Kamis, 18 September 2025

Indonesia Dalam Pusaran Teroris

Seorang polisi nekad menolak seorang bocah setelah pengeboman di Mapolresetabes Surabaya, Sein (14/5). (Ist)

Indonesia merupakan salah satu basis perkembangan ISIS di Asia. Olehnya keterlibatan Militer dalam upaya penanggulangan terorisme dibutuhkan partisipasi dan pengamatan penuh dari kalangan Civil Society agar tidak ada kelompok yang salah tangkap dalam upaya penanggulangan terorisme. Mohamad Affandi Zarkasih, S. Sos., M. Si. Direktur LPS-HAM Sulawesi Tengah, Alumnus UI Magister Kajian Terorisme menuliskannya kepada Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Mohamad Affandi Zarkasih

KEMATIAN Noordin M Toop dan dr, Azhari sebagai mentor dalam pembuatan bom bukan berarti teror bom sudah berakhir, itu terbukti pada bulan Mei 2018 tepatnya di Surabaya dan Sidoarjo ledakan bom terjadi kembali. Tidak ada yang beda dari metode yang digunakan dalam melancarkan aksi terornya di 2 (dua) lokasi tersebut. Mereka (pelaku teror) masih menggunakan metode Suicide Bombing dalam melancarkan aksinya.

Namun yang membedakan pada aksi ini ialah pengunaan pelaku Penganten (sebutan untuk pelaku Bom bunuh diri) merupakan Perempuan. Penggunaan perempuan itu pun bukan kali Pertama di negeri ini. Akan tetapi kasus Suicide Bombing yang berhasil dalam menggunakan perempuan dalam melakukan pengantenya yang pertama kali terjadi di Kota Surabaya dan Sidoarjo.

Kasus serangan teror yang terjadi di dua Kota Jawa Timur menandakan bahwa Aparat kita lengah atau lalai dalam memberikan jaminan keamanan terhadap rakyatnya. Sebab sebelum rangkaian serangan Bom di dua kota tersebut, rentetan kasus yang dilakukan oleh Narapidana Teroris dalam Rutan yang terletak di kawasan Markas Brigade Mobil (Mako Brimob). Sehingga tidak heran pasca kerusuhan di dalam Mako Brimob tersebut menyulut serangan yang dilakukan oleh Kelompok yang berada di luar.

Dalam rangkaian serangan, kelompok teridentifikasi berafiliasi dengan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Yang teridentifikasi berafiliasi dengan kelompok pemberontak yang berada di Suriah dan Irak atau yang lebih dikenal dengan kelompok ISIS. Di Indonesia sendiri JAD merupakan sempalan dari kelompok Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Pimpinan Ustad Abu Bakar Baasyir yang di ketahui bersama bahwa Ustad Abu Bakar Baasyir sendiri merupakan pendiri/pimpinan dari Al-Qaeda Asia Tenggara, kemudian Pendiri dari Mujahidin Indonesia Barat dan Timur (MIB dan MIT).

Upaya penanganan terorisme di suatu negara didasarkan pada kebijakan keamanan nasional negara tersebut. Kebijakan keamanan nasional suatu negara dalam menghadapi terorisme secara konseptual dapat dibagi ke dalam dua kategori, yakni kontraterorisme dan antiterorisme. Meskipun makna dan ruang lingkup kedua istilah tersebut kadang-kadang masih diperdebatkan, kontraterorisme dapat dipandang sebagai kebijakan taktis, ofensif, represif, dan supresif untuk mengendalikan krisis yang terjadi pada saat ini sedangkan antiterorisme dipandang sebagai upaya-upaya strategis jangka panjang untuk mengurangi dan menghentikan terorisme dengan menghilangkan akar penyebab dan mengubah lingkungan yang mendorong terjadinya aksi terorisme tersebut.

Kebijakan keamanan dalam menghadapi teroris Indonesia sepertinya akan berubah. Seiring dengan rangkaian serangan teror secara berturut-turut di dua (dua) Kota di Jawa Timur. Yang Sebelum nya Indonesia hanya menggunakan pendekatan Keamanan Antiterorisme dan Kontraterorisme, Kini Indonesia juga akan melibatkan Militer dalam upaya pencegahan terorisme. Hal itu jelas dalam beberapa kali pernytaan presiden dalam wawancara-nya menyikapi serangan teror di Jawa Timur.  

Militer adalah instrumen kekerasan milik negara yang diberi otoritas untuk menggunakan senjata dalam mempertahankan negara dari serangan militer negara lain, dan juga untuk tugas lain seperti mengatasi bencana dan penanggulangan terorisme. Sedangkan kepolisian pada umumnya didefinisikan sebagai institusi penegakan hukum, melindungi masyarakat didalamnya serta menciptakan ketertiban umum namun juga dipersenjatai dalam rangka penegakan hukum.

Secara teoritis dalam konsep bantuan militer kepada kekuasaan sipil (military aid to the civil power-MACP), militer dapat berperan dalam kontra-terorisme dengan cara mendukung mendukung kekuatan kepolisian dan otoritas sipil. Tentunya sesuai dengan karakternya, model militer memandang peperangan dengan kelompok teroris sebagai perang asimetris, namun tentunya dengan identifikasi musuh, garsi depan (frontline) dan medan pertempuran (battlefield) yang jelas untuk mencapai kemenangan mutlak.

Pada umumnya kemampuan satuan penanggulangan teror militer lebih tinggi daripada kepolisian, tapi secara hukum kepolisian lebih berwenang. Dalam penggunaan pendekatan militer cara-cara yang digunakan akan cenderung menggunakan hard power karena pada prinsipnya pendekatan militer akan melihat permasalahan terorisme dalam konteks perang.

Dalam penaggulangan terorisme penggunaan senjata atau hard power saja tidaklah cukup untuk mengatasi permasalahan akar terorisme yang berakar pada kondisi depriviasi dan ideologi radikal. Ideologi bahkan sering disebut sebagai center of gravity atau kekuatan penggerak utama terorisme. Oleh karena itu strategi pendekatan lunak (soft approach) juga perlu digunakan dalam strategi penanggulangan terorisme. Dalam pendekatan lunak terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk penanganan masalah terorisme diantaranya adalah deradikalisasi, disenggangement, dan kontra-radikalisasi atau yang sering juga disebut dengan kontra-ideologi.

Deradikalisasi dapat juga diartikan sebagai salah satu upaya untuk mengubah mereka yang semula memiliki paham radikal dan mendukung terorisme menjadi tidak lagi mendukung paham tersebut. Sedangkan disenggangement mengacu pada perubahan sosial dan kognitif kritis dalam hal meninggalkan norma-norma, nilai, prilaku, dan aspirasi sosial yang diyakini selama bergabung didalam kelompok teroris. Pada dasarnya disenggangement dibagi menjadi dua yaitu fisik dan psikologis. Sementara dalam kontra-radikalisasi dan kontra-ideologi biasanya diarahkan pada kalangan masyarakat yang belum teradikalisasi namun berpotensi mengalami hal tersebut.

Olehnya keterlibatan Militer dalam upaya penanggulangan terorisme dibutuhkan partisipasi dan pengamatan penuh dari kalangan Civil Society agar tidak ada kelompok yang salah tangkap dalam upaya penanggulangan terorisme. Sebab keberhasilan dari keterlibatan militer dalam puaran penanggulangan teroris terletak di pada kebrhasilan Intelijen dalam menghimpun Informasi.

Namun dalam artikel Stephen Marrin yang berjudul “Preventing Intelligence Failures by Learning from the Past” bahwa “kegagalan” terjadi dalam setiap aktivitas intelijen itu bisa saja terjadi. Dan itu bisa terjadi mulai dari hal yang sepele hingga hal-hal yang sangat penting. Dan itu bisa saja terjadi disebabkan oleh karena kegagalan dalam mengumpulkan informasi yang relevan hingga kesalahan pada sistem pengumpulan data dilapangan.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru