Rabu, 30 Juli 2025

JANGAN SALAH HITUNG NIH..! Kepala BPS Minta Membaca Garis Kemiskinan Tak Hanya dari Angka Rp 609.000 

JAKARTA – Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti menegaskan garis kemiskinan tidak bisa hanya dibaca dari angka Rp 609.000 per kapita per bulan. Penjelasan ini disampaikan untuk menjawab kebingungan masyarakat yang menganggap angka tersebut terlalu kecil.

“Garis kemiskinan itu harus diterjemahkan dan dibaca sebagai garis kemiskinan rumah tangga,” ujar Amalia, Selasa (29/7/2025).

Amalia menjelaskan, satu rumah tangga miskin rata-rata terdiri dari 4,72 orang.

Karena itu, angka Rp 609.000 perlu dikalikan dengan angka tersebut agar mencerminkan kondisi riil sebuah keluarga miskin.

“Rp 609.000 itu per orang per bulan. Harus dikalikan dulu 4,72, sehingga kira-kira totalnya 2,9 juta rupiah. Itu baru bisa digunakan untuk melihat apakah sebuah rumah tangga tergolong miskin,” katanya.

Ia mengingatkan agar media dan masyarakat tidak keliru membaca angka tersebut secara harfiah sebagai pengeluaran individu harian.

“Kalau diterjemahkan langsung per hari jadi Rp 20.000 per orang, itu salah besar,” ujar Amalia.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa berada di atas garis kemiskinan tidak otomatis berarti seseorang tergolong mampu.

“Di atas garis kemiskinan itu yang kita sebut kelompok rentan miskin. Kalau tingkat pengeluarannya satu sampai satu setengah kali garis kemiskinan, mereka masih rentan. Belum bisa disebut sejahtera,” jelasnya.

Amalia juga menegaskan garis kemiskinan bersifat kontekstual. Setiap provinsi, bahkan kabupaten dan kota, memiliki garis kemiskinan berbeda-beda tergantung pada biaya hidup.

“Garis kemiskinan di DKI Jakarta pasti jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Yogyakarta,” katanya.

Meskipun BPS merilis angka nasional, angka tersebut hanya merupakan pendekatan rata-rata.

“Karakteristik tiap daerah beda-beda, begitu juga garis kemiskinannya. Jadi enggak bisa disamaratakan,” ujarnya.

Ditentukan dari Kebutuhan Pokok

Kepada Bergelora.com di Jakarta dilaporkan, dalam menentukan angka garis kemiskinan, BPS menggunakan dua komponen utama, yakni pengeluaran untuk makanan dan non-makanan.

Untuk makanan, BPS menggunakan standar minimal kebutuhan 2.100 kilokalori per orang per hari.

“Kalau non-makanan itu contohnya seperti pendidikan, perumahan, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya,” jelas Amalia.

Ia menambahkan, BPS menghitung nilai pengeluaran minimum dari komoditas-komoditas tersebut dan menetapkan batas garis kemiskinan berdasarkan nilai tersebut.

“Kita kuantifikasi nilainya. Ada batas minimumnya, lalu kita potong di situ,” katanya.

“Banyak yang keliru. Masa iya BPS menetapkan garis kemiskinan segitu? Padahal cara membacanya bukan seperti itu,” sambungnya. (Web Warouw)

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru