aktivis kemudian membentuk organisasi korban yang diberi nama Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI). Selepas tahun 2000, saya mendapat amanah dari IKOHI untuk mengkoordinasikan kerja-kerja advokasi terhadap keluarga korban, khususnya mereka yang tinggal di Jawa Timur. 
 
Dalam konteks itulah, relasi saya dengan Edy Herry terjalin kembali. Beliau acap kali tampil sebagai pembicara dalam forum-forum diskusi yang diselenggarakan oleh IKOHI dan organisasi-organisasi mahasiswa.
 
Kami meminta pihak Unair untuk menunjukkan apresiasi dan sikap yang jelas terhadap dua mahasiswanya yang telah menjadi korban penculikan/penghilangan paksa itu. Bahkan, Edy Herry berada di barisan paling depan, mendesak birokrat kampus Dekanat FISIP Unair yang notabene para atasannya langsung, agar sudi membangun sebuah monumen sebagai pengingat bahwa terdapat dua mahasiswa Unair yang telah menjadi martir bagi perjuangan demokrasi di negeri ini.
 
Berulang-ulang negosiasi itu berlangsung, sampai belasan tahun desakan itu berjalan. Tapi sampai detik ini tidak juga mendapatkan respons yang positif dari pimpinan birokrasi di Unair. Mau bilang apa lagi, dalam hal ini Unair masih tertinggal jauh dari kampus-kampus lainnya, seperti Universitas Indonesia dan Universitas Trisakti, yang jauh-jauh hari sudah bersikap jelas bagaimana harus memperlakukan mahasiswanya yang telah menjadi korban kekejaman rezim otoriter Orde Baru. 
 
Di samping membuat monumen, dua perguruan tinggi itu juga mengadakan acara peringatan yang masuk dalam agenda resmi tahunan kampus, mengangkat isu para mahasiswa mereka yang juga menjadi korban tewas dan menuntut pihak pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus tersebut.  
 
Pada tahun 2010 IKOHI bekerjasama dengan BEM FISIP Unair menggelar acara Panggung Perjuangan Drmokrasi. Acara itu dimaksudkan untuk mengenang Herman dan Bimo. Panggung diisi dengan pentas seni rakyat reog, jaran kepang, musik kritik sosial, orasi dan diskusi. Diskusi akan menghadirkan pembicara di antaranya adalah Edy Herry dan orang tua korban, yaitu Utomo Rahardjo (ayahanda dari mahasiswa Petrus Bima Anugerah). 
 
Ketika menjelang diskusi digelar, saya tidak mendapati Mas Edy di lokasi acara. Segera saya mencarinya. Di lantai 2 ruang dosen tidak ada. Saya turun lagi, keliling di lantai 1. Ternyata beliau sedang tertidur di sebuah badukan (tempat duduk yang terbuat dari batu bata dan semen, yang biasa dijadikan tempat nongkrong para mahasiswa). Saya mendekat, beliau pun terbangun. “Mas, acara diskusi akan dimulai.” “Oh ya…”, beliau mengucap lirih. Saya tanya, “Mas Edy sakit?” “Enggak…biasa, kadang-kadang kepala rasanya nyut-nyut. Itu tandanya saya harus istirahat sebentar, terus hilang sendiri nanti..” katanya sambil membetulkan letak kacamatanya.
 
Sekitar tahun 2012 saya sudah jarang ketemu langsung dengan Edy Herry. Kadang kami hanya berkomunikasi lewat SMS, sekadar saling tanya kabar dan tak lupa saling menyemangati. Sampai kemudian pada bulan Maret 2013, adik kelas saya Ahmad Finchi Arifin (Fahmi) yang juga murid beliau di jurusan Sosiologi, mengabarkan bahwa Mas Edy Herry sakit keras dan harus menjalani operasi karena penggumpalan darah di otaknya. Saya jadi teringat peristiwa di badukan FISIP itu. Rupanya penyakit kepala yang menimpanya saat itu, sekarang sudah berkembang sangat serius.
 
Setelah operasi selesai, saya bersama Heru Krisdianto dan Puspita RaYa menengoknya di RSUD Sidoarjo. Di sana, kami sudah tidak melihat lagi Edy Herry dengan rambut lurusnya yang agak berponi itu. Kepalanya plontos dihiasi jahitan bekas operasi. Kami juga bertemu dan mengobrol dengan istri dan anak perempuannya yang saat itu masih berumur sekitar 7 tahun.
 
Dalam keadaan tergolek lemah, Edy Herry masih menyiratkan semangat yang luar biasa. Dengan mengepalkan tangan, beliau berucap, “Perjuangan belum selesai. Kita harus tetap berani!”
 
Setelah itu, saya mendengar kabar bahwa Mas Edy tidak lagi mengajar. Lebih tepatnya mengambil cuti panjang, mengingat kondisinya yang membutuhkan waktu lama untuk pemulihan.
 
Sepanjang itulah saya tidak bisa berkomunikasi lagi dengannya. Sampai kemudian pada hari Minggu siang, saya diberitahu oleh istri saya, bahwa Mas Edy telah meninggal dunia. Saya terdiam, menundukkan kepala, sedih dan meneteskan air mata. Kawan-kawan baik di sekeliling saya hari-hari belakangan ini satu per satu telah berpulang. Dada makin sesak rasanya dengan kabar berpulangnya Mas Edy Herry.
 
Saya segera menghubungi Fahmi dan mengabarkan kabar duka ini. Seolah masih tidak percaya, saya memintanya untuk mencari tahu kebenaran kabar meninggalnya Mas Edy Herry. Beberapa menit kemudian Fahmi mengirim pesan WA yang berisi tulisan singkat dari kolega Edy Herry di FISIP Unair. Benar, beliau telah meninggal dunia di rumah keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah. Beliau berpulang, setelah menyelesaikan tugas desertasi doktoralnya, yang sayangnya belum sempat dipertahankan di depan sidang penguji.
 
Mas Edy, buat saya, kamu adalah seorang pejuang yang tangguh dan kokoh dalam prinsip. Seperti yang diuraikan oleh tokoh idolamu: Antonio Gramsci, seorang filsuf dan aktivis kiri penentang fasisme di Italia, kamu telah paripurna berperan sebagai seorang intelektual organik. Seorang intelektual yang mendayagunakan ilmunya bagi pembebasan kaum tertindas. Seorang intelektual yang terus berjuang, sampai nafas tidak dikandung badan. 
 
Selamat jalan kamerad.
Selamat menikmati keadilan dan keindahan Surga di alam sana. 
 

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru