JAKARTA- Kegagalan Pemerintah untuk membangun Kawasan Timur Indonesia menyebabkan Kawasan yang terdiri dari Papua, Kepulauan Maluku, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara menjadi kawasan yang sangat tertinggal. Sebuah penelitian dari Universitas Krisna Dipayana (UKRIDA), Jakarta menyebutkan kawasan Indonesia Timur tertinggal seabad lamanya dibandingkan dengan Indonesia Barat. Hal ini terungkap oleh ahli kelautan, Dr. Ir. Victor PH. Nikijuluw, M.Sc dalam forum yang digagas oleh Archipelago Solidarity Foundation Kamis (14/11) di Jakarta.
“Bila status quo tidak ada terobosan dari pemerintahan Presiden Jokowi. Seperti yang dilakukan pemerintah dari tahun 1985 sampai 2010 dan tidak ada kebijakan khusus untuk KTI (kawasan timur Indonesia). Investasi tetap seperti 25 tahun lalu maka dibutuhkan 36-51 tahun untuk menjadi setengah Jawa dan Sumatera. Maka untuk menjadi sama dengan Jawa dan Sumatera, dibutuhkan seabad,” jelasnya.
Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) ini menjelaskan dibutuhkan affirmatif policy dari pemerintah pusat untuk mengejar ketertinggalan di Kawasan Timur Indonesia.
“Hal ini tidak tercermin didalam susunan kementerian yang barusan dibentuk yang akan berdampak pada alokasi anggaran di dalam APBN untuk pembangunan Indonesia Timur,” ujar.
Jalur Sutera Maritim
Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Engelina Pattiasina dalam kesempatan yang sama mengatakan bahwa publik belum mendapat elaborasi lebih lanjut mengenai konsep poros maritim dunia yang digagas Jokowi-JK. Padahal, konsep poros maritim dunia ini mengandung dimensi internasional, regional dan domestik, serta mencakup multisektor dan kepentingan.
“Ketidakjelasan konsep poros maritim dunia ini menimbulkan kekhawatiran, kebijakan maritim Indonesia bakal menjadi pelengkap konsep besar Jalur Sutera Maritim (JSM) dari negara Tiongkok. Sebab, konsep JSM ini sangat strategis dan diperkirakan akan tetap diwujudkan kalau melihat keseriusan dari Negara Tiongkok dalam mengkampanye gagasan JSM ini,” jelasnya.
Menurutnya, situasi ini melahirkan pertanyaan, apa keuntungan Indonesia jika terlibat dalam JSM ini? Semestinya, kalau konsisten Indonesia menjadi pemain utama dalam bidang maritim karena memiliki semua yang dibutuhkan untuk menjadi poros maritim.
“Untuk itu, membiarkan Indonesia menjadi bagian dari JSM akan sangat berpotensi untuk bergesekan dengan aspek kedaulatan. Sebab, Indonesia hanya menjadi penari di genderang yang ditabu pihak lain. Sebagai bangsa merdeka, tentu pemerintahan Jokowi-JK menyadari dan akan menghindari hal seperti itu,” ujarnya.
Jadi menurutnya, tantangan Jokowi-JK saat ini, adalah bagaimana melahirkan satu konsep yang menaikkan daya tawar Indonesia di mata dunia dalam bidang maritim, karena memang Indonesia secara lahiriah sudah berada di poros maritim.
“Sudah waktunya bagi para intelektual dan tokoh masyarakat dari Kawasan Timur Indonesia untuk mengkonsolidasikan diri menyambut era baru kepemimpinan Tiongkok di kawasan regional. Jangan sampai seperti saat ini, Indonesia Timur menjadi ladang eksploitasi tanpa memberikan keuntungan bagi rakyat Indonesia Timur,” tegasnya.
Forum ini menghadirkan beberapa intelektual dan tokoh masyarakat Indonesia Timur seperti pembicara seperti pakar kelautan, dekan Fakultas Ekonomi UKRIDA Prof. Dr. Victor Nikijuluw Msc, Dekan FH Universitas Pattimura, Ambon, Maluku, Dr. Tjiptabudy Direktur LIPI, Ambon, Dr. Augy Sahilatua, Msc, Wartawan Senior Kompas, Rene L. Pattirajawane, Ketua Pokja Petisi 50, Chris Siner Key Timu, Ketua Solidaritas Indonesia Timur, Joppy Lasut, Wartawan Senior Sinar Harapan, Daniel Dhuka Tagukawi, Abdul Manaf Tubaka Msi dan Ir. Matheos Talakua. (Web Warouw)