Oleh: Dr. Maruly H. Utama *
KETIKA bermain catur kerap mendengar istilah check mate – skak mat untuk
menggambarkan situasi yang genting, penyakit yang tidak ada obatnya kecuali maut. Pada situasi ini raja telah terperangkap muslihat musuh. Biasanya raja akan mengorbankan bidak lainnya hingga menjadi bulan-bulanan sampai langkah terakhir membuatnya bertekuk lutut: menyerah.
Kira-kira ilustrasinya demikian untuk menggambarkan situasi yang sedang di alami KPU. Tidak ada jalan keluar selain mematuhi Putusan PN Jakpus untuk menunda Pemilu hingga tahun 2025. Hadiah dari Tuhan bagi demokratisasi. Seperti buah simalakama, dimakan
takut dimutilasi, tidak dimakan jantung copot.
Mekanisme hukum memang memberikan ruang untuk banding. Tapi apapun hasil banding rakyat tidak menunggunya. Putusan MA atau PK untuk menguatkan putusan PN Jakpus yang diharapkan rakyat. Selalu ada cara jika Tuhan berkehendak.
Dalam poadcast (AFU) Akbar Faizal Uncensored Ketua Umum Prima Agus Jabo Priyono yang rambutnya rajin disemir dengan warna favorit putih menjelaskan secara detil. Bung JB mengatakan
berulangkali bahwa Prima hanya ingin lolos jadi peserta Pemilu.
Mengapa mereka ketakutan pada Partai Rakyat Biasa?#partaiprima #PemiluJujur #minggu #nakes #besoksenin #BPJSuangRakyat pic.twitter.com/3qyKmSLW1s
— Bergelora.com (@bergeloralah) March 19, 2023
Persoalan muncul ketika KPU menyatakan TMS (Tidak Memenuhj Syarat) di beberapa Kabupaten Papua tanpa bisa dibuktikan dan tanpa penjelasan. Sementara di Sulut, sejumlah partai tidak memenuhi syarat diloloskan dan kasusnya sedang berproses di DKPP berbarengan dengan kasus skandal seks wanita emas.
Putusan Bawaslu yang meminta verifikasi kembali titik TMS diabaikan KPU. Selanjutnya Prima ke PTUN yang menyatakan belum bisa memproses pengaduan karena belum ada keputusan KPU. Keputusan KPU hanya menyebutkan nama partai yang MS (Memenuhi Syarat) dan tidak menyebutkan partai yang TMS. Ini yang menjadi alasan PTUN menolak mengadili gugatan Prima.
Kebuntuan jalan keadilan melalui saluran demokrasi seperti Bawaslu dan PTUN membuat Prima mencari instrumen keadilan dan menemukan celah gugatan PMH (Perbuatan Melawan Hukum) yang dilakukan oleh KPU terhadap hak sipil dan politik Prima.
Perintah PN Jakpus kepada KPU untuk menghentikan sisa tahapan Pemilu adalah jalan agar hak politik Prima untuk ikut Pemilu dapat dilakukan secara konstitusional. Prima telah membuktikan bahwa KPU telah melakukan kecurangan sejak awal.
Putusan PN Jakpus adalah bukti yang tidak terbantahkan. Negara memang tidak boleh kalah, tapi apa yang harus dilakukan jika KPU sudah check mate? DPR tidak boleh diam seperti bingung tidak tahu apa yang harus dilakukan mengingat pokok perkara akibat ulah orang-orang yang dipilih DPR menjadi Komisioner KPU.
Semua Berkepentingan
Politik memang menggoda. Saudagar, artis, pelawak, bahkan “anak mami” boleh berpolitik. Entah bagaimana kemampuannya mengagregasi kepentingan rakyat. Jika pelawak dan anak mami saja ada kepentingan apalagi media, termasuk sebuah media nasional yang sejak tahun 2006-2007 tidak pernah mau saya baca lagi. Karena sudah gak mutu. Seperti membaca selebaran. Penuh intrik dan provokatif.
Seorang teman mengirimkan link berbayar media tersebut yang menulis tentang intelijen dan Partai Prima. Saya malas membaca apalagi harus bayar. Link itu saya teruskan via WA pada seorang kolega, praktisi komunikasi media diiringi pertanyaan kenapa media menulis seperti itu?
Jawabannya mengejutkan: Media itu nyari duitnya memang begitu. Mendapat jawaban itu saya terdiam lama sambil berpikir duit siapa yang akan diambil
media itu? Tidak ada orang bea cukai atau dirjend pajak yang menjadi kader atau. simpatisan Prima.
Sambil terus berpikir saya menghubungi teman wartawan minta mengirimkan berita
lengkap yang ditulis media itu.
Dari awal isi beritanya sudah tendensius. Framing memang dibolehkan sepanjang tidak manipulatif. Tapi dengan mengesankan petinggi Prima saat di PRD berhubungan dengan intelijen ditahun 96-98 itu keliru. PRD itu partai yang hanya berusia 5 hari. Deklarasi 22 Juli crackdown 27 Juli 96 lalu menjadi partai terlarang.
Pimpinan Partai ditangkap dan dipenjara. PRD terus bergerak secara bawah tanah dengan aturan organisasi yang ketat. Jika ada kader dengan indikasi yang mencurigakan terkait hubungan dengan pihak luar cepat dilakukan evaluasi. Beberapa kawan tidak dilibatkan lagi dalam kerja bawah tanah dan dikucilkan.
