Oleh: M. Nigara *
SEKALI LAGI, saya harus menuliskan perpisahan, sedih tapi pasti tak akan terhindarkan. Sekali ini, IGK. Manila, seorang sahabat senior yang harus berpulang, tepat di saat bangsa kita merayakan Kemerdekaan RI ke-80.
Tak banyak orang seperti Pak Manila, meski berpangkat Mayor Jenderal, CPM lagi, tapi tak secuil pun ada garis keras melintas di wajahnya. Meski dihiasi kumis tebal, wajah Manila lebih banyak tersenyum ketimbang tampil garang.
“Mau garang bagaimana?” katanya suatu saat di Sekertariat PSSI, di Stadion Utama.
“Ya, begini ini Manila,” katanya dengan suara tenang dan kental berlogat Bali.
Lahir di Singaraja, 8 Juli 1942. Meski tidak memiliki latar belakang sepakbola yang dalam, tapi Manila begitu dekat dengan sepakbila nasional.
Diawali saat menjabat sebagai Dan Pusdik Pom (1985), Manila diminta Kardono, Ketum PSSI saat itu untuk membina mental dan fisik anak-anak Garuda-I. Patar Tambunan Aji Ridwanmas dll dibawa ke Cimahi oleh Manila dan di tempatkan di sana beberapa waktu.
Sejak itu, Manila masuk dalam orbit sepakbola nasional. Dia juga tercatat sebagai manajer yamg sukses meraih medali emas sepakbola di Sea Games 1991, Manila. Sebelumnya, Manila juga ditugaskan sebagai manajer timnas 1987an, saat Indonesia tampil di Piala Presiden Seoul.
Waktu itu ada kisah yang sangat menarik terkait seorang bintang asal Arseto, Solo.
“MN (begitu Manila menyapa saya), saya sudah ke Tanah Abang (Manila menyebut nama tempat dan orang yang dimaksud), dia (sang bintang) berguru ke situ” katanya suatu siang.
Orang yang dimaksud adalah guru agama. Bintang ini dibawa oleh kiper asal klub yang sama untuk menimba ilmu. Sayangnya, sejak mendalami ilmu itu, sang bintang berpuasa bicara dengan siapa pun.
Saat saya dalami, sang bintang memegang teguh hadits:
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak ada yang keliru, apa lagi dunia sepakbola kita saat itu ‘penuh akrobatik’. Jadi, jika sang bintang menerapkan ajaran itu, tak ada yang salah. Tetapi, saat bergaul dan bermain, tentu sangat repot. Selain itu, sang bintang juga sering berdiri menghadap ke arah matahari pagi. Secara terbuka sang bintang seperti menjauh dari segalanya.
Manila meminta saya untuk berbincang dengan sang bintang yang kebetulan sejak yunior sangat dekat dengan saya. Ia berharap agar sang bintang bisa kembali seperti semula. Apalagi, sang bintang ini awalnya adalah sosok yang sangat ‘ramai’ bicaranya. Tawanya lepas, candanya juga luar biasa.
Sayang hasilnya nihil.
Kami, saya dan Manila pernah dua kali berada dalam Tim Bentukan PSSI dan FIFA untuk menyelesaikan Kasus Suap 1984-87 dan Kasus Dualisme sepakbola tanah air.
Di tim bentukan FIFA itu Manila menjadi wakil Agum Gumelar.
Selain itu, Manila juga sempat beberapa saat ditunjuk Oom Benny Mulyono sebagai manajer Warna Agung sebelum akhirnya ditunjuk oleh Gubernur DKI, Sutiyoso menangani Persija.
Manila saat ini telah berbaring. Di saat pekik Merdeka diteriakan kita semua untuk menyambut 17 Agustus 2025, Manila pergi untuk selamanya.
Selamat jalan sahabat senior, semoga jalanmu indah seperti suaramu yang lembut…
—–
*Penulis M. Nigara, Wartawan Olahraga Senior