JAKARTA- Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya memiliki hak veto yang bisa digunakan untuk menolak pengesahan Rancangan Undang-undang Pilkada menjadi Undang-undang. Hal ini disampaikan pengamat konstitusi, Hermawanto kepada Bergelora.com di Jakarta, Minggu (28/9).
“Jika benar Presiden tidak setuju RUU Pilkada di sahkan maka seharusnya Presiden menggunakan Hak Veto-nya untuk menolak pengesahan RUU Pilkada tersebut,” ujarnya.
Menurut alumni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta ini menjelaskan bahwa ketentuan ini berdasarkan pada makna Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 dengan kata-kata ‘yang telah disetujui bersama’.
“Dan jika benar presiden menolak, itu artinya presiden atau pemerintah ‘tidak setuju dengan suara DPR, maka presiden berhak mem-veto rancangan undang-undang yang disahkan oleh DPR itu dan seharusnya RUU tersebut tidak berlaku sebagai undang-undang,” jelasnya.
Veto presiden menurutnya adalah menunjukkan bahwa lembaga kepresidenan tidak tunduk atau dibawah lembaga legislatif tapi sejajar, kedua lembaga adalah hasil dari pemilihan langsung.
“Konsep hak veto juga sejalan dengan konsep presidensial dimana kedudukan presiden sejajar dan bukan tunduk pada legislatif, apalagi presiden adalah hasil pemilihan langsung, maka presiden dengan kewenangannya sebagai pimpinan pemerintah atau eksekutif seharusnya demi kepentingan masyarakat, dan tata demokrasi yang lebih baik, menggunakan hak vetonya untuk menolak RUU Pilkada,” ujarnya.
SBY Kecewa
Sebelumnya, Presiden SBY menyatakan kekecewaannya atas hasil voting di DPR Kamis (25/9) lalu yang memenangkan Pilkada lewat mekanisme DPRD. Ia juga menyesali sikap Partai Demokrat yang memilih walk out dari ruang sidang sehingga komposisi voting memenangkan Pilkada lewat DPRD.
“Saya kecewa dengan hasil proses politik yang ada di DPR RI, meskipun saya menghormati proses itu sebagai seorang demokrat, tapi sekali lagi saya kecewa dengan proses dan hasil yang ada,” kata Yudhoyono.
Ia menegaskan kekecawan itu karena usulan Partai Demokrat di DPR RI terkait RUU Pilkada yaitu opsi ketiga pemilihan langsung dengan sepuluh syarat sehingga pelaksanaan pilkada langsung tidak lagi ada ekses negatif ditolak oleh Fraksi lain yang ada di DPR RI.
“Karena usulan opsi Partai Demokrat yaitu pilkada langsung dengan 10 perbaikan besar, dengan 10 persyaratan utama yang menurut Partai Demokrat yang terbaik tetap langsung dengan rakyat berdaulat kami selama 10 tahun banyak ekses, penyimpangan, maka pilihan langsung tetapi dengan perbaikan dan kemudian usulan itu ditolak, saya ikuti terus dan minta diperjuangkan habis habisan tetapi dipanja tidak tembus , lobi tidak tembus, dan dari laporan yang saya terima semua fraksi dalam lobi dan panja menolak usulan Partai Demokrat,” katanya.
Ditambahkannya,”dalam keadaan seperti saya sebetulnya berusaha tidak dilakukan voting terlebih meski saya diberitahu perkembangan situasi yang khas Fraksi Partai Demokrat walkout dan berita yang masuk pada saya mengapa walkout tidak diwadahi usulan Demokrat saya masih ingin ditunda votingnya, seseorang saya utuh untuk berkomunikasi langsung dengan pimpinan DPR RI yang berasal dari koalisi non parpol. Pada saat yang kritikal itu sebenarnya saya masih berharaps sekali lagi dilakukan lobi, kalau memang opsi itu ada yang mendukung berarti formulasi berubah pilkada DPRD dan pilkada langsung dengan perbaikan.”
“Dengan hasil ini, saya sampaikan ke rakyat Indonesia, Partai Demokrat rencanakan untuk ajukan gugatan hukum, dipertimbangkan mana yang tepat, ke Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi,” katanya. (Calvin G. Eben-Haezer)