PALU- Menanggapi situasi Nasional pasca berlangsungnya ‘Pesta demokrasi’ yang kurang kondusif, ditandai dengan adanya gerakan ‘People Power’ di sejumlah daerah khususnya di kawasan ibu kota Jakarta untuk menolak hasil Pemilu 2019 dan menggunakan cara-cara in-konstitusional dengan gerakan massa secara besar-besaran dan mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan.
“Bahwa kekuatan politik Cendana telah mendalangi aksi-aksi kekerasan dan kerusuhan ini, tangkap dan adili…!!!,” tegas Koordinator Jaringan Nasional Mahasiswa Indonesia (JNMI) Sulawesi Tengah.
Jaringan Nasional Mahasiswa Indonesia (JNMI) Sulawesi Tengah terdiri dari mahasiswa dari Stisip Panca Bhakti, Universitas Tadulako Palu, Universitas Al khairaat, IAIN Datokarama BB Palu, STIE Panca Bhakti, STMIK Bina Mulya dan Universitas Muhammadiyah Palu.
Maka mahasiswa yang terdiri dari berbagai kampus di Kota Palu bersama Jaringan Nasional Mahasiswa Indonesia (JNMI) menyatakan sikap mengecam tindakan-tindakan in konstitusional yang berakibat fatal pada pemdiskreditan hukum dalam berbangsa dan bernegara serta memicu terjadinya konflik horisontal yang telah terbukti menelan korban jiwa.
“Kami juga menolak segala bentuk aksi massa (people power) dengan segala ‘bumbu-bumbu’ provokasi kepada masyarakat agar melakukan tindakan berlawanan hukum yang kita junjung dan hormati bersama,” tegasnya.
Hadirnya situasi perpecahan yang menurutnya sengaja diciptakan oleh oknum-oknum tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu yang dapat merusak tali persaudaraan antara anak bangsa harus segera di sudahi.
“Maka dipandang perlu kami untuk menyerukan untuk bersama-sama menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan,menghormati hukum dan aturan dalam berbangsa dan bernegara dan melawan segala bentuk provokasi pemecah belah bangsa.Dalam hal proses yang berkaitan dengan Pemilu biarkan proses hukum dalam sengketa Pemilu tetap berjalan dan diselesaikan dengan cara konstitusional,” tegasnya.
Ia juga mendukung upaya pengamanan dari TNI-Polri terhadap segala bentuk gerakan yang dapat mengganggu stabilitas Nasional dan mengganggu harmoni kahidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara.
“Bagi kami, Kekerasan dan Kerusuhan adalah Biadab,” tegasnnya.
Aksi menolak hasil Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 oleh mereka yang menamakan diri “gerakan nasional kedaulatan rakyat” pada hari Senin malam, 21 Mei 2019 telah berkembang menjadi kerusuhan massa. Kerusuhan berlanjut pada Selasa dini hari, 22 Mei 2019 hingga malam hari.
“Aksi kelompok pendukung Prabowo Subianto tersebut betul-betul berubah menjadi anarkhi jalanan. Massa yang menolak pembubaran aksi, mengamuk dan membakar puluhan kendaraan roda empat yang diparkir di Markas Brimob, Petamburan, Jakarta Barat,” paparnya.
Pernyataan Titiek Soeharto sebagaimana disampaikan di dalam video yang viral di media sosial, bahwa aksi akan berlangsung damai tidak terbukti.
“Hal ini menguatkan dugaan, bahwa aksi damai yang diserukan politisi Cendana itu hanya kamuflase belaka. Sebab sejak beberapa hari terakhir telah beredar seruan di media sosial agar mereka yang mau mengikuti aksi membawa benda dan senjata yang bisa digunakan untuk melakukan kekerasan. Selain menyita kendaraan yang berisi batu – batu untuk dilempar kepada petugas, aparat kepolisian juga menangkap pelaku lengkap dengan barang bukti dari senjata tajam hingga senjata api otomatis yang merupakan senjata built up,” katanya.
Tak ayal, korbanpun berjatuhan. Peristiwa kekerasan di sekitar Gedung Bawaslu RI yang meluas ke sejumlah lokasi di Jakarta itu telah mengundang keprihatinan banyak pihak, termasuk para pengurus organisasi kemahasiswaan intra kampus se-Indonesia.
“Sungguh kejadian kerusuhan itu telah menghapus citra masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan santun oleh masyarakat dunia. Perilaku anarkhi tersebut juga menunjukkan kepatuhan para pelaku kepada hukum telah berada pada titik nadir,” katanya.
Padahal kepercayaan pada hukum sangat penting untuk menjaga ketertiban sosial, dan menjamin rasa aman, serta untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat. Itu sebabnya, subtansi Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945 sebagai Konstitusi Dasar menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara penganut asas hukum (rechtsstaat) bukan kekuasaan (machtsstaat).
Langkah penolakan hasil perhitungan suara Pilpres pada Senin malam, 20 Mei 2019, yang diikuti aksi demonstrasi anarkhi oleh “g-n-k-r” di satu pihak merupakan upaya delegitimasi terhadap Komisi Pemilihan Umum R.I. (KPU R.I.), dan pihak lain juga mengabaikan asas rechtsstaat yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebab sebagai institusi demokrasi penyelenggara Pemilu, KPU RI telah bekerja secara independen berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu,” ujarnya
Kepada Bergelora.com dilaporkan, delegitimasi terhadap KPU RI, dan pengabaian hukum, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sangat berbahaya, dan bisa memicu perpecahan karena ketidakpatuhan terhadap hukum.
“Untuk mencegah hal itu, maka kami para Pengurus Organisasi Kemahasiswaan Intra Kampus se-Indonesia menyatakan mengutuk keras aksi kekerasan dan kerusuhan yang sedang terjadi di Jakarta,” katanya.
Ia juga menyerukan kepada semua pihak menjaga persatuan dan keutuhan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45. Semua pihak menghentikan aksi kekerasan dan kerusuhan yang sedang terjadi (Atha Mahmud)

