Sabtu, 12 Juli 2025

Karnaval Sindroma Kekanak-kanakan Para Politisi

Ilustrasi Clown (Badut) bagi para politisi elit pengejar jabatan dibarat. (Ist)

Salah satu pengaruh perkembangan Amygdala di otak adalah sikap kekanak-kanakan para politisi yang berebut kursi kekuasan pasca pilpres 2019 lalu. Tulisan ini untuk melengkapi tulisan Parduru sebelumnya untuk pembaca Bergelora.com yang berjudul ‘Sindroma Kekanak-kanakan Di Altar Politik’. (Redaksi)

Oleh : Parduru

DUA tiga hari lalu telah digelar ramai karnaval sindroma kekanak-kanakan politisi, sebagaimana kuutarakan sebelumnya tulisan ini, kini, menyambangi pembaca berkat peran hape anda.

Warga umum saja terpikat menonton keramaian adegan menuntut ataupun menagih ataukah mengemis kursi menteri atas nama kepentingan masing-masing tiap parpol peserta karnaval. Aktivitas beberapa parpol itu, atas prakarsa sendiri biasanya dibarengi kepalan tangan. Atau menagih,– artinya berhubung ada janji patner yang masih terbungkus. Atau mengemis,– yang berarti mohon dikasihani agar turut memerintah bangsa negara. Atau apapun sebutan itu: mengemis – menagih – menuntut, sebenarnya paradigmanya supaya berpeluang dapat limpahan dana operasional menteri yang relatif besarnya woow. Barangkali itu paradigmanya.

Entahlah! Yang manapun sebutannya, untuk paradigma itu sudah pasti Jokowi menghela napas mengikutinya.

Ketika masih duduk di bangku SMP setiap anak murid dan tentu saja diantaranya juga Jokowi pasti mendengar bapak atau ibu guru pelajaran sejarah ketika mengajar,  menuturkan beribu-ribu rakyat tewas berjuang demi terbebas dari cengkraman penjajah dan makamnya tidak ketahuan karena tidak pernah ada acara pemakamannya.

Jangan pula ditanya tentang imbalan untuk nyawanya. Mereka korban perjuangan mengusir musuh bangsa tanpa mengusung hasrat apapun untuk menguntungkan diri, selain paradigma murni demi mengkondisikan kemerdekaan bangsa serta negerinya menjadi Indonesia.

Alangkah berbeda seperti malam gelap dengan siang benderang diantara rakyat tak mengenyam sekolah, dahulu,– dengan para jagoan politisi penikmat merdeka sekarang ini. Kenyataan perangai kebanyakan politisi kini yang telah terputar diametral ini dari sikap patriot terdahulu itu. Tentu Jokowi mengetahuinya jelas tabiat kebanyakan politisi itu,– setiap menghirup oksigen.

Karnaval sindroma kekanakkanakan itu digelar ramai cekekikan, serta nampaknya gemuruh gelora bangga, dan menafikan akhlak rasa malu yang seyogyanya lekat mentradisi dalam peradaban kebudayaan Pancasila itu.

Peradaban kebudayaan Pancasila bersumber Konstitusi RI memberi otoritas penuh kepada Jokowi selaku pemenang pilpres 2019, menyusun komposisi dan personalia kabinet RI untuk periode jabatannya menjadi  kepala negara dan kepala pemerintahan. Jokowi sudah menegaskan kriteria para menteri yang membantunya menyelenggarakan peran eksekutif, antara lain yang sanggup mengeksekusi program rumusan file perencanaan.

Juga Jokowi sudah meniadakan dikotomi diantara pilihan dari profesional dan dari parpol. Namun apakah beliau mundur oleh aksi rangsangan amygdal cortex dalam kepala setiap politisi itu?

Sungguh terpuji parpol bersikap memberi dukungan penuh pada Jokowi yang berhak mengambil ketetapan memilih final serta mengangkat para menteri untuk kabinet RI mendatang. Sekalipun mungkin paling terbesar perannya memenangkan pasangan Joko – Ma’rud Amin, setahuku hanya satu parpol menyatakan bersikap tegas seperti disebut itu. Parpol itu secara tegas tidak ikut ramai berkarnaval kekanak-kanakan. Untuk sikap itu kepada parpol tersebut layak diacungkan jempol agar diikuti parpol yang belum bersikap tegas.

Artikel Terkait

Stay Connected

342FansSuka
1,543PengikutMengikuti
1,120PelangganBerlangganan

Terbaru