JAKARTA- Jaksa mendakwa Muhammad Kerry Adrianto Riza telah merugikan negara hingga Rp 285,1 triliun dalam korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina. Selain merugikan negara, jaksa juga mendakwa anak saudagar minyak Riza Chalid itu memperkaya diri hingga Rp 3,07 triliun.
Dalam bagian lain dakwaannya, jaksa juga menyebut bahwa Kerry menggunakan uang dari hasil korupsi untuk bermain Golf di Thailand.
“Terdakwa Muhamad Kerry Adrianto Riza dan Gading Ramadhan Joedo (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak) menggunakan uang sebesar Rp 176,39 miliar yang berasal dari pembayaran sewa Terminal BBM Merak untuk kegiatan golf di Thailand,” kata JPU membacakan dakwaannya pada sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada PN Jakarta Pusat, dikutip Bergelora.com.di Jakarta, Sabtu, 13 Oktober 2025.
Riza Chalid merupakan beneficial owners PT Tanki Merak dan PT Orbit Terminal Merak. Ia bersama anaknya melalui Gading Ramadhan Joedo, selaku Direktur PT Tangki Merak mendesak PT Pertamina menyewa terminal BBM (TBBM) milik PT Olitangking Merak agar bisa diakuisisi dan dijadikan jaminan kredit ke bank oleh Riza Chalid.
“Meskipun kerjasama sewa TBBM dengan pihak PT OTM tidak memenuhi kriteria pengadaan yang dapat dilakukan Penunjukan Langsung,” tulis dakwaan Jaksa yang dibacakan, Senin, 13 Oktober 2025.
Dalam dakwaan terhadap Kerry Adrianto Riza tersebut, terungkap bahwa Pertamina dan anak usahanya menjual solar murah kepada 73 konsumen industri tertentu selama periode 2018-2023.
“Penjualan solar di bawah bottom price tersebut mengakibatkan terjadinya kerugian keuangan negara sebesar Rp 9,415 triliun,” dikutip .
Dalam dakwaan tersebut, jaksa menyebut PT Pertamina pada periode 2018-2021 dan PT Pertamina Patra Niaga pada periode 2021-2023 memberikan harga di bawah harga jual terendah (bottom price) atas penjualan solar non subsidi kepada pembeli swasta tertentu.
Tidak hanya menjual di bawah harga jual terendah, Pertamina juga disebut menjual di bawah harga pokok penjualan (HPP) dan harga dasar solar bersubsidi.
Pemberian harga tersebut bertentangan dengan pedoman pengelolaan pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina (Persero) Nomor A- 001/F00000/2016-S9 Revisi ke 0 tanggal 13 Desember 2016. Aturan itu mengatur bahwa harga jual harus mempertimbangkan landed cost dan pocket margin.
Dalam istilah ekonomi, landed cost adalah total biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan suatu produk dari pabrik hingga sampai di tangan pelanggan, yang mencakup harga barang sendiri, biaya pengiriman, asuransi, bea masuk, pajak, dan biaya-biaya lain yang terkait dalam prosesnya.
Selain menjual solar di bawah harga jual, jaksa menemukan adanya pelanggaran lain yang dilakukan Pertamina. Yakni; tidak menyusun dan menetapkan pocket margin selama periode 2018 – 2019, tidak menyusun dan menetapkan pedoman yang mengatur mengenai proses negosiasi harga, serta menyetujui hasil negosiasi tanpa mempertimbangkan harga jual terendah.
Pertamina juga dituding tidak melakukan evaluasi secara periodik atas harga penjualan kepada setiap pelanggan, meskipun secara nyata harga penjualan kepada pelanggan di bawah harga jual terendah bahkan di bawah HPP dan harga dasar solar bersubsidi.
Soal penjualan solar murah ini juga termuat dalam dakwaan mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Jaksa menyebut Riva Siahaan menyetujui usulan harga jual BBM Solar/Biosolar kepada konsumen industri yang tidak mempertimbangkan Bottom Price (nilai jual terendah) dan tingkat profitabilitas sebagaimana diatur dalam Pedoman Pengelolaan Pemasaran BBM Industri dan Marine PT Pertamina Patra Niaga (PT PPN) No. A02-001/PNC200000/2022-S9.
“Terdakwa Riva Siahaan menandatangani kontrak perjanjian jual beli solar/biosolar kepada pembeli swasta dengan harga jual di bawah harga jual terendah yang pada akhirnya memberikan kerugian PT PPN,” kata Jaksa saat membacakan surat dakwaannya, Kamis, 9 Oktober 2025.
Jaksa juga menilai terdakwa Riva Siahaan tidak menyusun dan menetapkan pedoman yang mengatur mengenai proses negosiasi harga sebagaimana Surat Keputusan Direktur Utama No. Kpts-034/PNA000000/2022-S0 tanggal 10 Oktober 2022.
Akibat perbuatannya, terjadi kerugian keuangan negara dalam pengadaan impor BBM yaitu sebesar US$ 5,74 juta dan Rp 2,54 triliun dalam penjualan solar non subsidi selama periode tahun 2021-2023.
Riva Siahaan menyatakan keberatan atas dakwaan jaksa penuntut umum dalam perkara korupsi importasi BBM dan penjualan solar non-subsidi.
Menurut dia, apa yang didakwakan jaksa bukan suatu kesalahan dan sudah sesuai aturan. “Ada hal yang belum saya mengerti mengapa hal tersebut dituduhkan sebagai suatu kesalahan,” kata Riva di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Apa yang saya lakukan itu adalah merupakan bagian dari pekerjaan dan merupakan perintah jabatan.”
Ia mengatakan, apa yang dilakukannya itu adalah upaya pengelolaan portofolio bisnis untuk memberikan yang terbaik bagi PT Pertamina Patra Niaga. “Untuk itu saya akan mengajukan eksepsi yang selebih dan selengkapnya akan saya sampaikan dan juga nanti akan disampaikan oleh tim penasihat hukum,” kata Riva. (Web Warouw)

