JAKARTA – Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, pemerintah telah menyiapkan rencana penyerapan gula hasil tebu petani jelang musim puncak produksi Gula Kristal Putih (GKP). Penyerapan akan dilakukan BUMN pangan, diharapkan bisa menjaga harga di tingkat petani.
Hal itu disampaikannya dalam Sarasehan Kemitraan Gula Nasional (SKGN) 2025 di Jakarta, pada Rabu (2/7/2025).
Arief mengatakan, puncak musim giling tebu tahun 2025 ini diprediksi jatuh pada bulan Juli dan Agustus.
Dia pun meminta kalangan swasta agar menyerap gula petani sesuai Harga Acuan Pembelian (HAP) yang telah ditetapkan pemerintah, yakni Rp 14.500 per kilogram (kg).
Pemerintah, sambungnya, telah menyiapkan anggaran untuk penyerapan gula petani saat puncak produksi nanti.
“Nanti BUMN pangan dalam menyiapkan Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) untuk gula, harus menyerap produksi petani kita. Kalau gula ini tinggal masalah anggaran saja,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis (4/7/2025).
“Sebentar lagi akan ada Rp 1,5 triliun untuk BUMN beli gula petani dengan harga minimal Rp 14.500 per kilo. Pemerintah sudah secara konsisten mengeskalasi harga gula petani. Apalagi Bapak Presiden Prabowo itu sangat cinta sama petani,” ujar Arief.
Dia membeberkan, stok CPP dalam bentuk gula pasir yang ada di BUMN pangan, per 1 Juli totalnya ada 46 ribu ton. Ini terdiri dari stok gula yang dikelola ID FOOD sebanyak 40 ribu ton dan Perum Bulog 6 ribu ton.
“Adapun produksi GKP menurut Proyeksi Neraca Gula Konsumsi yang disusun Bapanas menunjukkan pada Juli dan Agustus diestimasi menjadi puncak panen. Pada Juli produksi GKP dapat mencapai 602,2 ribu ton dan pada Agustus bisa meraih 615,4 ribu ton. Selanjutnya September sedikit mulai menurun ke 500,8 ribu ton,” terangnya.
Arief mengutip laporan Food Outlook Biannual Report on Global Food Markets yang dipublikasikan Food and Agriculture Organization (FAO) Juni lalu yang menyebut produksi gula Indonesia periode 2024/2025 diproyeksikan dapat mencapai 2,6 juta ton.
“Estimasi tersebut menjadi yang tertinggi kedua jika dibandingkan terhadap negara ASEAN lainnya, seperti Thailand yang 10 juta ton, Filipina 1,8 juta ton, dan Vietnam 1,1 juta ton,” kutipnya.
“Stok awal gula kita transfer ke 2025 itu 1,38 juta ton. Lalu perkiraan produksi 2,5 juta ton. Kemudian kemarin ada raw sugar diimpor sekitar 190 ribu ton, itu untuk CPP. Kebutuhan bulanan kita 236 ribu ton dan kita berharap stok akhir 2025 transfer ke 2026 nanti kembali dapat di sekitar angka 1,3 juta ton,” kata Arief.
Terkait harga, jelasnya, secara rata-rata nasional gula konsumsi di tingkat petani berdasarkan Panel Harga Pangan NFA, per 2 Juli berada di Rp 15.170 per kg.
“Ini masih berada 4,62 persen dari HAP yang Rp 14.500 per kg. Rerata harga terendah tercatat di Yogyakarta dengan Rp 14.500 per kg dan rerata harga tertinggi di Jawa Timur dengan Rp 15.450 per kg,” imbuh dia.
“Bulan Juni, Juli, Agustus, petani gula kita panen. Jadi supaya petani happy dan semangat nandur (menanam), BUMN harus serap, pabrik swasta juga tolong bantu serap, minimal harganya Rp14.500,” tegasnya.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam keterangan yang sama,Wamentan Sudaryono menegaskan komitmen pemerintah terhadap pemenuhan pangan domestik dengan mengutamakan produksi dalam negeri.
“Pemerintahan belum genap 8 bulan sudah pengumuman tidak impor beras, tidak impor jagung, dan semoga tahun ini kita tidak impor gula konsumsi. Pangan itu bagaimana menaikkan produksi. Kalau di tebu, rendemen, maka rendemennya supaya tinggi bagaimana? Ada banyak penelitian, ada banyak teknik,” ujarnya.
“Saya berharap APTRI (Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia), mulai dari pengusaha kecil sampai yang besar, semua kita harus bersatu gapai swasembada,” tambah Sudaryono.
Bersaing dengan Brasil
Di sisi lain, Arief mengatakan, Kementerian Pertanian (Kementan) dan Bapanas berkomitmen menyokong petani gula dalam negeri.
“Kebijakan HAP gula sejalan dengan upaya peningkatan produktivitas, supaya kita punya nilai kompetisi dengan gula luar negeri, seperti Brasil,” ujarnya.
“Jadi industri gula ini akan sangat menjanjikan. Bapak Presiden sepakat dukung produksi dalam negeri. Apalagi beliau mungkin setelah dari Arab Saudi, lanjut ke Brasil, nanti melihat etanol di sana bagaimana bisa berkembang. Sementara kondisi Indonesia mirip Brasil karena ada di sepanjang ekuator juga. Jadi kita pun pasti bisa melakukannya,” pungkas Arief. (Enrico N. Abdielli)