Jumat, 14 November 2025

Karena Hamil Saya Selamat: Mengenang Kerusuhan Mei 1998

Aksi Peringatan Tragedi Mei 1998. (Ist)

Kerusuhan Mei 1998 berdarah yang sarat dengan sentimen SARA memakan banyak korban manusia. Pembakaran, perusakan, pemerkosaan dan pembunuhan pada etnis tertentu saat itu  adalah teror pada gerakan rakyat dan masyarakat, agar tidak melawan Kediktaktoran Orde Baru Soeharto. Teror itu gagal, rakyat tetap menuntut dan Soeharto mundur 21 Mei 1998. Helga Inneke Worotitjan, seorang feminist dan penyintas menuliskan pengalamannya saat ini di akun Facebooknya dan dimuat di Bergelora.com. (Redaksi)

Oleh: Helga Inneke Worotitjan

TENTANG kerusuhan Mei 1998 selalu membuat saya ngeri dan emosional. Mengingat situasi dan kondisi 12-13 Mei 1998 adalah memori terburuk setelah memori kekerasan seksual & KDRT yang pernah saya alami.

Pagi hari 12 Mei 1998, saya pergi kerja seperti biasa. Saat itu saya bekerja di sebuah perusaahan elektrik Australia yg bos2 lokalnya juga berbisnis kopra. Saya baru beberapa bulan menikah & dalam keadaan hamil muda.

Pergi ke kantor, saya selalu menumpang mobil papa saya karena tempat tinggal kami berdekatan & kantor kami pun bersebelahan. Papa bekerja di sebuah perusahaan minyak asing dari Amerika Serikat.

Beberapa hari sebelumnya, suasana politik memanas. Pemberitaan2 di TV mau pun koran2 tak seperti biasa. Mantan suami saya yg sama2 aktivis & saat itu masih kuliah & tidak bekerja, sibuk rapat sana sini. Sepulangnya setiap malam, dia selalu membicarakan soal situasi sosial & politik yg makin mencemaskan. Namun demikian, perusahaan tempat saya & papa saya bekerja seperti tidak terpengaruh. Mungkin principal perusahaan kami di luar negeri tak melihat situasi politik Indonesia sebagai ancaman terhadap bisnis mereka.

Kantor saya & papa berlokasi di Jalan Sudirman Jakarta Pusat. Saya di Gedung Panin, papa di Ratu Plaza Office Building. Pukul 10.00 wib, papa menelpon saya. Seluruh pegawai di kantornya dipulangkan. Dari pantauan berita TV, setelah penembakan mahasiswa2 Trisakti, terjadi kerusuhan sporadis di beberapa tempat di Jakarta Barat.

Helga Inneke Worotitjan. (Ist)

Papa saya sudah bersiap-siap pulang, beliau mengajak saya pulang. Karena tak ada instruksi apa pun dari atasan2, saya tak ikut papa pulang.

Saya dkk kantor terus memantau situasi Jakarta dari TV kantor. Kondisi Jakarta semakin kacau, kerusuhan sudah menjalar ke mana2. Dari jendela kantor saya di lantai 9 pun terlihat beberapa titik asap yg membumbung tinggi di beberapa tempat.

Sekitar jam 12an siang wib, direktur utama kami mengumumkan kondisi Jakarta mengkhawatirkan & kami diinstruksikan agar pulang & baru masuk kantor lagi bila situasi sudah aman. Masuk kantor kembali akan diberitahukan melalui pesan singkat atau telepon. Saya lalu segera bersiap-siap pulang.

Sesampainya di depan gedung kantor baru saya sadari kalau jalan yg biasanya macet, saat itu sangat lengang & sunyi. Tak ada lagi kendaraan umum beredar, kendaraan pribadi pun sangat2 sedikit. Pilihan saya hanya naik taxi dg argometer. Itu pun tak ada lagi taxi2 dg reputasi aman berkeliaran. Kalau pun ada, pasti sudah ada penumpang.

Cukup lama menunggu akhirnya saya memutuskan nekat naik Taxi Koperasi. Armada taxi argometer yg sebenarnya sangat dihindari karena reputasinya yg buruk.

Begitu naik taxi, saya menyebutkan tujuan ke Jakarta Timur. Pengemudi menyarankan lewat tol. Karena saya agak takut pada pengemudinya, saya iyakan, sambil berpesan agar hati2 karena saya sedang hamil. Untunglah, pengemudi memaklumi. Meski melaju, dia tetap hati2. Kami masuk dari pintu tol sesudah Semanggi dg tujuan keluar pintu tol Pondok Gede Jakarta Timur. Sepanjang perjalanan suasana kanan kiri jalan sangat mencekam karena begitu sepi. Hal yg tidak biasa bagi hari kerja di Jakarta. Tak banyak kendaraan sepanjang tol yg kami lalui.

