JAKARTA – Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus SH, mengingatkan, semua pihak untuk tidak melibatkan dan jebak Presiden Indonesa, Joko Widodo.
Hal itu dikemukakan Petrus Selestinus, Selasa pagi, 14 September 2021, sehubungan desakan sejumlah pihak agar Presiden Joko Widodo, turun tangan menyelesaikan kemelut 57 karyawan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lulus Tes Wasasan Kebangsaan (TWK), 18 Maret – 9 April 2021.
“Terlalu kecil urusannya, soal praktik politisasi dilakukan komplotan Novel Baswedan mesti ditangani Presiden,” kata Petrus Selestinus.
TWK digelar Badan Kepegawaian Negerai (BKN), Bada Intelijen Negara (BIN), Badan Analisa Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia (BAIS TNI), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), serta Dinas Intelijen dan Dinas Psikologi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat.
Jakarta, Selasa, 31 Agustus 2021, MK tolak gugatan 75 karyawan dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), 18 Maret – 9 April 2021. Jakarta, Kamis, 9 September 2021, giliran MA tolak gugatan serupa.
TWK konsekuensi logis Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, tentang: KPK, dimana beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).
Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), dan Ombudsman, menilai TWK KPK melanggar ketentuan yang berlaku, sehingga harus dibatalkan.
Petrus Selestinus, menilai, desakan Ahli Hukum Themis Indonesia Law Firm & Dewi Keadilan dan Wadah Pegawai KPK, agar Presiden Jokowi mengambil alih permasalahan 57 Pegawai KPK nonaktif (Novel Baswedan dkk), akibat tidak lolos TWK, agar diangkat menjadi PNS pada KPK, tidak memiliki dasar hukum apapun.
Alasannya, karena permasalahan Novel Baswedan dkk, sudah dibawa ke ranah proses hukum dan bisa saja akan masuk dalam sengketa Perdata dan/atau Tata Usaha Negara dalam lingkup wewenang Badan Peradilan Tata Usaha Negara (TUN) yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun termasuk oleh Presiden Jokowi.
Kesalahan mendasar Novel Baswedan dkk, dalam menyikapi Keputusan Pimpinan KPK menonaktifkan mereka adalah tidak menggunakan Upaya Administratif guna mendapatkan perlindungan hukum akibat tindakan hukum Pejabat Tata Usaha Negara, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, tentang: Administrasi Pemerintahan.
Padahal Upaya Administrasi itu sebagai pintu awal penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, ketika tindakan Pejabat Tata Usaha Negara yang dinilai telah merugikan seseorang atau badan hukum perdata, bukan membawa sengketa TUN ke Presiden karena Presiden tidak boleh mengintervensi suatu permasalahan yang masih dalam proses sengketa.
“Inilah saatnya Pimpinan KPK segera mengeluarkan Surat Keputusan Pemberhentian secara definitif terhadap Novel Baswedan dan kawan-kawan, sehingga bagi yang tidak puas terhadap SK. Pemberhentian karena menimbulkan akibat hukum dan merugikan mereka, ya dipersilakan menuntut secara Tata Usaha Negara sesuai dengan kepentingan dan kerugian yang diderita,” kata Petrus Selestinus.
Dikatakan Petrus Selestinus, secara prinsip KPK dan BKN bekerja berdasarkan sitem norma, standar, kriteria dan prosedur dalm mengelola Administrasi pemerintahan. Karena itu ketika ada pihak-pihak yang merasa tidak sejalan lagi dengan kebijakan Pimpinan KPK, maka berdasarkan undang-undang.
Langkah yang ditempuh adalah mengunakan Upaya Administratif dan/atau Upaya Hukum melalui Badan Peradilan, bukan ke semua Komisi Negara atau ke Presiden.
Presiden menurut undang-undag ASN, merupakan penanggung jawab tertinggi dalam kebijakan pembinaan profesi dan manajemen ASN.
Ddengan demikian, maka desakan agar Presiden Jokowi mengambil alih tanggung jawab permasalahan Novel Baswedan dkk, sangat tidak relevan karena tanggung jawab Presiden hanya bagi mereka yang sudah berstatus ASN, sedang Novel Baswedan dkk. bukan ASN.
Permasalahan Novel Baswedan dan kawan-kawan, menurut Petrus Selestinus, sesungguhnya persoalan perdata biasa yang memerlukan penyelesaian dengan pendekatan Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Namun anehnya perkara Novel Baswedan dkk. ditarik terlalu jauh hanya untuk menekan Presiden melalui opini publik, agar Novel Baswedan dan kawan-kawan di ASN kan, padahal negara kita adalah Negara Hukum bukan negara Opini Publik,” ujar Petrus Selestinus.
Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, Hukum Administrasi Pemerintahan jelas mengatur tentang bagaimana langkah yang hendak diambil ketika suatu tindakan pejabat Tata Usaha Negara dinilai telah melanggar hukum dan merugikan bagi seseorang atau badan hukum perdata, yaitu menyerahkan penilaian atas sah tidaknya tindakan pejabat dimaksud pada putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Karena itu dalil sejumlah pihak dengan bersandar pada peringatan Presiden Jokowi agar tidak memberhentikan mereka yang tidak lolos TWK, tidaklah berdasar karena peringatan Presiden bukan perintah undang-undang.
“Melainkan sebuah sikap negarawan yang memberi spirit agar mereka yang ikut TWK harus lulus dan bisa jadi ASN di KPK, bukan sebaliknya tidak lolos, lantas minta diangkat menjadi ASN pada KPK,” ujar Petrus Selestinus. (Web Warouw)