JAKARTA – Pegiat media sosial, pelaku bisnis dan analis intelijen, Erizely Bandaro, mengingatkan jangan memilih Calon Presiden Indonesia pengganti Joko Widodo dalam Pemilihan Umum Presiden tahun 2024 dari figure pro Amerika Serikat (AS).
“Amerika Serikat sudah close file dalam percaturan ekonomi global. Ekonomi Amerikat Serikat sudah terpuruk dan diperparah lagi dengan ikut mensuplai senjata ke Ukraina untuk menghadang operasi militer khusus Rusia sejak Kamis, 24 Februari 2022,” kata Erizely Bandaro, Rabu, 11 Mei 2022.
Ini bisa dilihat dari The Federal Reserve menaikkan suku bunga acuan pada Rabu, 4 Mei 2022.
“Bursa bereaksi. Saham unggulan berjatuhan. Apple, rontok $220 miliar. Microsoft telah kehilangan sekitar US$189 miliar. Tesla menyusut US$199 miliar. Amazon jatuh sebesar US$173 miliar. Alphabet, (Google), jatuh sebesar US$123 miliar, Nvidia kehilangan US$85 miliar.”
“Meta Platforms induk Facebook telah kehilangan US$70 miliar. Kalau ditotal, market telah kehilangan USD1 triliun. Kejadian seperti ini sudah diprediksi sejak tahun lalu. Terutama dampak dari tapering atau kenaikan suku bunga,” kata Erizely Bandaro.
Sebelum invasi Rusia ke Ukrania, Erizely Bandaro sudah restruktur rekening Exchange Traded Fund (ETF)-nya. Ini berangkat dari pengalaman krisis 1998 dan 2008 mengajarkan banyak hal kepada Erizely Bandaro.
Ereizely Bandaro juga menulis di blog dengan judul “Prahara ekonomi, hanya masalah waktu”.
“Itu saya tulis pada bulan november 2021. Makanya minggu lalu terjadi killing field di Bursa, saya aman saja. Lantas apa penyebab sampai cepat sekali badai turnado itu datang. Apakah hanya karena kebijakan moneter Amerikat Serikat? Mari kita analisa sederhana ala pedagang sempak,” kata Erizely Bandaro
Pertama, terjadinya over capacity di semua sektor produksi dan manufaktur. Terutama sektor tekhnologi. Yang peningkatannya bukan berdampak kepada efisiensi tetapi justru kerakusan yang berlebihan.
Sehingga terjadi bubble value. Ini sebenarnya teori dasar keuangan. Semua tahu dampak dari over capacity yang berujung over value. Tetapi para otoritas tidak berdaya menghalangi proses bubble value ini.
Kedua, dampak dari over capaciity dan over value ini, memaksa para fund manager yang mengelola portfolio terjebak dalam bisnis ilusi. Memainkan harga demi menjaga aset agar tidak busuk, walau tahu sebagian besar aset yang mereka kelola sudah deadduck.
“Tidak ada hope. Ini ongkosnya mahal sekali. Mereka menarik uang dari berbagai sumber dengan berbagai skema dan cerita, sehingga uang tercatat melimpah dalam neraca tetapi tidak mengalir ke sektor produksi. Ini justru mendorong meningkatnya bubble value,” kata Erizely Bandaro.
Ketiga, paling bahaya adalah kemelimpahan sumber daya disektor moneter itu mendorong terjadinya inflasi. Maklum, sektor real tidak bertambah, uang terus bertambah. Yang jadi korban adalah publik dengan meroketnya harga barang di pasar.
Ini yang disebut dengan imbalance economy. Dampaknya sangat sistemik. Karena sudah menyangkut struktural. Proses recovery sangat sulit dan ongkosnya teramat mahal.
Kempat, para fund manager berkelas dunia sudah berpikir mendekati tahap closed file terhadap peran Amerikat Serikat sebagai pendorong pertumbuhan Product Domestic Brutto (PDB) dunia.
Asset no hope
“Bagi mereka mengelola aset berbendera Amerika itu udah no hope dan semakin lama semakin omong kosong. Udah engga waras. Apalagi utang terus meroket, Udah tembuh diatas 100% dari PDB. Sementara kebijakan paket ekonomi Presiden Amerika Serikat, Josef R Biden ditertawakan Kongres. Presiden Josef R Biden, sudah tidak ada reputasi lagi memberikan hope kepada rakyat,” ujar Erizely Bandaro.
Dengan empat hal tersebut, menurut Erizely Bandaro, Indonesia harus cerdas mengantisipasi perubahan global.
Hal ini sudah diperingatkan oleh riset World Economic League Table 2021 yang dilakukan oleh Centre for Economics and Business Research (CEBR) pada desember tahun 2021, bahwa Amerika Seerikat sudah tidak lagi bisa diharapkan.
