JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meluncurkan pedoman kerja puskesmas yang baru, sehingga total menjadi enam jilid, sebagai upaya untuk mengikuti perubahan demografi, epidemiologi, serta perkembangan teknologi, di Indonesia dalam pemberian pelayanan primer.
Dalam siaran di Jakarta, Jumat, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan revitalisasi puskesmas penting mengingat perubahan penduduk Indonesia serta teknologi. Menkes menjelaskan empat buku pertama diciptakan pada 1974 dan direvisi sekitar tahun 1990 atau 1991.
“Itu didesain 50 tahun yang lalu, di tahun 1974. Karena pada saat itu populasinya kita muda. Sekarang populasi kita menua. Itu sebabnya pedoman kerja puskesmas dengan ILP (Integrasi Layanan Primer) ini mesti disesuaikan. Bukan diubah, disesuaikan karena profil demografinya berubah, profil epidemiologinya berubah,” katanya.
Adapun pada era itu, kata dia, lebih banyak balita yang dibawa ke puskesmas, sementara sekarang jumlah lansia yang datang untuk pelayanan di puskesmas lebih banyak.
Menkes mengatakan banyak program puskesmas untuk balita dan ibu hamil, seperti penimbangan bayi, pencatatan angka kematian ibu dan angka kematian bayi, namun tidak demikian dengan program untuk para lansia.
“Dulu banyak balita, ibu hamil. Sekarang banyak lansia-lansia seperti saya. Jadi tolong buatlah program-program buat lansia, seperti saya. Skriningnya apa, kalau darah tinggi kasih obat gratis lah sama puskesmas. Suruh olah raga yang banyak, supaya perutnya tidak gemuk, supaya tidak diabetes,” kata Menkes Budi.
Menurutnya, gaya hidup sehat semacam itu perlu diajarkan puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan primer supaya masyarakat tetap hidup sehat. Dalam kesempatan itu dia berharap bahwa inisiatif tersebut dapat menaikkan angka harapan hidup Indonesia, dari 72 tahun menjadi 80 tahun.
Dia juga menyebutkan penyesuaian ini juga merefleksikan perkembangan teknologi dan orientasi promotif dan preventif dalam pemberian pelayanan primer, contohnya ketika dulu memakai dacin untuk mengukur berat, kini memakai antropometri. Demikian pula pemeriksaan dengan stetoskop, ujarnya, dimana kini ada USG untuk tujuan itu.
Adapun pedoman kerja puskesmas terdiri dari lima klaster yang pertama manajemen, kedua kesehatan Ibu dan anak, ketiga kesehatan dewasa dan lanjut usia, keempat penanggulangan penyakit menular dan lesehatan lingkungan, kemudian kelima pedoman lintas klaster, serta satu pedoman kerja puskesmas pembantu (pustu).
Skrining Jantung di Puskesmas
Sebelumnya, kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan Kementerian Kesehatan mengatakan, pada 2025 mereka akan mulai mengembangkan pemeriksaan layanan EKG di Puskesmas, sebagai upaya memfasilitasi skrining guna penanganan penyakit kardiovaskuler.
“Kalau kemudian ada kelainan pada pemeriksaan kolesterol, bisa dilanjutkan untuk pemeriksaan EKG di Puskesmas,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam temu media daring dalam rangka Hari Jantung Sedunia di Jakarta, Senin (23/9).
Nadia mengatakan bahwa proses hingga seseorang terkena penyakit tidak menular itu cukup panjang.
“Sering orang lengah sehingga akhirnya menderita penyakit tersebut tanpa mengetahuinya karena tidak ada gejalanya,” katanya.
Dia menyebutkan, penyakit tidak menular dipicu oleh tiga hal, yakni faktor genetik, lingkungan, dan perilaku. Adapun penyakit kardiovaskuler, katanya, sangat dipengaruhi oleh perilaku seseorang.
Nadia mencontohkan, perilaku masyarakat yang menderita hipertensi tetapi meminum obatnya hanya pada saat hipertensinya naik serta perilaku konsumsi gula yang berlebihan.
