Oleh: Hasan Aoni*
TIDAK ada sektor industri yang memiliki sumbangan perpajakan (𝘵𝘢𝘹 𝘢𝘯𝘥 𝘦𝘹𝘤𝘪𝘴𝘦) yang cukup besar dibanding industri rokok. BUMN, industri konstruksi, pertambangan, jasa keuangan, telekomunikasi, bahkan farmasi dan kesehatan — yang nilai industrinya melebihi industri rokok — sumbangan perpajakannya berada di bawah sektor industri ini.

Studi Earns&Young (2018) menunjukkan hal itu. BUMN, misalnya, yang memiliki nilai industri Rp1.754 triliun, sumbangan perpajakannya Rp.167 triliun atau setara 9,5%. Pertambangan, dengan nilai industri Rp.894 triliun, sumbangan perpajakannya Rp.74 triliun atau setara 8,3%. Sedangkan, industri rokok, yang nilai industrinya Rp.326 triliun, sumbangan perpajakannya (termasuk cukai) Rp.200 triliun atau setara 61,4%.
Dengan capaian itu, kretek, sebagai rokok khas Indonesia, menduduki posisi tertinggi dalam market share rokok. Sigaret kretek mesin (SKM), seperti Sampoerna Mild, Gudang Garam Filter, Djarum Super, dan berbagai jenis rokok SKM Mild lain, menduduki posisi 71%. Sigaret kretek tangan (SKT), seperti Dji Sam Su, Djarum 76/Coklat, Gudang Garam Merah, menduduki posisi 25%. Menyisakan rokok putih, seperti Marlboro, Ardath, dll, hanya 4% (Laporan Ditjen BCRI, 2021).
Capaian ini berbalik 180 derajat dibanding kurun 1960-1970-an saat rokok putih merajai pasar rokok Indonesia dengan hanya menyisakan sigaret kretek tangan sekitar 5%.
Meski penyumbang devisa terbesar kedua setelah kelapa sawit, keberpihakan pemerintah terhadap industri rokok masih jauh dari harapan. Dalam menetapkan kebijakan tarif cukai, misalnya, hampir pasti pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, lebih memihak kepentingan kelompok anti-tembakau daripada kepentingan pengusaha, buruh rokok dan petani tembakau.
Terbukti pada 2021 kebijakan tarif cukai naik rerata 23% dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini merupakan tertinggi dalam sejarah tarif cukai. Pada kurun 2012-2017, dampak kenaikan tarif yang eksesif dan tidak memperhatikan golongan kretek bawah, telah mematikan 500 unit produksi kretek dari sebelumnya 1.000 unit, atau rerata 100 unit setiap tahun.
Kementerian ini bahkan mengatur tak saja tarif, melainkan struktur managemen (PMK No. 78/2013) dan syarat properti pabrik (PMK No. 200/2011), yang mestinya menjadi kewenangan kementerian lain.
Yang lebih parah dari itu, kretek sebagai rokok khas Indonesia oleh Kementerian Kesehatan cita rasanya mulai dicerabut dengan melarang penggunaan bahan-bahan tambahan dalam kretek seperti diatur dalam PP 109/2012. Dasar pelarangan ini sejalan dengan artikel 9 dan 10 FCTC (𝘍𝘳𝘢𝘮𝘦𝘸𝘰𝘳𝘬 𝘊𝘰𝘯𝘷𝘦𝘯𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘰𝘯 𝘛𝘰𝘣𝘢𝘤𝘤𝘰 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘳𝘰𝘭) WHO, yang melarang penggunaan bahan-bahan tambahan.
Sebelum larangan di dalam negeri, Amerika melarang rokok beraroma dipasarkan di gerai-gerai penjualan menyusul keluarnya UU pengendalian tembakau atau 𝘍𝘢𝘮𝘪𝘭𝘺 𝘚𝘮𝘰𝘬𝘪𝘯𝘨 𝘗𝘳𝘦𝘷𝘦𝘯𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘢𝘯𝘥 𝘛𝘰𝘣𝘢𝘤𝘤𝘰 𝘊𝘰𝘯𝘵𝘳𝘰𝘭 𝘈𝘤𝘵 zaman Presiden Obama tahun 2009. Menyusul setelah itu Brasil (2012) dan Uni Eropa melalui “Tobacco Directive”, 2014.
Jadi, kejayaan kretek dalam merebut pasar rokok Indonesia terjadi bukan oleh 𝘱𝘳𝘪𝘷𝘪𝘭𝘢𝘨𝘦 𝘱𝘰𝘭𝘪𝘤𝘺 (kebijakan istimewa) yang diterima industri ini, melainkan karena kemampuannya bertahan dari gempuran badai regulasi. Terbukti, meski pemerintah telah menjadikan kretek sebagai “tamu”, namun industri kretek nasional berhasil mempertahankan dirinya sebagai “tuan” di rumah sendiri.
Di Jalan Kaliurang, Jogjakarta, yang dingin pada 23 Maret 2022 lalu, saya utarakan kondisi ini kepada 30-an peserta forum “Akademi Kretek” yang diadakan oleh salah satu perkumpulan kretek Indonesia.
Salam Kretek!
*Penulis Hasan Aoni, aktivis Omah Dongeng Marwah, Kudus