“Posisinya sudah bergeser ke China. Tahun 2023 atau 2024, Amerika Serikat akan masuk lubang resesi. Jadi Indonesia setelah Joko Widodo dalam pemilihan umum Presiden tahun 2024 mendatang, harus orang yang bukan pro Amerika Serikat. Harus orang yang jago mensiasati ekonomi China,” ungkap Erizely Bandaro.
Bangkrut karena suka perang
Amerika Serikat adalah contoh sebuah negara mengalami kebangkrutan karena sudah perang.
Presiden Amerika Serikat, Josef R Biden, Rabu, 16 Maret 2022, mengumumkan kucuran dana US$1 miliar (Rp14,3 triliun) untuk memasok senjata dan drone ke Ukraina.
Jika sejarah menjadi patokan, pemerintah Amerika Serikat akan menanggung biaya perang di Irak dan Afghanistan selama seabad ke depan, seiring kesulitan yang dihadapi tentara dan keluarganya dalam menghadapi pengorbanan akibat pertempuran.
Analisis kantor berita Associated Press (AP) dikutip Voice of America (VOA), Selasa, 19 Maret 2013, mengenai catatan pembayaran negara menemukan bahwa pemerintah masih membayar biaya bulanan keluarga veteran Perang Sipil, 148 tahun setelah konflik berakhir.
Pada peringatan 10 tahun mulainya Perang Irak, lebih dari US$40 miliar (Rp388,3 triliun) setiap tahun dibayarkan sebagai kompensasi untuk para veteran dan keluarga yang ditinggalkan akibat Perang Spanyol-Amerika pada 1898, Perang Dunia I dan II, Perang Korea, Perang Vietnam, dua perang Vietnam dan konflik Afghanistan. Dan semua biaya tersebut naik secara pesat.
Senator Patty Murray mengatakan pengeluaran semacam itu seharusnya menjadi pengingat bangsa mengenai biaya keuangan perang berkepanjangan.
“Saat kita memutuskan berperang, kita harus secara sadar juga berpikir mengenai biayanya,” ujar Patty Murray, yang mewakili Partai Demokrat dari negara bagian Washington, dengan menambahkan bahwa bantuan keuangan untuk ayahnya, veteran Perang Dunia II yang mengalami cacat fisik, membantu memberi makan keluarganya.
Alan Simpson, mantan senator Partai Republik dan veteran yang ikut mengepalai komite defisit pemerintahan Barack Obama pada 2010, mengatakan para pemimpin pemerintah yang bekerja untuk membatasi utang negara harus menjamin keluarga para veteran membutuhkan uang yang mereka terima.
“Tanpa ragu, saya akan mengecek kekayaan orang-orang ini,” ujar Simpson.
Dengan meningkatnya jumlah pasukan yang bertahan dari luka perang akibat perbaikan dalam pengobatan dan teknologi di medan perang, biaya kompensasi kecacatan diperkirakan akan menjadi jauh lebih besar.
Ada empat program kompensasi yang mengidentifikasi penerima sebagai berikut: Veteran yang cacat; keluarga dari mereka yang ditinggal mati saat bertugas aktif atau dari kecacatan terkait tugas; veteran perang berpenghasilan rendah berusia lebih dari 65 tahun atau cacat; dan keluarga yang ditinggalkan veteran perang yang berpenghasilan rendah atau anak-anaknya yang cacat.
Perang Iraq, Afganistan dan Teluk Persia
Perang-perang di Iraq, Afghanistan dan konflik Teluk Persia pertama pada awal 1990an menghabiskan biaya $12 miliar per tahun untuk membayar kompensasi mereka yang meninggalkan tugas militer atau anggota keluarga yang ditinggal mati.
Kompensasi pasca-tugas ini telah mencapai $50 miliar sejak 2003, tidak termasuk pengeluaran biaya medis dan biaya lain. Biaya ini diperkirakan akan naik akibat beberapa faktor, termasuk krisis ekonomi yang membuat para veteran tidak bisa mendapatkan pekerjaan serta kesadaran yang meningkat akan trauma kepala serta kesehatan mental.
Untuk Perang Vietnam, kompensasi yang dibayarkan 40 tahun setelah AS mengakhiri keterlibatannya terus meningkat, menjadi di atas $22 miliar.
Perang Dunia I (Juli 1914 -11 November 1918), terus membebani pembayar pajak di Amerika Serikat $20 juta per tahun, sementara Perang Dunia II $5 miliar. Untuk Perang Sipil dan Perang Spanyol – Amerika, biaya total $50.000 per tahun.
Perang Dunia 1 (Juli 1914 -11 November 1918), melibatkan semua kekuatan besar dunia yang terbagi menjadi dua aliansi bertentangan, yaitu Sekutu (Britania Raya, Perancis, dan Rusia) dan Blok Sentral (Jerman, Austria-Hongaria, dan Italia) Pada akhir perang, lebih dari 17 juta orang terbunuh.
Congressional Research Service, menyebut, Amerika Serikat mengeluarkan dana sekitar USD334 miliar atau Rp4,705 triliun.
