JAKARTA- Kalau negara mau berhasil mengundang investasi, maka negara dan pemerintah harus berkaca dan bertindak dengan membersihkan dirinya sendiri dari pejabat dan birokrat yang korup. Pemerintahan Jokowi selalu menjadikan tuntutan buruh sebagai ‘kambing hitam’ atas minimnya investasi yang masuk ke Indonesia. Hal ini ditegaskan Sarinah dari Komite Solidaritas Perjuangan Buruh (KSPB) kepada Bergelora.com di Jakarta, Senin (23/9).
“Padahal, keengganan investasi asing masuk karena birokrasi di Indonesia yang berbelit-belit, cenderung korup dan banyak pungli. Sebagaimana yang juga dibenarkan oleh riset Bank Dunia baru-baru ini,” ujarnya.
Ia melaporkan, mental koruptif ini juga merambah ke sektor swasta dalam bentuk maraknya rekrutmen tenaga kerja berbayar atau bukan seleksi yang jujur.
“Penyelewengan dana perusahaan, sampai dengan gratifikasi berupa biaya sogokan entertainment untuk mendapatkan proyek yang mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat,” ujarnya.
Ketika banyak terjadi kebocoran akibat korupsi ditubuh birokrasi maupun di sektor swasta, Sarinah menjelaskan,–yang paling mudah,– adalah menyalahkan pihak yang paling lemah, yakni buruh. Untuk menutupi kerugian atau rendahnya marjin keuntungan perusahaan, maka hak-hak buruh yang hanya sedikit itulah yang lagi-lagi dikorbankan.
“Oleh karena itu, kami menolak tegas revisi Undang-Undang Ketenaga kerjaan versi pengusaha-Jokowi-Hanif, karena hanya akan semakin menyengsarakan buruh di masa depan,” ujarnya.
Hukum materiil maupun hukum acara ketenagakerjaan seharusnya menyadari posisi buruh yang lemah secara sosiologis karena buruh hanya sebagai pemilik tenaga dan bukan pemilik modal, sehingga harus diperkuat. Hukum seharusnya memperkuat pihak yang lemah, bukan memperkuat pihak yang sudah kuat.
“Perumusan aturan ketenagakerjaan yang baru memerlukan diskusi yang lebih panjang di masa depan yang pada prinsipnya harus berdasarkan keadilan, penghapusan segala bentuk eksploitasi terhadap manusia dan menjaga lingkungan hidup,” tegasnya.
Menurutnya, atas desakan pengusaha, pemerintahan merencanakan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan demi kepentingan mengundang lebih banyak investasi.
“Sudah dipastikan semangat Presiden Jokowi dan Menaker Hanif Dhakiri melakukan revisi UU ini akan mengakomodir kebijakan upah murah dan perluasan pasar tenaga kerja fleksibel di Indonesia,” ujarnya.
Sarinah menjelaskan revisi ini merupakan kelanjutan dari Peraturan Pemerintah (PP) Pengupahan No. 78/2015 yang telah disahkan sebelumnya yang mengakibatkan kenaikan upah setiap tahunnya ditetapnya pemerintah berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi versi Badan Pusat Statistik.
“Sedangkan, suara kaum buruh tidak lagi didengarkan meskipun usulan upah yang diajukan berdasarkan survei kebutuhan hidup riil buruh di pasar-pasar,” ujarnya.
Revisi Oleh Pengusaha
Beberapa usulan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diajukan oleh pengusaha menurut Sarinah diantaranya kebijakan pengupahan yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan, perluasan outsourcing, pengurangan hak atas pesangon, fleksibilitas jam kerja, perluasan tenaga kerja asing dan soal serikat pekerja/buruh yang jelas akan semakin dibatasi gerakannya.
“Menaker Hanif Dhakiri telah jelas-jelas mengatakan Undang-Undang ini seperti kanebo kering yang kaku, maka jelaslah semangat revisi ini akan banyak mengakomodir fleksibilitas,” ujarnya.
Padahal menurut Sarinah, selama ini Undang-Undang Ketenagakerjaan telah cukup banyak mengakomodir fleksibilitas tenaga kerja seperti penggunaan tenaga kerja kontrak (PKWT) dan harian, outsourcing tenaga kerja di lima bidang pekerjaan dan pemborongan pekerjaan, serta penggunaan pekerja magang yang semakin diperluas melalui Permen No. 36/2016. Sementara itu, UU Ketenagakerjaan dibuat tidak bergigi dengan minimnya pengaturan sanksi dan penegakannya.
“Misalnya saja, sekalipun buruh telah memperoleh nota pengawas yang menyatakan pengusaha wajib memenuhi hak buruh, tapi nota pengawas itu tidak dapat dieksekusi karena tidak ada aturan untuk itu. Tetap saja buruh harus berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit, serta harus memiliki keterampilan beracara di pengadilan,” katanya.
Belum lagi menurutnya, di tingkat aparat penegakan hukum yang cenderung tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Meskipun sudah ada Permenaker No. 33/2016 tentang Tata Cara Pengawasan, tetap saja masih banyak pelaporan buruh ke pengawas, diabaikan.
“Pun buruh sebetulnya menang secara hukum, PHI cenderung memenangkan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang diajukan oleh pengusaha, dengan alasan disharmonis. Bagaimana bisa kita mengharapkan buruh Indonesia memiliki produktivitas tinggi, kalau selama ini, buruh dididik bekerja bukan berdasarkan profesionalitas, tapi perasaan suka atau tidak suka dari atasannya,” jelasnya. (Web Warouw)

