JAKARTA- Perempuan Jaga Indonesia (PJI) berpendapat bahwa Demonstrasi Bulan Agustus 2025 adalah salah satu bentuk penggunaan hak untuk menyampaikan pendapat yang dijamin Konstitusi (Pasal 28E ayat (3) UUD 1945). PJI menyesalkan sikap negara yang merespon dengan menggunakan kekerasan yang brutal. Akibatnya, ada 10 orang tewas mengenaskan, dan satu orang berada dalam kondisi koma. Hal ini disampaikan Nursyahbani Katjasungkana dari Perempuan Jaga Indonesia kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (25/9).
PJI juga menyesalkan negara menolak membentuk tim investigasi atas tewasnya 10 korban bahkan membiarkan kepolisian melakukan penangkapan dan kriminalisasi terhadap orang-orang yang diduga terlibat aksi termasuk Delpedro Marhaen (Direktur Lokataru Foundation), Syahdan Hussein (admin akun Gejayan Memanggil), F (influencer), Muzaffar Salim (Lokataru), Saiful Amin (warga sipil di Kediri), L (Pekerja), G (ibu rumah tangga), Khariq Anhar aktivis mahasiswa asal Riau dan puluhan aktivis muda termasuk yang masih usia anak.
PJI ikut mengecam tindakan kepolisian berupa penganiayaan, penyiksaan, doxxing, dan penghilangan orang secara paksa sebagaimana dilaporkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia PJI sudah membuat 45 tuntutan, termasuk didalamnya tuntutan reformasi untuk aparat negara dalam penanganan aktivis pro demokrasi agar dilakukan sesuai hukum dan aturan yang berlaku.
PJI telah melakukan kunjungan terhadap para aktivis muda pro HAM dan Demokrasi yang ditahan di Polda Metro Jaya dan Bareskrim POLRI.
Dari hasil kunjungan PJI menemukan beberapa persoalan terkait pengabaian hak-hak para aktivis tersebut.
“Penangkapan yang sewenang-wenang tanpa dasar yang jelas: tanpa surat penangkapan, disertai ancaman, tanpa kesempatan untuk meminta penjelasan. Pemeriksaan juga dilakukan secara sewenang-wenang dan tak manusiawi: dilakukan tanpa didampingi pendamping hukum/pengacara, dilakukan di tengah malam (pukul 00.00 WIB) selama berjam-jam dan bahkan pada yang beberapa hari berturut-turut tanpa jeda,” jelas Nursyahbani.
Ia juga memprotes pemeriksaan terhadap korban perempuan bukan oleh polisi perempuan atau tidak didampingi polisi perempuan.
“Hal demikian berdampak pada kondisi fisik dan mental korban jatuh. hingga ada yang harus dibawa ke rumah sakit dan seorang ibu muda kehilangan hak reproduksi berupa hak menyusui bayi,” ujarnya.
Ia mengatakan larangan membawa dan mendapatkan alat tulis dengan alasan yang mengada-ada, yaitu kekhawatiran bahwa mereka akan mencoret-coret dinding penjara. Ini menjadi bukti bahwa negara juga sedang melakukan penyiksaan secara psikis kepada para korban.
“Menulis adalah salah satu cara mengurangi tekanan psikis apalagi mereka ditempatkan di ruang sempit berjejalan dengan tahanan lain dengan fasilitas yang kurang layak,” jelas Nursyahbani.
Ia juga menyoroti hak mendapatkan kunjungan dibatasi dan cenderung dipersulit tanpa alasan yang jelas. Para tahanan ditempatkan di lokasi yang berbeda, dengan aturan/kebijakan yang berbeda yangs ewaktu-waktu dan mendadak berubah.
“Jam dan durasi kunjungan juga diubah dan dibatasi menjadi semakin sempit sehingga tidak cukup waktu bagi keluarga, pengacara atau pendamping lainnya untuk bertemu dengan tahanan,” katanya.
Pembatasan Akses Tahanan Perempuan
Nurayahbani menyoroti juga perlakuan terhadap tahanan perempuan yang menghilangkan hak perempuan dan anaknya.
“Pembatasan akses tahanan perempuan untuk bertemu dengan anaknya yang masih menyusui. Pembatasan ini berdampak pada penghilangan hak anak untuk mendapatkan ASI (air susu ibu).
“Tidak disediakan pendampingan psikolog. Negara bukan hanya mengkriminalisasi mereka tetapi juga menghukum mereka dengan tekanan psikis tanpa ada pendampingan psikologis,” ujarnya.
ia juga melaporkan adanya tahanan yang tidak didampingi oleh pengacara independen sehingga berdampak pada
keraguan untuk mendapatkan keadilan karena tidak adanya jaminan bahwa pengacara akan berpihak pada kepentingan klien.
Penahanan terhadap anak yang diduga terlibat dalam aksi oleh aparat kepolisian merupakan tindakan yang bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak.
“Aparat tidak hanya gagal memperhatikan kerentanan anak, tetapi juga membatasi
kebebasan berekspresi mereka serta mengabaikan hak atas pendampingan hukum yang layak. Hal ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap kewajiban hukum nasional maupun standar internasional,” katanya.
Terus Melakukan Perburuan
Ia mengatakan negara ternyata terus melakukan perburuan terhadap warga sipil dengan alasan yang semakin mengada-ngada dan cenderung konyol atau di luar nalar. Di Jawa Timur, misalnya, warga sipil ditangkap dengan alasan memiliki buku tentang Marxisme yang ditulis oleh dosen filsafat Franz Magnis Suseno. Padahal buku ini memuat kritik terhadap Marxisme. Di Jawa Barat, penangkapan aktivis disertai dengan penyitaan buku-buku filsafat sebagai barang bukti.
“Republik ini sudah 80 tahun merdeka tapi rakyatnya belum juga merdeka untuk membaca, berpikir, dan menyampaikan pendapat,” tegasnya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, Perempuan Jaga Indonesia (PJI) menuntut polisi untuk menghentikan kriminalisaisi aktivis pro demokrasi karena hal tersebut inkonstitusional.
“Stop menangkapi rakyat karena kepemilikan buku sebagai sumber mencerdaskan bangsa karena hal tersebut juga inkonstitusional,”
Polisi diminta agar melepas semua tahanan terkait demonstrasi pada Bulan Agustus 2025 karena alasan mereka menyatakan pendapat benar adanya.
Ia mengingatkan bahwa Presiden Prabowo Subianto sudah menindaklanjuti Tuntutan 17/8, artinya alasan mereka berdemo dibenarkan dan dilaksanakan presiden.
“Polisi, agar menghormati dan melindungi hak maternity perempuan dan hak anak yang
berhadapan dengan hukum. Taati SOP polisi dalam menegakkan hukum: penangkapan, pemeriksaan, penahanan agar tanpa kekerasan dan sesuai HAM,” tegasnya.
Ia meminta agar 0residen agar fokus ke permasalahan struktural untuk mewujudkan keadilan sosial sebagaimana Tuntutan 17/8 dan Tuntutan 45 yang disuarakan PJI.
“Libatkan rakyat dan perempuan dalam mengelola Program MBG sehingga tidak merusak tujuan Kedaulatan Pangan, Stop PHK masal dan atasi pengangguran, Stop proyek-proyek mercusuar penyulut ketimpangan, atasi KKN yang melemahkan ketahanan dan keberlanjutan NKRI,” katanya.
Ia meminta agar presiden segera melaksanakan reformasi POLRI tanpa mengabaikan perspektif keadilan gender dalam reformasi tersebut. (Web Warouw)