Biaya Perang Dunia II (1941 – 1945), menurut Layanan Penelitian Kongres Amerika Serikat, menelan biaya USD 4,1 triliun atau Rp57,759 triliun.
Untuk membantu membiayai perang, pajak penghasilan Amerika Serikat dinaikan ke tingkat tertinggi dalam sejarah. Untuk tahun 1944 dan 1945, jumlah pendapatan Amerika Serikat di atas USD200.000 atau Rp2 miliar, dikenakan pajak dengan tarif pajak marjinal 94 persen. Setelah perang, pajak diturunkan menjadi 91 persen.
Perang Korea (25 Juni 1950 – 27 Juli 1953), Amerika Serikat mengeluarkan dana USD341 miliar. Amerika Serikat dan Union of Soviet Socialist Republic (USSR) berhadap-hadapan selama Perang Korea, yaitu Amerika Serikat berpihak kepada Korea Selatan dan USSR berpihak kepada Korea Utara.
Perang Korea dan Vietnam
Perang Korea terjadi karena dua wilayah Korea yakni Selatan dan Utara usai Perang Dunia II ‘diduduki’ oleh dua negara adidaya.
Perang Vietnam. Perang Vietnam adalah kampanye militer yang diluncurkan oleh Vietnam Utara melawan Vietnam Selatan. Perang saudara Vietnam dimulai pada tahun 1959.
Amerika Serikat mendukung Vietnam Selatan, sementara Cina dan USSR mendukung Vietnam Utara. Pada tahun 1965, Amerika Serikat secara resmi memasuki perang sebagai tanggapan atas serangan Vietnam Utara terhadap kapal militer Amerika Serikat. Keterlibatan Amerika Serikat berakhir pada 1973. Perang berakhir pada 1975.
Perang Vietnam menelan biaya USD168 miliar atau Rp2,366 triliun. Biaya termasuk USD 111 miliar atau Rp1,563 triliun untuk operasi militer dan USD 28,5 miliar atau Rp401 triliun untuk bantuan ke Vietnam Selatan.
Kemudian ada kompensasi untuk veteran dan keluarga Vietnam masih menelan biaya USD 22 miliar per tahun. Kemudian, anak-anak veteran menerima tunjangan sampai usia 18 tahun. Jika anak-anak cacat, mereka menerima tunjangan seumur hidup.
Sejak 1970, manfaat pasca-perang untuk veteran dan keluarga menelan biaya USD270 miliar atau Rp3,802 triliun.
Amerika Serikat ikut andil dalam Perang Vietnam. Amerika Serikat mengeluarkan dana lebih dari USD 141 miliar atau Rp1,985 triliun di Vietnam Selatan pada tahun 1961 sampai perang usai. Kemudian, lebih dari USD7.000 atau Rp98 juta untuk masing-masing 120 juta penduduk Vietnam Selatan kala itu.
Perang Teluk. Perang Teluk Persia terjadi pada 1990 -1991. Menanggapi invasi Irak ke Kuwait pada Agustus 1990, Amerika Serikat dan negara-negara lain meluncurkan operasi militer yang dikenal sebagai Operation Desert Shield dan Operation Desert Storm.
Kuwait memang kewalahan melawan Irak. Alhasil Kuwait meminta bantuan Amerika Serikat. Dalam Perang Teluk, Amerika Serikat mengeluarkan dana USD102 miliar atau Rp1,436 triliun untuk biaya peperangan.
Biaya Perang dan aksi militer pasca peristiwa World Trade Center (WTC) di New York City, Amerika Serikat, 9 Nopember 2001. Amerika Serikat mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk perang dan aksi militer anti teror pasca peristiwa 9 Nopember 2001.
Institut Watson untuk Hubungan Publik dan Internasional di Universitas Brown, Amerika Serikat menghabiskan USD6,4 triliun dari pajak untuk perang dan aksi militer pasca peristiwa 9 Nopember 2001 di Timur Tengah dan Asia atau sejak 2001.
USD12 triliun 2019
Total lebih dari USD2 triliun dari seluruh pengeluaran Amerika Serikat selama tahun fiskal 2019. Pemerintah Amerika Serikat menghabiskan USD4,4 triliun selama tahun fiskal 2019 yang berakhir 30 September 2019, menurut Kementerian Keuangan, dilansir dari laman Consumer News and Business Channel, Kamis, 21 Nopember 2019.
Neta Crawford, menyebut USD6,4 triliun mencerminkan biaya di seluruh pemerintah federal Amerika Serikat di Afganistan, Iraq dan Suriah, karena dana perang Amerika tidak ditanggung sendiri Kementerian Pertahanan.
Neta Crawford menjelaskan, pasca perang 9 Nopember 2011 di Iraq, Afghanistan, Pakistan dan Suriah meluas ke lebih dari 80 negara, “menjadi perang global melawan teror”. (Aju)