JAKARTA– Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia, Petrus Selestinus, mengatakan, pernyataan mantan Wakil Presiden Republik Indonesia, 2004 – 2009 dan 2014 – 2019, Jusuf Kalla (JK), dalam perkembangan terakhir bisa memicu meluasnya intolerans, radikalisme dan ekstrimisme di Indonesia.
Hal itu dikemukakan Petrus Selestinus dalam Rumah Kebudayaan Nusantara Media Channel, Rabu, 23 Juni 2021.
Petrus Selestinus menanggapi JK di hadapan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) di Jakarta, Senin malam, 14 Juni 2021.
“JK berhentilah memprovokasi masyarakat. Sebagai tokoh nasional dari wilayah timur Indonesia, mestinya JK memberikan pernyataan yang menyejukkan, bukan memprovokasi masyarakat,” kata Petrus Selestinus.
JK secara terbuka, mengemukakan berbagai bentuk keterpurukan yang dialami umat Islam, tidak hanya di Indonesia, tapi juga hampir di semua penduduk yang mayoritas memeluk Agama Islam.
JK dalam menyampikan cemarahnya secara virtual, mengatakan, “Dari sisi ekonomi apabila ada 10 orang kaya, maka paling tinggi 1 orang muslim. Tapi apabila 100 orang miskin, setidaknya 90 umat yang miskin orang Islam. Jadi pincang keadaan ekonomi kita.”
“Seharusnya tidak perlu terjadi kepincangan seperti itu. Karena infrastruktur pendidikan tersedia luas dan lebih baik. Jadi yang kurang itu apa? Ya semangat,” ujar JK.
Kepada Bergelora.com dilaporkan,.pada dasarnya tujuan JK itu memacu umat Islam agar harus lebih bersemangat untuk berkompetisi. Tetapi sebagai tokoh masyarakat, yang bukan hanya tokoh umat islam tetapi juga tokoh nasional, seharusnya tidak perlu membandingkan islam dan non Islam.
Perbedaan mayoritas ketimpangan kaya miskin itu terjadi bukan karena faktor agama tetapi faktor mental.
Kemunduran umat islam bukan hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia. Dari 50 orang terkaya di Indonesia, muslim hanya 8 orang saja. Di dunia, Data UBS juga memperlihatkan, tahun 2020 jumlah miliarder berkelas dunia ada 2.189 orang, dan orang Islam hanya 7 orang saja.
Bagaimana mau bersaing? Penguasaan sains saja rendah sekali. Dari total 892 peraih hadiah Nobel sejak tahun 1901, Yahudi cuma sekitar 15 juta jiwa saja (sekitar 0,2% populasi dunia), menghasilkan 201 peraih Nobel atau sekitar 22,5%). Peraih Nobel dari kelompok “non-agama” sekitar 10,5%.
Umat Kristen yang paling banyak memproduksi peraih Nobel sekitar 65,4% (427 orang). Umat Islam dengan populasi konon sekitar 1,5 milyar saat ini, hanya memproduksi sekitar 1,4% saja atau sekitar 12 orang peraih Nobel. Makanya jangan kaget, bila sains tertinggal ekonomi juga tertinggal.
Petrus Selestinuus, menilai, JK kembali melontarkan pernyataan yang bermuatan rasis dan diskriminatif, karena mengandung unsur diskriminasi ras dan etnis.
“Pernyataan JK telah mengancam persatuan dan merusak kohesivitas sosial, di tengah upaya sekelompok masyarakat yang hendak merusak kohesi sosial masyarakat,” ujar Petrus Selestinus.
Pernyataan JK di hadapan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Eric Thohir, bisa membangkitkan kembali sentiment anti minoritas dan terlebih lagi anti etnis Tionghoa di Indonesia yang menjadi pemicu kecemburuan sosial berkepanjangan.
Pernyataan JK mengingatkan memori publik, ketika selaku berbicara di hadapan peserta Tanwir Muhammadiyah di Ambon, 24 Februari 2017, bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia sudah cukup membahayakan karena perbedaan agama antara yang kaya dan miskin.
Orang-orang kaya adalah warga keturunan yang beragama Konghuchu maupun Kristen, sedangkan, orang yang miskin sebagian besar penganut Islam dan ada juga yang Kristen.
Pembedaan seperti ini tidak dibenarkan, karena orang mau kaya atau menjadi miskin, bukan pada soal beda agaman dan sukunya tetapi pada mau bekerja keras dan trampil atau tidak.
Pernyataan JK, jelas provokatif dan berlawanan dengan kewajibannya selaku Warga Negara.
“JK seharusnya tidak boleh membuat narasi yang rasis, diskriminatif dan manipulatif seolah-olah keadaan ekonomi masyarakat yang terpuruk atau pincang, penyebabnya adalah orang-orang kaya beragama Konghuchu, Kristen dan Tionghoa,” kata Petrus Selestinus.
Meskipun pernyataan JK itu, dengan dalil, memotivasi agar persoalan kesenjangan teratasi dengan cara mendorong umat Islam untuk menjadi pengusaha, tetapi pernyataan JK itu sudah masuk dalam kategori tindakan diskriminasi ras dan etnis, yang dilarang undang-undang.
Pernyataan JK, terkesan menunjukan kebencian kepada kelompok lain, karena perbedaan ras dan etnis, dengan cara melontarkan kata-kata rasis di tempat umum atau tempat lainnya sehingga muda didengar orang lain.
Pernyataan yang demikian, dapat dikualifikasi sebagai tindak pidana sesuai pasal 16 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008, tentang: Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Padahal selama kurang lebih 20 tahun JK duduk dalam pemerintahan, JK seharusnya tahu sebab-sebab kegagalan Pemerintah mewujudkan pemerataan, memperkecil kesenjangan, dan lain-lain.
“JK justru mencari kambing hitam menyalahkan kelompok lain yang dengan kerja keras, kompeten, mencapai sukses atas keringat sendiri, tidak atas dasar perbedaan agama, suku dan golongan,” ungkap Petrus Selestinus.
Meskipun selama ini JK melontarkan sindiran tentang keberhasilan ekonomi sekelompok warga masyarakat keturunan (Tiongjoa, Konghuchu, Kristen).
Namun JK selalu berdalil bahwa sangat dekat dengan pengusaha keturunan Tionghoa di Makasar.
Bahkan, sahabatnya, Sofjan Wanandi juga keturunan Tionghoa dan Kristen yang pagi, siang, sore, malam selalu bersama JK.
JK seharusnya memahami bahwa adanya diskriminasi ras dan etnis dalam kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi hubungan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan bermata pencaharian di antrar warga negara yang pada dasarnya selalu hidup berdampingan.
“Karena itu JK sebaiknya berhentilah membuat narasi yang berpotenai merusak kohesivitas soal masyarakat yang pada gilirannya akan menyulitkan upaya Pemerintah merawat kebhinekaan dan menjaga kohesi sosial dalam masyarakat yang berangam,” ujar Petrus Selestinus. (Aju)