Dia menyebutkan bahwa konsumsi makanan dan minuman manis dapat menjadi adiksi, yang pada akhirnya menyebabkan kadar gula darah naik.
Selain itu ia menjelaskan, perilaku lain yang meningkatkan risiko penyakit tidak menular yaitu berupa kebiasaan merokok atau vape, konsumsi gula, garam, dan lemak yang berlebihan, serta kurangnya aktivitas fisik.
Dia menyebutkan, mereka yang punya penyakit hipertensi, obesitas, dan diabetes melitus, apabila tidak terkontrol, akan menjadi penyakit jantung koroner, dan 50 persen daripada penderita penyakit jantung koroner akan mengalami henti jantung mendadak.
Oleh karena itu, katanya, edukasi serta skrining menjadi sejumlah pilar guna mengenal tentang pentingnya kesehatan jantung dan mengelola penyakit melalui deteksi dini, faktor-faktor resiko, maupun juga mengelola penyakit-penyakit komorbid yang bisa menjadikan seseorang terkena penyakit jantung.
Dalam kesempatan itu, dia merekomendasikan bagi penderita hipertensi untuk melakukan skrining dalam 6 bulan atau setahun.
Nadia menjelaskan, ada sembilan target pengendalian penyakit tidak menular secara global antara lain penurunan kematian akibat penyakit tidak menular hingga 25 persen pada 2025, penurunan konsumsi alkohol hingga 10 persen, dan penurunan konsumsi tembakau hingga 30 persen.
Apoteker Membina Beberapa Puskesmas
Kementerian Kesehatan juga mengupayakan agar satu apoteker dapat membina beberapa puskesmas lainnya, guna menangani kendala terkait pengadaan obat seperti yang terjadi di Puskesmas Sawit, Boyolali, Jawa Tengah.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono saat kunjungan kerja di Jawa Tengah dalam rangka Ekspose Transformasi Kesehatan, menemukan kendala pada mekanisme rujuk balik, salah satunya terkait pengadaan obat.
Menurut Dante, kendala pengadaan obat itu terjadi karena belum adanya apoteker di Puskesmas Sawit.
Dia mencontohkan, untuk pasien diabetes, ketika pasien dirujuk balik ke puskesmas maka obat diberikan oleh puskesmas. Namun, ujarnya, hal ini belum berjalan karena harus ada izin apoteker.
“Jadi, saya sudah menginstruksikan kepada tim dari Kemenkes untuk melakukan evaluasi, apakah dimungkinkan nanti surat izin praktek apoteker itu, satu apoteker mempunyai beberapa Puskesmas binaan,” ujar Dante Jumat (9/8).
āāāāāDengan demikian, menurut Dante, kewajiban Puskesmas untuk mengadakan obat non-kapitasi dari BPJS Kesehatan dapat terlaksana. Begitu pula dengan masalah lain, di mana setiap Puskesmas di setiap daerah memiliki masalah yang berbeda-beda.
“Masalahnya bisa kita bahas bersama melalui forum Rapat Kerja Kesehatan Nasional (Rakerkesnas). Nanti turunannya kita bahas di Rapat Kerja Kesehatan Daerah (Rakerkesda) di setiap daerah,” dia menambahkan.
Dia menilai, mekanisme satu apoteker membina beberapa puskesmas merupakan salah satu upaya dari integrasi layanan primer (ILP).
Dia menyebutkan, ILP penting diimplementasikan mengingat inflasi kesehatan jauh lebih tinggi daripada Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic Product (GDP).
Dia mengungkapkan, salah satu negara yang berhasil mengatasi inflasi kesehatan adalah Kuba karena melakukan edukasi, promotif, dan preventif pada pelayanan kesehatan. Dan Indonesia sedang melakukan strategi serupa melalui ILP.
“Kalau orang sudah diobati, mereka akan mengeluarkan biaya jauh lebih mahal daripada dicegah sebelum sakit,” katanya.
Dengan demikian, menurut Dante, edukasi dan promotif preventif harus ditekankan, dan upaya-upaya tersebut dimuat dalam dalam ILP. (Web Warouw)