Menjelang pintu tol Pondok Gede, ada kerumunan cukup banyak orang di sisi kiri jalan tol. Saya & pengemudi taxi cemas. Kami tidak tahu dari mana & hendak melakukan apa orang2 itu. Beberapa di antaranya memegang bambu2 panjang seperti hendak tawuran.

Semakin mendekati pintu tol, orang yg berkumpul semakin banyak. Selepas membayar di pintu keluar, sekitar 20-30 meter setelahnya, taxi kami dihadang. Saya ketakutan sambil mengingatkan pengemudi kalau saya sedang hamil. Saya tidak tahu apa yg diinginkan kerumunan orang2 itu. Tiba2 dengan berani, pengemudi taxi membuka pintunya, berdiri sambil berteriak cukup keras: kasih jalan, kasih jalan, ibunya lagi hamil!

Beberapa orang menundukkan pandangan untuk melihat saya. Ada yg melihat dari kaca di kedua jendela di sisi kanan & kiri, ada yg dari sela2 tubuh pengemudi yg sedang berdiri di pintu depan sambil memegangi pintunya. Saat itu, meskipun perut belum membesar, tapi karena kehamilan saya terus-menerus membuat mual, saya selalu menggunakan baju longgar untuk mengurangi perasaan mual. Wajah saya pun membengkak karena hormon, membuat mata saya menyipit.

Saya mendengar beberapa orang berseru: orang hamil, orang hamil wooiii!

Mengetahui situasi seperti berpihak pada kami, pengemudi masuk kembali & menutup pintu. Kami diberi jalan. Waktu menembus kerumunan, rasanya waktu berjalan sangat lama saking saya ketakutan. Taxi kami berhasil meninggalkan kerumunan, lalu meneruskan jalan ke arah perempatan Pondok Bambu – Kalimalang. Selanjutnya perjalanan aman. Saya tiba di rumah dg aman. Asumsi buruk soal Taxi Koperasi sirna seketika. Karena pengemudi yg berani, saya selamat. Kami tak tahu maksud taxi diberhentikan. Tapi mengetahui saya hamil, kami selamat.

Sebenarnya saat itu saya tidak terlalu merasakan kengerian. Perasaan ngeri itu baru muncul beberapa hari ke depan setelah kerusuhan usai, setelah pendudukan Gedung DPR/MPR RI usai, setelah Soeharto lengser. Setelah semuanya berlalu, baru saya tahu, ada pemerkosaan2 & penjarahan2 terjadi. Pemerkosaan2 sadis & kejam, bahkan juga pembunuhan survivor pemerkosaan yg berani bersuara, Ita Martadinata. Ita dibunuh hanya beberapa saat sebelum berangkat ke Amerika Serikat untuk bersaksi tentang pemerkosaan di kerusuhan Mei 1998.

Sebuah musibah juga membuat saya tak akan melupakan 12 Mei 1998. Mobil papa dicuri saat beliau menghadiri kebaktian kaum bapak di gereja malam harinya. Karena terjadi bersamaan dg kerusuhan, aparat sulit melacak & menangani. Untunglah papa mengasuransikan mobilnya. Beberapa lama sesudahnya, beliau punya mobil lagi dari hasil klaim asuransi.

Jujur saja, menyelipkan cerita hilangnya mobil papa adalah cara saya menurunkan ketegangan saya saat menceritakan pengalaman mengerikan di pintu tol Pondok Gede. Belakangan baru saya tahu, kerumunan orang yg menghadang taxi yg saya tumpangi, adalah orang2 yg lalu menjarah & membakar Pusat Perbelanjaan Naga yg terletak di perempatan Pondok Bambu – Kalimalang. Perempatan yg juga taxi saya lewati menuju pulang.

12 Mei 1998, tak akan pernah saya lupakan. Saya selamat. Saya survived. Namun ada banyak perempuan diperkosa & dihabisi. Perempuan minoritas; yg hingga kini, dari rezim ke rezim, negara belum memberi keadilan bagi mereka. Bahkan setiap kali terjadi konflik atau kontestasi politik, pemerkosaan Mei 1998 masih diucapkan sebagai ancaman.

Selama negara belum membongkar akar & mendapatkan dalang kerusuhan Mei 1998, kengerian itu akan selalu menghantui bangsa ini. Memperkosa perempuan minoritas tetap menjadi senjata penindasan & penaklukan. Teror yg paling membangkitkan ketakutan.

Karena itulah kami tetap & terus meLAWAN.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru