2024 sebentar lagi. Kalau nantinya dibutuhkan kepemimpinan baru, maka Presiden RI ke 8 diharap bisa menuntaskan berbagai hambatan warisan sejarah. Apakah sanggup? Christianto Wibisono, Ketua Pendiri PDBI, Penulis buku Kencan dengan Karma (KdK 2019) dan Kencan Dinasti Menteng (KDM 2021) menuliskannya untuk pembaca Bergelora.com. (Redaksi)
Oleh: Christianto Wibisono
KAMI, para anggota masyarakat Indonesia yang sadar akan tantangan eksistensial bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, setelah mencermati dengan saksama perjalanan sejarah 75 tahun Indonesia Merdeka dengan ini: menyatakan kesediaan untuk berdamai dengan sejarah malapetaka politik kabalistik, partisan dan sektarian masa lalu, agar masa depan tidak dibebani lagi dengan dendam kesumat angkara murka timbal balik dari dalam tubuh bangsa kita, dan bersatu hati, tekad dan pikiran berhimpun dalam FORUM TRANSFORMASI MASYARAKAT INDONESIA 1945-2045 disingkat FORMASI, dengan visi misi dan program sebagai berikut:
– Mengambil hikmah berkencan dengan kausalitas karma sejarah bangsa kita sejak 17 Agustus 1945, kami mendeklarasikan ROAD MAP CAPRES KE-8 RI MENSUKSESKAN INDONESIA SEABAD 2045 NOMOR 4 SEDUNIA DALAM KUALITAS.
Pelbagai malapetaka politik yang berkaitan dengan suksesi dan kudeta terselubung maupun pemberontakan terbuka dan pembunuhan politik serta kerusuhan dan kekerasan politik sejak:
1. “Surat Wasiat” Tan Malaka 30 September 1945, Bung Karno dan Bung Hatta “mewariskan” kepemimpinan Republik kepada Tan Malaka cs berujung terbunuhnya Tan Malaka oleh militer Republik Indonesia;
2. Peristiwa 3 Juli 1946, penculikan PM Sutan Sjahrir oleh kelompok Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, di mana politisi yang terlibat diadili dan hukum oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia;
3. Peristiwa rasialis terhadap penduduk keturunan Tionghoa di Benteng Tangerang, memicu penunjukan Mr Tan Po Gwan sebagai Menteri Negara urusan Peranakan oleh Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), dilanjutkan oleh Siauw Giok Tjhan di Kabinet Amir Sjarifuddin I-II (3 Juli 1947 – 11 November 1947 – 29 Januari 1948);
4. Pemberontakan PKI/Madiun 18 September 1948, dan eksekusi mantan PM Amir Sjarifuddin;
5. Pemberontakan DI/TII/NII 1949 oleh SM Kartosuwirjo, Daud Beureuh dan Kahar Muzakkar;
6. Pemberontakan APRA Westerling, Sultan Hamid di Bandung, Andi Azis di Makassar dan semi kudeta 17 Oktober 1952 serta “kudeta 14 Maret 1957”. Ketika kabinet Ali Roem Idham hasil pemilu 1955 bubar dan negara dinyatakan dalam keadaan darurat perang, dan Angkatan Darat menjadi Penguasa Perang Pusat (PEPERPU);
7. Pemberontakan PRRI/Permesta 15 Februari 1958, Nasionalisasi Oei Tiong Ham Concern (OTHC) 1961 menjadi BUMN PT Rajawali Nusantara Indonesia. Insiden rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, memakan korban keluarga anggota PPKI Yap Tjwan Bing;
8. Kudeta G30S PKI dan kontra kudeta Gerakan 1 Oktober 1965 Soeharto;
9. Pelanggaran HAM berat selama Orde Baru sejak Malari 1974, penyerbuan kampus ITB 1978 dan rentetan pelanggaran HAM seperti kasus Tanjung Priok, Talang Sari, penculikan aktivis, perkosaan dan penjarahan Mei 1998, Tragedi Semanggi I (13 November 1998), Tragedi Semanggi II (23 September 1999), adu domba SARA di Ambon 2000 dan Poso 2001 serta terbunuhnya aktivis buruh Marsinah, wartawan Udin (kasus Sum Kuning), penghilangan Wiji Tukul dan 13 aktivis serta terbunuhnya aktivis HAM, Munir 7 September 2004.
Adalah masa lalu yang pahit dan kelam yang tidak bisa kita lupakan, namun bisa kita maafkan, sambil beriman bahwa Tuhan yang Mahatahu dan memiliki hak prerogatif eksklusif untuk mengampuni mereka yang terlibat, tapi bertobat.
Mengakui, memohon maaf dan menyesali kejahatan yang mereka lakukan. Paralel dengan itu menghukum mereka yang tetap berkepala batu, tidak menyesali kejahatan mereka di masa lalu, atau malah tetap menyuarakan hasutan kebencian SARA, seperti tragedi berdarah Mei 1998.
Dalam mewujudkan hakekat Pancasila secara faktual dalam realitas politik abad XXI, yang menempatkan Hak Hak Asasi Manusia sebagai basis kemanusiaan global, maka kami menyarankan kepada Presiden Ketujuh RI untuk dalam masa jabatan kedua merampungkan visi dan misi ide pembentukan suatu Komite Rekonsiliasi Nasional melalui kemitraan Pemerintah dengan FORMASI.
Yang dengan jiwa besar menuntaskan proses penyesalan, pertobatan dan pemulihan silaturahim antar anak bangsa. Untuk membentuk suatu Nasion yang bebas dari belenggu dan beban dendam kesumat sejarah trauma dan stigma politik kabalistik Ken Arok sesama elite di masa lalu dengan program sebagai berikut:
1. Menyantuni para korban tindakan politik partisan pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aparat Negara/pemerintah RI sejak Proklamasi hingga terbentuknya KRN. Anggaran penyantunan dibebankan kepada APBN dengan pesan khusus diplomasi HAM tingkat tinggi oleh Pemerintah untuk memperoleh kompensasi dari superpower yang diuntungkan oleh malapetaka politik di Indonesia.
Konkretnya, Indonesia menjadi anti komunis dengan biaya nol sen dolar bahkan bunuh diri setengah juta sesama anak bangsa tahun 1965. Sementara untuk perang 20 tahun membendung komunisme di Vietnam (1955-1975), Amerika Serikat harus berkorban 50.000 jiwa dan menelan biaya 500 juta dolar AS harga berlaku waktu itu.
Dalam semangat Rawagede, Indonesia layak memperjuangkan kompensasi dari Amerika Serikat melalui Mahkamah Internasional The Hague karena keterlibatannya dalam riwayat kudeta dan kontra kudeta sejak PRRI hingga G30S dan epilognya;
2. Dalam semangat Pembukaan UUD untuk Memelihara Perdamaian Dunia, maka RI dapat berperanan dalam menindaklanjuti KTT Israel-Palestina, menuju harmoni sinergis ketiga unsur agama Samawi Abrahamik dalam perdamaian dunia berkelanjutan diawali dari Timur Tengah.
Semua pihak harus menghentikan tindak kekerasan yang mengarah kepada terorisme dan semua pihak tanpa terkecuali harus sepakat bahwa ancaman terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak bisa ditolerir dengan dalih apapun, dimanapun dan oleh kelompok agama, etnis ataupun negara bangsa apapun.
Kepada para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah mengakui, menyesali dan bertobat. Maka untuk menjamin tidak terulangnya perbuatan serupa, dikenakan sanksi moral etika: tidak eligible untuk menduduki jabatan public atau masuk kembali dalam jajaran penyelenggara negara.
Kita maju ke masa depan dengan semangat rekonsiliasi dan amnesti politik Nelson Mandela tanpa balas dendam kesumat berkepanjangan dalam politik domestik maupun dalam interaksi geopolitik kita;
3. Dalam semangat Rekonsiliasi dan Transformasi Nasional maka untuk mengatasi kemelut korupsi yang telah mencapai tingkat mengkhawatirkan dengan ICOR 6,7 atau sangat tidak efisien sedunia, kita mengusulkan ROAD MAP CAPRES KE-8 RI:
1. Memimpin diplomasi strategik Indonesia yang mengutamakan kepentingan Indonesia bebas dari kekurangan diplomasi payungan dan kegagalan diplomasi Nobel masa lalu dengan diplomasi jurudamai Timur Tengah, mengoreksi latah “Lebih Timteng dari Timteng ” dan lebih berperan pro aktif dalam menuntaskan prakarsa Abraham Accord menciptakan dunia yang damai dari konflik peradaban (Samuel Huntngton) dengan momentum era pasca pandemic.
2. Memanfaatkan leveraging diplomasi ekonomi dalam mendayung diantara dua karang BRI dan Indopac secara optimal untuk kepentingan Indonesia dalam leveraging multilateral Jakarta Beijing Washington Moskow, New Delhi agar perairan Nusantara (Laut Tiongkok Selatan) menjadi rest area dari tol Poros Maritim Dunia yang bersimpangan dengan BRI (Belt and Road Initiative) dan Indopac.
3. Melobby corporate global yang memparkir dana di ACU Singapura senilai US$ 1,4 triliun untuk menginvestasikan dana tersebut dalam system SWF (IFA) Indonesia. Menurut tabel MAS https://eservices.mas.gov.sg/statistics/msb-xml/Report.aspx?tableSetID=I&tableID=I.
13 nilai asset ACU pada Desember 2020 mencapai US$ 1.461.359
Dengan terobosan tuntas Rekonsiliasi dan Transformasi Nasional dalam ROADMAP CAPRES KE-8 RI tuntas, Insya Allah Presiden ketujuh akan berlanjut estafete berkesinambungan pada Presiden kedelapan untuk mewujudkan INDONESIA nomor 4 sedunia pada Seabad Indonesia 2045 sesuai harkat martabat sebagai bangsa terbesar ke-4 di dunia. Bukan hanya dari segi kuantitas melainkan juga kualitas manusia Indonesia unggulan abad XXI.