Jika saat itu sudah berhubungan dengan
intelijen pasti PRD tau jadwal penculikan sebagaimana pengguna narkoba di klub malam tau jadwal razia.
Pasca tergulingnya Orde Baru, disadari bahwa selain rakyat yang menunggangi PRD banyak kelompok lain yang mengambil riba politik dari gerakan.
Demokrasi sudah dimenangkan dan PRD menjadi partai terbuka, semua menjadi teman PRD.
Tabu Berteman Dengan Inteljen? Pada tahun-tahun itu, 2001-2002 secara personal saya sedang mesra-mesranya dengan Deputi Operasional Kapolri Komjen Pol. Sjachroeddin ZP yang sebelumnya menjabat Kapolda Jabar.
Jawaban media itu nyari duitnya memang begitu saya temukan ketika media itu menuliskan tentang Jenderal Gautama, Ketua MPP Prima. Cerita Jenderal Gautama yang berteman baik dengan Kepala BIN yang sering memberi salam tempel rupanya menjadi peluang bagi media ini untuk dapat juga. Apalagi menjelang puasa dan lebaran nanti. Saya kira hanya wartawan bodrek di daerah terpencil yang kelakuannya begitu.
Jenderal Gautama
Menulis tentang Jendral Gautama adalah menulis tentang kekecewaan. Menulisnya juga dengan suasana hati penuh kedongkolan. Tapi gak apa, belajar adil sejak dalam hati memang harus mengorbankan rasa dongkol.
Nama lengkapnya Jenderal Gautama Wiranegara. Saya biasa menyebutnya Bang GT. Satu-satunya orang Cirebon yang saya kenal dengan panggilan Bang. Entah sudah berapa kali saya bertemu, yang paling berkesan adalah pertemuan terakhir, berkesan karena zonk. Himar gak bisa malah balak kejepit.
Belasan tahun lalu saat saya masih studi S3 di Unpad, ada konflik di suatu daerah yang menyita perhatian publik. Saya di hire oleh salah satu pihak yang berkonflik agar ikut membantu menyelesaikan konflik dalam waktu cepat.
Setelah beberapa hari memetakan individu yang terlibat dan menemukan masalah saya kembali ke Bandung untuk bertemu dengan teman-teman akademisi dan peneliti yang memahami resolusi konflik. Pemaparan dan penjelasan para intelektual ini malah bikin mumet. Bahasa Rusianya ndakik dakik, sementara pekerjaan harus selesai dalam waktu cepat. Saya batalkan niat untuk melibatkan intelektual dalam pekerjaan ini.
Daerah hanya menjadi lapangan dari setiap pertarungan, karena semua keputusan ada di Jakarta. Saya menghubungi teman yang sudah menjadi agen madya BIN, “kau harus bertemu dengan Bang GT katanya.” Saat itu Bang GT menjabat sebagai Direktur III Kontra Separatis dan Anti Teror BIN.
Saya diajak makan malam di restauran Hotel Mulia Senayan. Penilaian saya saat itu, Bang GT nampaknya merespon isu yang saya bawa dengan serius karena dalam pertemuan itu dihadiri beberapa tokoh BIN lainnya yang wajahnya familiar.
Layaknya seorang inteljen, Bang GT tidak banyak bicara. Sesekali menimpali hanya untuk memastikan apa yang saya sampaikan. Sorot matanya tidak pernah berkedip memandang tajam saat saya bercerita.
Diakhir pertemuan agen madya BIN mengatakan segera bekerja dengan menjalankan program yang sudah ada tapi jangan membuat manuver, semua
informasi dan arahan akan disampaikan via BB (saat itu belum ada WA). Saya menatap Bang GT dan beliau mengangguk.
Saya kembali ke daerah konflik dengan asumsi konflik akan selesai dalam hitungan minggu. Program resolusi konflik yang saya inisiasi berjalan dan hasilnya sesuai dengan info yang sebelumnya didapatkan dari Jakarta.
Melihat kemajuan yang signifikan jumlah pekerja ditingkatkan guna mempercepat selesainya pekerjaan.
Setelah pekerja bertambah banyak masalah mulai muncul, semua target tidak tercapai bahkan kehilangan kendali akan situasi dan puncaknya kami harus pulang tanpa hasil.
Sampai sekarang saya tidak pernah tau sebenarnya apa yang terjadi di Jakarta atas
peristiwa di daerah itu. Kesimpulan saya Jenderal Gautama tidak cukup kuat untuk mengintervensi.
Saat purnawirawan Bang GT bersama teman-teman PRD mendirikan Prima. Saya meragukan Putusan PN Jakpus hasil kerja konspirasi Bang GT mengingat saat menjabat Direktur III BIN yang berkompeten menyelesaikan konflik daerah hasilnya amsyong.
Bang GT memang teman satu angkatan dengan kepala BIN. Tapi jangan lupa, pengusaha kecil dan menengah
dari Kalibata City sampai Kebagusan sangat paham jika Kepala BIN adalah loyalis Teuku Umar.
Berkah bergabungnya Bang GT bersama Prima baru sebatas membungkam mulut comel yang selalu menuding komunis pada gerakan.
Saat ini pesan Prima jelas dan tegas untuk KPU, pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia. Sebuah kado sederhana yang selama ini hanya jadi slogan normatif: Laksanakan Pemilu Jurdil (Jujur dan Adil)! Bisa gak sih?
* Penulis Dr. Maruly H. Utama, Dosen Pasca Sarjana Universitas Pasundan.
Ketua SMID cabang Bandung 1994-1996